28. Complicated Feelings

56.3K 5.8K 412
                                    

Aku tahu tidak bisa menghindari Rayhan selamanya. Apalagi pagi ini dia tiba-tiba saja muncul di lobi apartemen sehingga aku tidak punya alasan untuk tidak mengiyakan ajakannya untuk berangkat ke kantor bareng.

"Kenapa enggak bilang kalau sudah balik dari Bandung?" tanyanya. Nada suara Rayhan terdengar tenang, seakan-akan dia tidak merasakan sedikitpun kerisauan saat tidak mendengar kabarku.

Justru, inilah yang tidak kuinginkan. Aku tahu cara menanggapinya jika Rayhan mencecarku, bukannya berkata dengan nada pelan dan ramah seperti ini.

"Ada meeting soalnya kemarin sore." Aku berbohong.

Sekali lagi, Rayhan hanya tersenyum. "Lain kali, kabarin kalau mau ke luar kota."

Bisa saja aku menggeleng, tapi aku malas berdebat sepagi ini. Lebih baik aku menyimpan tenaga untuk bertemu pengacara Pandu siang ini.

"Kasusnya berat banget?"

"Begitulah," sahutku.

"Jangan sampai sakit, ya." Rayhan kembali berkata dengan nada penuh kelembutan. "Kalau butuh apa-apa, kabarin aja. Kali aja aku bisa bantu."

Aku tersenyum kecil. "It's okay."

Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi Rayhan.

"Nanti mau makan siang bareng? Kebetulan hari ini aku agak lowong," ujar Rayhan lagi.

Aku mengecek jam tangan, mengalkulasikan berapa lama lagi waktu yang harus kulewatkan di dalam mobil ini bersama Rayhan.

Sebenarnya aku sendiri tidak paham mengapa aku jadi gelisah seperti ini? Rayhan tidak melakukan sesuatu yang bisa menyulut amarahku. Malah sebaliknya, dia bersikap sangat tenang. Namun nyatanya aku malah jadi seperti cacing kepanasan.

"Aku mau ketemu klienku dulu sebelum ketemu pengacawa lawan." Kali ini, aku tidak perlu beralasan. "Aku akan berangkat sebelum makan siang dari kantor bareng Ruly."

"Ruly?"

Aku tersentak saat mendengar pertanyaan Rayhan. Nama Ruly keluar begitu saja dari bibirku, tidak ada niat untuk mengungkit namanya.

Perlahan, aku melirik Rayhan. Mungkin saja nama Ruly bisa membuatnya jadi emosi. Namun lagi-lagi wajah itu tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.

"Partnerku. Dia yang ngajakin buat nanganin kasus ini bareng."

"Oh gitu."

Apa maksudnya? Sekali lagi aku berusaha untuk membaca ekspresinya. Namun sepertinya kali ini aku benar-benar terhalang tembok besar.

"Bakalan sampai sore?"

"Kayaknya, sih. Soalnya pihak sana enggak mau kasus ini lanjut, jadi pasti bakal ribet banget," sahutku.

"Ketemuannya di mana? Mungkin bisa aku jemput. Kamu enggak bawa mobil, jadi aku anterin pulang, sekalian makan malam gimana?" cecar Rayhan.

"Enggak usah. Aku juga enggak tahu bakal selesai jam berapa. Lagian ketemuannya di Cilandak. Jadi kamu bakal muter-muter banget kalau jemput," tolakku.

"Enggak apa-apa, Ra."

"Aku enggak enak."

Rayhan tertawa kecil. "Masa sama aku ngerasa enggak enak."

Justru karena dia Rayhan aku merasa tidak enak. Pagi ini pengecualian, karena dia tidak memberitahuku jadi aku tidak punya alasan untuk menolak ajakannya. Aku tidak ingin Rayhan menganggap bahwa kesediaanku menerima ajakannya sebagai isyarat bahwa aku bersedia untuk menjalin hubungan serius dengannya.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang