14. Wanted

60.4K 5.8K 354
                                    

"Sejak kapan lo dekat sama kakak gue?" Maria memberondongku dengan pertanyaan itu.

Aku menatapnya sekilas, dan kembali beralih ke instruktur yoga sambil berusaha mengikuti arahannya.

"Tyra," desis Maria.

Sekali lagi, aku tidak menjawabnya.

"Ra," ujar Maria, sedikit lebih keras, dan membuat kami dihadiahi teguran oleh intruktur yoga.

Maria memasang pose warrior dan menghadap ke arahku. "He's in Jakarta now."

"I know," bisikku.

"Terus?"

"We're just friend, Yaya," balasku.

Maria mendengus. "I know him like the palm of my hand. Enggak ada istilah teman dalam kamus Bona, kecuali teman tidur."

Beberapa pasang mata menatap ke arah kami dengan ekspresi terganggu. Cecaran Maria jelas menjadi gangguan di tengah sesi yoga pagi ini.

"So, are you his kind of friend?"

Aku mendesah. Sambil mengikuti arahan instruktur, aku memaskaan diriku membentuk pose yang sama. Meski untuk itu, aku kembali berhadapan dengan Maria.

"No," sergahku.

Lagipula, hubunganku dengan Bona belum sejauh itu. Aku hanya berbagi satu ciuman dengannya, itu saja.

"I don't believe you," ujar Maria. "Gue rasa Agnes..."

"Don't tell her," sergahku tiba-tiba. Mendengar nama Agnes membuatku awas. Keseimbanganku hilang, membuatku gagal mencoba pose yang dicontohkan instruktur. "She knows nothing."

Maria menatapku dengan mata menyipit curiga. "Kenapa?"

Agnes tidak perlu tahu kalau akhir-akhir ini, aku sering menghabiskan waktu bersama Bona. Meskipun Agnes selalu mendorongku untuk segera move on, aku rasa ini belum waktunya memberitahu Agnes soal Bona.

Setidaknya sampai aku bisa meyakinkan hatiku sendiri, apakah aku benar-benar menaruh hati kepada Bona?

Aku tidak bisa memungkiri perasaan bahwa aku menyukainya. Dia teman cerita yang menyenangkan. Di depannya aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa bercerita apa saja, tidak perlu berpura-pura. Tidak pula harus berpikir keras tentang bagaimana caraku harus bersikap di depannya. Dia membuatku merasa lepas.

Namun, Agnes pasti akan membuat kesimpulan berbeda. Aku tidak ingin dia mendorongku untuk mempertimbangkan Bona, karena aku yakin aku pasti akan melakukan apa pun yang dikatakan Agnes.

Aku ingin memutuskan sendiri. Jadi untuk sementara, aku ingin merahasiakannya dari Agnes. Tadinya aku juga tidak ingin Maria tahu, tapi sepertinya itu sia-sia saja. Buktinya, Maria langsung mencecarku pagi ini.

Maria tidak melepaskanku begitu saja. Setelah kelas yoga selesai, dia masih saja mencecarku.

"Ya, gue mau mandi," seruku, berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar mandi.

"Okay, but you have to tell me everything," timpalnya, dan berlalu ke kamar mandi di sebelahku.

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Tidak ada hal penting yang perlu kuceritakan kepada Maria.

Setelah mandi, aku melihat bilik yang tadi dimasuki Maria masih tertutup. Aku pun bergerak cepat menuju loker. Siapa tahu aku bisa pergi sebelum Maria selesai mandi.

Namun, di saat aku sedang memakai makeup, Maria kembali muncul di sampingku.

"Come on," erangku.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang