7. Dance with Me Tonight

74.1K 7.1K 259
                                    

Bunyi ketukan di pintu ruangan mengagetkanku. Aku mengangkat wajah dari berkas yang kutekuni sejak tadi. Lagi-lagi aku begitu tenggelam dalam pekerjaan sampai-sampai lupa waktu.

"Mau bareng enggak?"

Keningku berkerut menanggapi pertanyaan Lola. Sementara itu, Lola hanya memutar bola matanya meningkahi tanggapanku yang pasti sudah diduganya.

"Malam ini, kan, ada dinner kantor. Buat welcoming Ruly."

"Oh, itu." Aku menghela napas panjang. Email yang diperuntukkan kepada seluruh karyawan soal adanya dinner ini sudah kubaca. Biasanya aku menunggu-nunggu momen team dinner seperti ini, tapi kali ini malah sebaliknya.

Selama seminggu ini aku berhasil menghindari Ruly. Bukan sepenuhnya usahaku, karena sepertinya Ruly juga tengah menangani kasus besar sehingga jarang ada di kantor. Hanya sesekali aku melihatnya memasuki ruangannya, dan biasanya dia tidak bertahan lama di sana.

Dinner ini pasti akan mempertemukanku dengan Ruly. Entah apa lagi yang akan dikatakannya di depanku, yang pasti aku sudah tidak kehabisan rasa malu sehingga kalau bisa memilih, aku tidak ingin bertemu muka dengannya.

Mangkir dari dinner ini juga bukan pilihan yang tepat. Aku bisa dicap tidak sopan. Lagipula, ini momen yang pas untuk berbaur dengan rekan kerja yang lain.

Aku mengangguk. Dengan berat hati aku membereskan berkas tersebut dan menyimpannya ke dalam tas. Weekend ini akan kuhabiskan dengan melakukan persiapan akhir sebelum sidang lanjutan perceraian Abimana Senin besok.

"Gue bawa mobil, nanti kita beriringan aja," ujarku, sambil menghampiri Lola.

"Oke."

Lola berjalan di sampingku, dengan langkah anggun yang tegak meski di kakinya ada stiletto tinggi. Penampilan Lola masih tampak rapi, dengan rambut yang tertata di tempatnya, meski sudah bekerja sepanjang hari. Sementara saat menatap bayanganku di pintu lift, rambutku sudah tidak jelas lagi bentuknya.

"Tolong pegangin sebentar dong." Aku menyerahkan tas dan juga tas laptop kepada Lola. Sambil berkaca di pintu lift, aku mengikat rambut sebahuku menjadi cepolan di atas kepala. Not bad, lumayan rapi ketimbang membiarkannya tergerai.

"Ruly sudah di sana," ujar Lola.

Berbanding terbalik denganku, Lola tampak semringah. Dia memang tidak menutup-nutupi kalau dia menyukai Ruly, dan sepertinya dia tidak peduli jika Ruly mengetahui perasaannya. Mungkin, dia malah sengaja karena ingin Ruly tahu.

Firma hukum ini menyewa satu restoran khusus di bilangan Senopati sebagai tempat dinner malam ini. Meski tidak jauh dari kantorku yang terletak di SCBD, Senopati di Jumat malam sungguh tidak bersahabat. Jarak yang harusnya bisa ditempuh dalam sepuluh menit itu terpaksa molor hingga setengah jam.

Aku menyerahkan kunci mobil ke petugas valet. Restoran ini jelas tidak memiliki kapasitas parkir yang mampu menampung seluruh mobil pengunjung, sehingga aku tidak mau merepotkan diri sendiri dengan mencari lokasi parkir.

Sesampainya di dalam restoran, Lola langsung menarikku ke meja yang terletak di bagian dalam. Tadinya aku ingin duduk di meja yang sama dengan Via, tapi Lola dengan sekuat tenaga menarikku untuk mengikutinya. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, aku terpaksa mengekor di belakangnya.

Masalahnya, aku sudah tahu meja mana yang dipilih Lola. Tentu saja, meja tempat Ruly berada. Sialnya, ada dua kursi kosong di sana sehingga aku tidak punya kesempatan untuk mencari meja lain.

Ruly menyambutku dengan senyum lebar di wajahnya ketika aku menarik kursi di seberangnya. Sementara Lola, tentu saja lebih memilih kursi kosong di samping Ruly.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang