49. The New Beginning

128K 8.8K 1.7K
                                    

"Jadi, keputusanmu sudah bulat?"

Aku mengangguk, berusaha terlihat tegas sekalipun keringat dingin mengucur di punggungku. Ini kali pertama aku bicara empat mata di ruangan Pak Nizar. Ruangan itu sangat besar dan kaku, dengan lemari tinggi yang dipenuhi buku. Semua hal yang ada di ruangan itu terasa begitu intimidatif.

Tentu saja, sosok pria paruh baya yang ada di hadapanku ini jauh lebih intimidatif. Aku pernah menghadiri salah satu persidangan yang ditanganinya sebagai bagian tugas kuliah, dan sejak saat itu aku ingin sekali untuk bisa bekerja di bawah bimbingannya.

Aku sudah mewujudkan keinginan itu, dan sekarang saatnya untuk mewujudkan impianku yang lain.

"Saya bermaksud untuk mempromosikan kamu menempati posisi Ruly sekarang. Itu bukan penawaran yang bisa didapatkan semua orang, Tyra."

Sekali lagi, aku menganggukkan kepala. "Saya mengerti. Sejujurnya, saya sangat berterima kasih atas kesempatan itu, juga kesempatan yang selama ini saya dapatkan selama di sini. Namun, saya ingin mengejar hal lain selagi saya bisa."

Di hadapanku, Pak Nizar tertawa. "Bergabung di LBH-nya Ruly?"

"Kalau Ruly mengizinkan. Kalau tidak, saya bisa mencari di tempat lain."

"Semua orang berlomba untuk mendapatkan penawaran ini, tapi kamu malah melepasnya." Pak Nizar tertawa. Ekspresi wajahnya terlihat berbanding terbalik dengan ucapannya.

"Dulu, Pak Nizar pernah jadi dosen tamu di kampus. Saya ingat waktu itu Bapak cerita soal pengalaman sewaktu bekerja di LBH. Bapak sendiri yang bilang, selagi masih muda, cari pengalaman sebanyak-banyaknya termasuk bekerja di LBH. Malah saya rasa, sebenarnya saya sudah terlambat," balasku.

"Tidak ada kata terlambat." Pak Nizar mengulurkan tangannya. Perlahan, aku membalasnya. Jabatan tangannya terasa erat dan mantap. "Saya tidak pernah salah pilih, termasuk memilih kamu unutk bergabung di sini. Kalau kamu ingin kembali, tempat ini terbuka lebar untukmu."

Aku mengangguk mantap, sangat sulit untuk menyembunyikan semangat yang kini menggebu-gebu.

Setelah basa basi singkat, akhirnya aku keluar dari ruangan itu. Perasaanku jadi ringan, sangat berbeda dengan saat aku menghampiri ruangan tersebut sekitar satu jam yang lalu.

Aku kembali ke ruanganku dan menyelesaikan laporan terakhir soal kasus Dianis. Akhirnya, dia mendapatkan keadilan meskipun terlambat.

Lembar terakhir laporan yang kutulis keluar dari printer. Aku menyusunnya ke dalam map, bersama dengan berkas lain atas nama Dianis. Setelah semuanya tersusun dengan rapi, aku membawanya menuju ruangan Ruly.

Aku menyempatkan diri untuk merapikan penampilanku sebelum mengetuk pintu ruangan itu. Setidaknya, rambutku masih berada di tempatnya meski aku berkutat dengan laporan yang cukup bikin pusing ini.

Saat membuka pintu ruangan Ruly, aku tidak bisa menahan senyum. Semenjak malam itu, aku dan Ruly sepakat untuk menjalin hubungan. Namun, kami tidak bisa terang-terangan menunjukkannya di kantor. Ruly sering mencuri masuk ke ruanganku, hanya untuk menciumku dan make out ringan di sela pekerjaan. Sesekali, aku yang menyelinap masuk ke ruangannya, sekadar untuk bermesraan singkat.

Aku melirik sofa yang ada di ruangan itu ketika melangkah ke meja Ruly. Baru semalam aku bercinta dengan Ruly di sana, karena ide iseng Ruly yang ingin memberi tanda di setiap tempat yang penting baginya.

"Laporan Dianis." Aku menyerahkan laporan itu ke hadapan Ruly.

Ruly merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Melihatnya membuatku ingin melompat ke pangkuannya.

"Sesuai janji, aku sudah boleh resign?"

Akhirnya, aku bisa mengajak Ruly bicara empat mata tanpa harus adu urat. Aku mengungkapkan keinginanku. Bekerja di Kata Hati atau LBH manapun sudah menjadi keputusan akhir, dan aku ingin dia mendukungku seperti yang selama ini dilakukannya.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang