6. Something in Blue

66K 7.4K 269
                                    

Abimana menatapku dengan wajah keras, sama sekali tidak menutup-nutupi kekesalannya.

"Gimana, Mas?"

Abimana mendengus dan mengalihkan wajahnya dariku. Dia kembali bersikap menyulitkan saat ini, tapi aku tidak mau balik ke kantor dengan tangan kosong hari ini.

"Pasti ada alasan untuk tindakan Bapak. Mungkin, Liberta melakukan sesuatu?" pancingku. "Ini hanya untuk kebutuhan sidang. Liberta menjadikan KDRT sebagai senjata utama, jadi kita bisa counter dengan hal lain."

"Kalau saja dia enggak mudah ngamuk, saya juga enggak akan memukulnya."

Aku menghela napas, berusaha menyembunyikan perasaan lega. Tebakanku benar, mereka berdua sama-sama menjadi pelaku kekerasan di sini.

"Saya ingin tahu detailnya."

Lagi-lagi, Abimana menatapku dengan wajah terganggu.

"Biar saya bisa menyiapkan pembelaan."

Kalau saja dia tidak menyulitkan seperti ini, aku tidak perlu senewen mencari pembelaan selama ini. Namun, aku tidak bisa menahan lega ketika dia akhirnya mau menjawab pertanyaanku.

Dugaanku benar. Liberta dan Abimana sering saling menyerang, sehingga secara teknis, Liberta tidak hanya korban di sini. Namun, dari ceritanya, aku menangkap kesan Abimana tidak ingin fakta kalau dia juga menjadi korban kekerasan Liberta ikut tersebar. Egonya terlalu tinggi untuk mengakui hal itu.

Satu hal yang tidak kumengerti, mengapa laki-laki begitu mengagungkan ego mereka. Bahkan dalam kondisi seperti ini, ego masih saja menjadi yang nomor satu.

David juga. Ketika aku bertanya alasannya untuk selingkuh, jawabannya membuatku tidak bisa berkutik. "You make me feel like less of a man," jawabannya kala itu.

Pendapatanku yang lebih besar dan posisiku yang lebih tinggi membuat David merasa kerdil. Namun, bukannya membicarakannya dengan terbuka bersamaku, dia mencari pelampiasan kepada perempuan lain. Alasannya, perempuan itu bisa mengembalikan egonya yang terluka karena aku.

Abimana juga sama saja. Demi egonya yang terluka, dia menyembunyikan fakta besar ini. Padahal, keterbukaannya sangat kubutuhkan.

"Terima kasih, saya akan menyusun pembelaan baru. Dengan begini, kita bisa membuat penawaran..."

"Tidak ada penawaran. Keputusan saya tetap sama, saya tidak mau memberikan sebanyak yang dia minta," putusnya tegas.

"Baik, Mas."

Terserah dia, paling tidak sekarang aku punya pion yang bisa kujalankan.

**

"Mbak, ini titipan dari Beth." Via menyodorkan map berisi kertas yang cukup tebal kepadaku. "Berkas persidangannya Adhyaksa dulu."

Penjelasan Via membuatku teringat Ruly. Dia pernah berjanji akan memberikan berkas persidangan lama saat kakaknya Abimana itu juga digugat cerai. Meski sudah seminggu ini tidak bertemu, ternyata Ruly masih memegang janjinya.

"Thanks, saya pelajari ini dulu. Draft pembelaannya saya tunggu hari ini, ya."

Via meninggalkan ruanganku, sementara aku membaca berkas itu. Membacanya membuatku langsung teringat Abimana. Bagaimana mungkin kakak adik bisa punya watak yang sama seperti ini?

Ruly memiliki laporan yang tertata rapi sehingga aku bisa dengan mudah memahaminya. Beberapa bagian bisa menjadi catatan penting untukku. Ditambah dengan bukti baru yang kumiliki, bantuan Ruly jadi lebih berguna.

Aku menguap, tanpa sadar sudah berjam-jam membaca berkas itu. Mataku terasa berat, godaan yang selalu datang setiap kali menjelang sore seperti ini.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang