27. Stupid Game

58.1K 5.8K 285
                                    

"Ra, kapan datang?"

Aku mengangkat wajah dari layar laptop ketika mendengar suara Ruly. Aku menyempatkan diri untuk melirik jam di sudut kanan laptop sebelum menjawab pertanyaannya.

"Sekitar sejam yang lalu."

"Kenapa enggak langsung pulang aja?" Ruly memasuki ruanganku. Dengan enteng dia membuka jas yang dipakainya dan menyampirkannya di punggung sofa sebelum Ruly mengambil tempat di sebelahku.

Tadinya aku memang berencana seperti itu. Bukan hanya tubuhku saja yang lelah, tapi mentalku juga. Ruly menyarankan untuk menginap di Bandung semalam lagi, tapi aku memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta.

Aku tidak bisa menahan semuanya sendiri.

Cerita Dianis masih terngiang di benakku, seperti kaset rusak yang tidak bisa dihentikan. Lama-lama aku bisa gila jika memendamnya sendirian. Itulah alasan aku menyetir kembali ke Jakarta meski tubuhku sebenarnya meronta minta diistirahatkan. Bukannya langsung pulang ke apartemen, aku malah menuju ke kantor.

Ruly sedang ada meeting ketika aku sampai di kantor. Aku pun terpaksa menunggunya, daripada pulang dan membiarkan otakku berdenyut kencang, seperti ingin meledak.

"He's absolutely bastard," semburku.

"Who?"

"Pandu." Aku menyahut singkat.

Aku menyodorkan recorder berisi pengakuan Dianis. Biar dia mendengarkannya sendiri, agar dia mengerti mengapa saat ini aku nyaris bertingkah seperti orang gila yang tidak bisa mengendalikan emosi.

Ruly menerima recorder itu, tapi tatapannya masih tertuju kepadaku, meminta penjelasan meski tanpa suara.

"For story short, he raped her. Dianis sudah punya bukti hasil visum, tapi dia malah dikecewakan oleh agensinya. Si brengsek itu berkilah dan menyebut Dianis memfitnahnya. Dia tidak akan memakai model dari agensi itu kalau Dianis masih bertingkah. Dia juga mengancam akan memboikot agensi itu." Aku menghela napas panjang.

"Money talks."

Aku mendengus. Selama mendengarkan cerita Dianis, aku berusaha sekeras tenaga menjaga ekspresiku agar tidak meledak di hadapannya. Kenyataannya, darahku mendidih.

"Agensi itu memilih untuk melepas Dianis daripada harus kehilangan tawaran pekerjaan." Aku memutar tubuh agar menghadap Ruly. "Kita bisa menuntut agensi itu?"

Ruly tersenyum tipis. "Satu-satu, Ra. Dan, kita enggak bisa menuntutnya."

"Yeah I know. But she can."

"Yes, she can." Ruly melirikku dengan wajah serius. "Gue yakin lo udah berpikir sejauh itu, jadi isi rekaman ini enggak hanya untuk melawan Pandu, sekaligus untuk menuntut agensi itu."

Ruly langsung bisa membaca arah pikiranku. Ketika mendengarkan cerita itu, aku tahu kalau kasus ini tidak akan berakhir di Pandu saja. Dianis bisa menuntut agensi yang dulu menaunginya. Namun, ketika aku mengutarakan hal itu, Dianis tidak berkata apa-apa.

Benar kata Ruly. Satu-satu. Sekarang di hadapanku ada kasus Calista dan Pandu. Kasus itu hanya jalan pembuka karena akan berkembang ke kasus lain. Apalagi sekarang aku memiliki kesaksian Dianis. Pandu bisa dituntut dengan tuntutan berlapis.

Selanjutnya, agensi model itu juga bisa diperkarakan.

"Lo selalu semangat kayak gini, ya, tiap ada kasus?"

Aku tersenyum kecil menanggapi gurauan itu. "Menurut lo, apa gue sesemangat ini waktu nanganin kasusnya Abimana?"

Ruly terkekeh.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang