25. List Number Three

74.2K 6K 403
                                    

"Dia sudah punya bukti, kenapa enggak ngelapor?"

Ruly hanya mengangkat bahu untuk menjawab pertanyaanku.

Aku meletakkan dokumen itu di atas meja. Sejak tadi, sudah tidak terhitung berapa kali aku menarik napas untuk meredakan emosi yang mendidih. Sepanjang hari ini, aku dan Ruly mendiskusikan kasus yang kami kerjakan bersama. Ruly benar, ini bukan kasus mudah. Apalagi Pandu, pihak tergugat, bukanlah orang sembarangan. Dia fotografer ternama, meski aku tidak begitu mengikuti dunia entertainment, aku sering mendengar namanya. Saat ini dia sudah membentengi dirinya dengan sejumlah kuasa hukum yang siap menjegal langkah yang disiapkan Ruly.

Di atas meja, ada lebih dari sepuluh kesaksian dari sepuluh perempuan berbeda. Inti pengakuan itu sama, mereka korban Pandu. Calista yang mengawalinya, ketika dia melaporkan Pandu dengan tuduhan percobaan perkosaan. Aduan itu didukung oleh pengakuan perempuan lain yang mengalami hal yang sama.

Tidak mungkin mereka semua berbohong. Namun, Pandu masih berkelit dengan mengatakan semua itu hanya kebohongan belaka. Dia mengancam akan melaporkan balik Calista atas tuduhan pencemaran nama baik.

Ruly memberiku satu nama, Dianis. Sampai saat ini dia belum berhasil menghubungi Dianis. Sosok itu seolah menghilang ditelan bumi. Dari Calista, Ruly akhirnya tahu kalau Dianis tinggal di Bandung.

"Gue ke Bandung besok," ujarku.

"Gue temenin?"

Aku menggeleng. "I can handle this alone. Gimanapun, kemungkinan Dianis untuk terbuka kepada gue lebih besar ketimbang sama lo. You know, sesama perempuan."

Ruly tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Paham, kan, kenapa gue menarik lo ke kasus ini?"

Aku tertawa tipis sambil mengambil kembali dokumen milik Dianis. Tidak ada apa-apa di sana, hanya informasi dasar yang berhasil dikumpulkan Beth dan Via. Dianis pernah menjadi model, tapi dia berhenti begitu saja. Menurut kabar, dia juga korban Pandu. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menjerat Pandu.

Bukan hal mudah untuk memintanya agar mau buka suara. Tomorrow is going to be a long day.

Ruly melemparkan buku tebal yang sedang dbacanya ke atas meja, mengakibatkan debu di buku itu berterbangan dan mengenai mataku. Aku terkesiap, merasakan mataku perih akibat kemasukan debu.

"Sorry, Ra," ujarnya.

Aku tidak menyahut, karena sibuk mengusahakan mataku agar mau terbuka dan melawan rasa perih itu.

Ruly mendekat ke arahku. Dengan kedua tangannya, dia menangkup wajahku dan menariknya hingga menghadap ke arahnya. Aku hanya melihatnya sekilas dari mataku yang separo tertutup akibat melawan debu itu.

"Let me," ujar Ruly. Dia memaksa membuka mataku, dan meniupnya.

Tindakannya membuatku terkejut, meski hasilnya lumayan untuk menghilangkan perih. Ruly kembali meniup mataku, sampai aku merasa bisa membukanya tanpa harus melawan perih.

"Better?"

Aku mengangguk pelan. Aku menjadikan perih itu sebagai alasan untuk tidak melawan tatapan Ruly. Mengapa dia berada sedekat ini, sih?

Ruly meraih wajahku hingga menghadap ke arahnya dan kembali meniup mataku, bersamaan dengan pintu ruanganku yang terbuka.

"Ra, mau ngopi..."

Aku terkesiap dan menatap ke arah sumber suara. Lola berdiri terpaku di pintu, dengan tatapan tertuju kepadaku. Ekspresinya berubah keras, meski dia berusaha untuk mengendalikannya.

Mengapa aku merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan kesalahan?

"Nevermind," ujar Lola, dan menutup pintu ruanganku.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang