19. The Proposal

57.9K 6.3K 685
                                    

Aku berusaha menggeser kursi meski tahu tidak ada tempat untuk beranjak. Sekuat tenaga aku memaksakan diri menyimak penjelasan dan berkonsentrasi penuh dalam meeting ini.

Sekali lagi, aku merasakan sentuhan di kakiku. Aku melirik dari bawah meja dan mendapati kaki Ruly kembali menyentuh kakiku.

Berbanding terbalik denganku, Ruly justru tampak tenang. Tatapannya tertuju lurus ke tengah ruangan, tempat Pak Nizar, alias ayahnya, memimpin rapat.

Baru saja aku mencoba untuk kembali berkonsentrasi, Ruly lagi-lagi menyentuh kakiku. Kali ini, dia bahkan berusaha menyingkap rok yang kupakai. Sekali lagi aku meliriknya, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa di wajahnya.

Aku melirik ke bawah meja dan mendapati sepatu Ruly masih berada dalam jangkauan kakiku. Refleks, aku menendang sepatu itu sebagai upaya membalas dendam.

Aris yang duduk di seberangku tersentak. Dia melirik ke bawah meja, seolah ada sesuatu mengenai kakinya. Aku menahan napas sekaligus tertawa dalam hati, sementara Ruly baru menyadari kalau sepatunya sudah berpindah tempat.

Namun, sepertinya Ruly masih belum kapok. Dia kembali menyentuh kakiku, kali ini sengaja membentuk sulur-sulur abstrak dengan ujung jarinya. Tidak mau kalah, aku mengulurkan tangan mendekatinya dan mencubit pahanya.

Ruly tersentak dan refleks mengangkat kakinya. Akibatnya dia menyenggol meja, membuat gelas berisi minuman di meja bergoyang. Untung saja tidak tumpah sehingga tidak menimbulkan kekacauan lebih lanjut.

Pak Nizar melemparkan tatapannya ke arah Ruly. Mendadak ruangan itu menjadi hening. Ruly pun berusaha memasang tampang pura-pura serius, tapi aku tahu kalau cubitan barusan cukup membuatnya kesakitan.

Ketika Pak Nizar kembali melanjutkan paparannya, kini aku merasakan sentuhan Ruly di pahaku. Aku menepis tangannya, tapi Ruly malah menangkap tanganku. Dia menggenggamku dan mengarahkan tanganku untuk menyentuh pahaku sendiri.

Aku berdehem, berusaha melepaskan tanganku dari Ruly. Namun, dia malah menggenggamnya kian erat.

Di sepanjang sisa rapat, aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain jari-jariku yang kini menyentuh pahaku sendiri.

**

Ruly tidak beranjak meskipun satu per satu peserta rapat mulai meninggalkan ruangan ini. Tentu saja dia akan menunggu ruangan ini kosong, mengingat dia butuh waktu untuk mencari sepatunya.

Aku terang-terangan tertawa meledeknya ketika melewatinya. Biar tahu rasa, siapa suruh jadi tengil seperti itu.

Sebuah pukulan di bokongku membuatku terlompat kaget. Aku berbalik dan melayangkan tatapan penuh protes. Tentu saja pelakunya adalah Ruly, siapa lagi?

"Yang barusan bisa tergolong pelecehan seksual," ancamku.

"Dan yang lo lakuin sebelumnya bisa tergolong kekerasan," balasnya. Ruly bangkit berdiri dan melongok ke bawah meja. "Tendangan lo boleh juga."

Aku memutar bola mata dan mendahuluinya keluar dari ruangan ini daripada harus menanggung tindakan iseng lainnya.

Seperti biasa, aku memilih untuk kembali ke ruanganku menggunakan tangga ketimbang ikutan antre di depan lift bersama rekanku yang lain. Sudah Jumat lagi, dan yang membuatku bersemangat, aku bisa pulang cepat malam ini. Aku bahkan sudah membeli tiket bioskop dan memutuskan untuk menonton sendirian.

Jika orang-orang suka menganggap aneh kalau menonton di bioskop sendirian, bagiku itu justru sebuah kemewahan tersendiri. Aku bisa menikmati film tanpa gangguan.

Bunyi langkah yang ikut menuruni tangga menyadarkanku kalau aku tidak sendirian. Aku berbalik dan langsung menyesalinya ketika melihat Ruly berjarak beberapa anak tangga di atasku.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang