18. Man and Another Problem

78.5K 6.3K 355
                                    

Seperti ada marching band yang tengah menabuh drum di kepalaku ketika aku memaksakan diri untuk terbangun pagi ini. Rasanya mataku sangat berat. Begitu juga dengan tubuhku, seolah ada beban berat yang menimpaku.

Selalu begini setiap kali aku terbangun dalam keadaan hangover. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah belajar dari kesalahan.

Setelah satu tarikan napas, aku mencoba untuk mengangkat tubuhku. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan, seakan-akan tubuhku menempel erat ke kasur ini akibat beban berat yang menindihku.

Perlahan, aku membuka mata.

Nyawaku langsung terkumpul sepenuhnya saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pantas tubuhku terasa berat karena saat ini, Ruly memang menindihku. Dia memelukku erat, dan menjadikan dadaku sebagai bantal.

Aku menggerakkan tubuh, berusaha membuatnya terbangun. Bukannya beranjak, dia malah kian beringsut mendekatiku.

Aku sadar aku memang mabuk semalam, tapi aku juga sadar akan apa saja yang kulakukan bersama Ruly. Sisa-sisa kesadaran itu memperingatkanku akan bahaya yang kuhadapi, tapi dengan tololnya aku malah menceburkan diri ke dalamnya.

Sekarang, aku bahkan tidak bisa melarikan diri lagi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghadapi Ruly.

Dengan sisa-sisa tenaga yang kukumpulkan dengan setengah mati, aku mendorong tubuh Ruly hingga akhirnya dia terguling menjauh dariku. Aku menarik napas lega saat tidak ada lagi yang menindihku.

Ruly menggeliat di sisi lain tempat tidur, sebelum akhirnya membuka mata. Ketika melihatku, dia malah memamerkan cengiran lebarnya itu.

"Kirain lo sudah kabur," ujarnya.

Aku mendengus, sama sekali tidak berniat meladeninya.

"Mau lanjut?"

Aku mengambil bantal dan melemparkannya hingga tepat mengenai mukanya. Ruly hanya terkekeh dan menyingkirkan bantal itu.

Tetap berdiam di sini hanya akan membuatku semakin kesal, jadi kuputuskan untuk mengambil bed cover dan melilitkannya ke tubuhku. Perlahan, aku bangkit duduk dan berencana untuk beranjak sebelum Ruly melakukan tindakan nekat yang akan kusesali nantinya.

"Mau ke mana, sih, Ra. Ini masih pagi."

"Mandi, terus ke bandara," sahutku acuh.

Dengan susah payah aku bangkit berdiri sambil memastikan bed cover itu menutupi tubuhku. Bukan hal mudah menyeret bed cover yang berat itu ke kamar mandi, walaupun jaraknya tidak begitu jauh.

"Kan, pesawat siang. Ngapain buru-buru?"

Aku menoleh ke arahnya. Niatnya untuk memberitahunya kalau aku sangat kesal, tapi nyatanya aku malah menyesal karena mendapati Ruly dengan santainya berbaring di tempat tidur itu. Sama sekali tidak peduli dengan ketelanjangannya.

Dan tentu saja, morning wood yang membuatku kembali meneguk ludah itu.

Aku memalingkan wajah sebelum dia menangkap pipiku yang memerah.

"Mending nunggu di bandara daripada di sini sama lo," seruku, yang kembali bersusah payah menuju kamar mandi sambil menyeret bed cover.

Sementara itu di belakangku, Ruly hanya terkekeh. Mungkin dia menganggap aku badut sirkus yang sedang beratraksi dengan bed cover ini.

**

Senin selalu menjadi hari yang menyebalkan. Kali ini penyebabnya adalah David.

Aku tidak menyangka jika dia mau merendahkan dirinya seperti ini. Padahal, yang dulu membuatku kagum kepadanya adalah sikapnya yang selalu menjaga integritas.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang