36. Different Path

51.8K 6.3K 271
                                    

Jujur saja, aku sudah tidak punya waktu untuk memikirkan Rayhan. Sehingga, ketika dia muncul di hadapanku dan mengajakku makan malam, aku seperti terlempar dari dimensi lain dan dipaksa menghadap kenyataan.

Perutku berbunyi, membuatku tidak punya alasan untuk menolak ajakan Rayhan. Kami memilih restoran Jepang di daerah Melawai untuk makan malam.

"Kamu kayaknya capek banget," ujar Rayhan.

"Bukan kayaknya lagi. Kalau bisa, aku enggak mau kerja besok dan tidur seharian," sahutku.

Rayhan tertawa kecil. "Izin aja kalau gitu."

Memangnya aku anak sekolah yang bisa bolos dengan pura-pura sakit? Cuti saja sulit untuk disetujui, apalagi bolos dengan alasan pura-pura? Sepanjang hari ini aku terlihat sehat, jadi sangat tidak masuk akal jika besok aku mengajukan izin sakit. Walaupun, harus kuakui, kalau saran Rayhan lumayan menggiurkan.

"Kasusmu belum selesai?"

Aku menggeleng.

"Kira-kira gimana hasilnya?"

Aku menyuap gyoza dan mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan itu. "Semuanya serba enggak pasti kalau bicara soal pengadilan. Kalaupun sudah merasa yakin 100%, bisa saja hasilnya malah sebaliknya."

Rayhan mengulurkan tangannya ke seberang meja untuk menggenggam tanganku. Dia mengusapkan ibu jarinya di punggung tanganku. Sambil menyuap makanan, aku memperhatikan tanganku yang berada di genggamannya. Sama seperti waktu itu, tidak ada perubahan apa pun di hatiku. Semuanya terasa datar, tidak ada debar, apalagi getaran yang membuatku menginginkan lebih dari sekadar genggaman tangan.

"Kamu pasti bisa." Rayhan tersenyum meyakinkanku.

"Thanks," balasku, dan menarik tanganku hingga terlepas dari genggaman tangan Rayhan.

Sepintas, ada raut kecewa di wajahnya tapi Rayhan langsung menguasai diri.

Getaran ponsel mengalihkan perhatianku. Mataku membola saat menerima email dari Ilman. Aku membukanya dan membacanya sekilas. Email itu berisi detail kasus yang tengah ditanganinya.

Refleks aku tersenyum. Keyakinanku terbukti. Ilman tetap membaginya denganku, sekalipun harus kucing-kucingan dengan Ruly.

"Sebenarnya Mas Ruly lagi nanganin kasus lain, sebagai konsultan. Ditambah kasus Pandu, jadi dia sibuk banget. Makanya gue share ini, mungkin Mbak bisa bantu karena gue enggak mungkin mendesak Mas Ruly." Aku membaca pesan penutup di email itu.

Ruly memang tidak membaginya denganku, tapi aku bisa menangkap kalau dia juga tengah menangani kasus lain di luar kasus Pandu. Jadi, aku bisa melakukan hal yang sama dengannya untuk kasus ini. Lagian, aku hanya menjadi konsultan. Tidak perlu turun lapangan langsung, karena untuk hal itu bisa diatasi oleh Ilman.

"Kabar bagus dari kantor?" Pertanyaan Rayhan mengembalikanku ke tengah restoran ini.

Aku menutup email dari Ilman sambil menggeleng. "Kasus lain sebenarnya."

Rayhan menatapku tanpa suara, tapi dari ekspresinya jelas dia tengah menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Kamu tahu perkebunan sawit Mitra Jaya di Muara Enim?" tanyaku yang disambut anggukan kepala Rayhan. "Ada kasus dengan buruh di sana."

"Kantormu mewakili Mitra Jaya atau buruh?"

"Ini bukan kantor. Jadi, Ruly, atasanku, dia punya LBH gitu. Sekarang mereka mewakili buruh di sana," jawabku.

Rayhan menatapku dengan dahi berkerut. "Dia enggak menyuruh kamu kerjain kerjaan lain di luar kerjaan kantor, kan?"

"Enggak, malah aku yang pengin terlibat di kasus ini walaupun dilarang sama Ruly," jawabku.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang