16. Villa Memory

60.4K 6.2K 254
                                    

Sepanjang sisa hari kemarin, Ruly memberiku kesempatan untuk lebih mengenal Bu Tresna agar aku punya background kuat soal kasus yang membelitnya. Aku pun diajak mengikuti kisah hidup Bu Tresna, termasuk saat dia jatuh cinta kepada pria brengsek yang kini menjadi suaminya.

Laki-laki itu jelas pantas disebut benalu. Dia datang ke Bali untuk mencari pekerjaan, dan akhirnya mendapat pekerjaan untuk mengurus tanah yang dimiliki oleh keluarga Bu Tresna. Aku masih ingat kata demi kata yang diucapkan Bu Tresna.

"Dia baik, sopan, dan bisa diandalkan. Kedua orangtua Ibu sayang kepadanya karena mereka sudah lama mau punya anak laki-laki. Ibu pun jatuh cinta kepadanya. Walaupun keluarga besar menentang hubungan kami karena dia bukan orang Bali, tapi Ibu tidak peduli."

Entah suaminya berubah di kemudian hari, atau kebaikan itu hanya tameng belaka untuk menjerat keluarga Bu Tresna. Setelah kedua orangtuanya meninggal, Bu Tresna merasa suaminya berubah. Sampai enam bulan lalu, suaminya pamit karena ada pekerjaan di Lombok. Namun, dia tidak pernah kembali lagi sampai sekarang. Tidak lama, ada perwakilan pihak pengembang datang untuk mengambil alih rumah dan tanah Bu Tresna. Beliau pun sadar kalau tanah dan rumah itu sudah berpindah tangan.

Selama berbulan-bulan Bu Tresna hidup luntang lantung mengandalkan uang tabungannya, sampai dia bertemu kenalan ketua RT yang kemudian memperkenalkannya kepada Ilman. Ilman yang membawa kasus itu ke hadapan Ruly. Tanpa pikir panjang, Ruly langsung menyanggupi kasus tersebut.

"Ibu menyesal enggak sudah menikahi dia?" tanyaku.

Jawaban Bu Tresna membuatku tertegun. Tidak ada penyesalan sekalipun suaminya sudah memperlakukannya dengan sangat tidak manusiawi seperti ini.

Bagi Bu Tresna, ini pelajaran mahal yang harus ditanggungnya sebagai konsekwensi dari keputusan yang diambilnya. Dia hanya merasa bersalah kepada anaknya yang ikut luntang lantung karena keputusan salah yang diambilnya.

Semalaman, cerita Bu Tresna tidak bisa hilang dari benakku.

Apakah aku menyesal sudah menikah dengan David?

Ketika menatap ke kegelapan malam, aku terbayang bertahun-tahun yang kulewati bersama David. Aku tidak bisa memungkiri bahwa David pernah memberikan kehidupan yang baik dan juga kebahagiaan. Walaupun harus berakhir menyakitkan, aku tidak bisa mengingkari kehadiran tahun-tahun penuh tawa itu.

Jadi, tidak. Aku tidak menyesal sudah menikah bersama David. Aku mengamini ucapan Bu Tresna. Keputusan itu kuambil dengan akal sadarku, jadi ini konsekwensi yang harus kutanggung.

Aku juga bertanya akan Bona. Adakah penyesalan?

Alih-alih penyesalan, aku malah memendam kekecewaan untuk diriku sendiri. Seharusnya pelajaran bersama David membuatku bisa menjadi lebih bijak.

Sepanjang pagi ini, aku ikut bersama Ruly dan Ilman membahas soal kasus ini. Apa pun rencana yang diajukan Ruly, berakhir di jalan buntu. Itulah yang membuatku frustrasi karena ketidakadilan ini.

Jelas ini bukan kasus pertamaku. Namun, baru kali inilah aku merasa sefrustrasi ini. Apalagi ketika melihat cara Bu Tresna menatap Ruly. Ada harapan di sana. Ruly pun merasakan harapan itu.

"Enggak bisa. Kita harus cari cara lain." Ruly melemparkan kertas yang dipegangnya.

Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Sama sepertinya, aku juga sudah kehabisan akal.

"Lo lihat Bu Tresna dan Yulia."

Aku mengikuti arah telunjuk Ruly. Ibu dan anak itu sedang bersama istri Pak Ketut. Mereka menunduk lesu, sama sekali tidak bersemangat. Mungkin mereka bisa menangkap kalau Ruly dan Ilman sudah hampir menyerah.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang