12. Into the Night

75.3K 6.1K 435
                                    

David menatapku dengan tatapan nyalang. Ada beribu perasaan berkecamuk di dirinya, dan dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi itu dariku.

Hakim baru saja mengetuk palu. Akhirnya, aku bisa menutup buku untuk kasus perceraian Abimana. Sementara Abimana tertawa pongah penuh kemenangan, Liberta malah sebaliknya. Namun setidaknya kali ini dia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk, seperti di persidangan akhir. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, bercerai dari Abimana. Namun, dia tidak bisa mendapatkan alimony sebanyak yang dia inginkan. Liberta juga harus kehilangan hak asuh atas anaknya yang jatuh ke tangan Abimana karena ketidakstabilan emosi, dan juga karena dia kehilangan banyak pekerjaan, Liberta dirasa kurang mampu menerima tanggung jawab hak asuh.

Anak itu adalah korban yang sebenarnya. Baik Liberta atau Abimana jelas bukan pilihan yang baik. Namun, dia tidak bisa memilih dalam hal ini.

"Paling enggak uangnya Abimana bisa buat besarin anaknya."

Celetukan Via membuatku kian merasa kasihan kepada anak yang baru berusia lima tahun itu.

Satu-satunya yang kusyukuri dari perceraianku adalah ketiadaan anak di hubunganku dan David. Ketika menikah, aku dan David memang sengaja menunda kehamilan. Namun, di tahun kedua, kami memulai program hamil. Hasilnya belum ada, dan aku tidak perlu merasa bersalah kepada anakku ketika harus mengorbankannya atas kegagalan pernikahan orangtuanya.

David menghampiriku dengan wajah masam. Jelas tujuannya untuk mengalahkanku tidak terwujud. Keinginanku untuk mengalahkannya juga tidak sepenuhnya terwujud, tapi aku sudah tidak mempedulikan ego pribadiku itu.

"Saya tunggu berkasnya," ujar David dingin. Ekspresi wajahnya jelas-jelas menunjukkan permusuhan.

Aku mengulurkan tangan, berusaha mengurai keadaan. Namun, David hanya melengos.

"It's nice to work with you, David," ujarku, dengan terpaksa menarik kembali tanganku yang diabaikannya.

"Yeah, whatever. I hope I never see you again."

Ingin rasanya mengingatkan David untuk tidak seyakin itu. Bagaimanapun, kami bekerja di bidang yang sama. Kemungkinan untuk bertemu itu sangat besar, termasuk bertemu di persidangan seperti ini.

Namun, aku memilih untuk menutup mulut.

David akhirnya berlalu dari hadapanku. Mungkin ini melukai egonya, tapi itu sudah tidak menjadi tanggung jawabku lagi.

"Aku kelarin sore ini ya mbak semua administrasinya," ujar Via, yang sudah bersiap untuk meninggalkan ruang sidang ini.

Aku mengangguk. "Okay, thank you. Kamu bisa duluan, saya masih mau di sini."

Via meninggalkanku, membuatku satu-satunya orang yang bertahan di ruang sidang ini. Sebentar lagi, cleaning service akan masuk, dan aku tidak punya alasan untuk berlama-lama di sini.

Aku berjalan menuju ke tengah ruangan, dan menatap mimbar tempat para hakim. Sementara itu, aku mengeluarkan copy berkas kasus yang ditangani Ruly. Dia menepati janjinya. Keesokan harinya setelah percakapanku dengannya di malam itu, aku menemukan copy ini di atas mejaku.

Dengan tatapan tertuju lurus ke mimbar hakim, aku menarik napas panjang. Kasus di tanganku ini menjadi saksi akan tekad baru yang kumiliki saat ini.

**

Aku menatap meja di hadapanku. Tidak ada cangkir berisi kopi yang baru kuseduh. Tidak sampai semenit aku meninggalkannya, dan sekarang cangkir itu malah lenyap.

Suara tawa tertahan mengejutkanku. Aku berbalik dan mendapati Ruly tengah menenggak kopi dari cangkir yang seharusnya menjadi milikku. Dia sama sekali tidak merasa bersalah sudah mencuri kopiku.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang