44. Let It Be Over

54.4K 6.5K 759
                                    

"Tumben lo mengajak gue makan." Ruly melirikku sambil memotong steak di hadapannya. "Steak? This is too much for someone who does intermittent."

Aku meneguk red wine yang menemani menu makan malamku kali ini sambil menahan tawa. "Malam ini cheating day gue."

"Jadi, ada alasan apa di balik ajakan ini?"

Sekali lagi, aku meneguk minumanku sebelum menjawabnya. "Ucapan terima kasih sekaligus perayaan. I'm done with Pandu. Dia enggak berkutik soal Dianis, jadi persidangannya enggak lama. Tinggal nunggu hasil akhir buat Pak Lim, karena perintah tutup mulut itu dari dia. Dia juga yang nerima uang dari Pandu. Jason cuma kaki tangan."

Ruly mengangguk sambil kembali memotong steak di hadapannya. "That sounds like an excuse."

He got me. Terlepas dari penjelasan panjang lebar barusan, aku menyadari penjelasan itu hanya alasan belaka.

Kesadaran yang kualami membuatku melihat Ruly dari sisi berbeda. Sepanjang hari ini aku memikirkan hubunganku dengannya. Walaupun diawali dengan sebuah kesalahan, lalu berlanjut menjadi permainan yang akhirnya tidak bisa kukendalikan, aku harus mengakui bahwa aku menikmati waktu saat bersamanya.

Ruly membuka mataku dan membuatku menyadari hidupku jauh lebih berarti. Dia membuatku berani melakukan hal yang selama ini hanya ada di angan-anganku. Dia memaksaku untuk memaksimalkan potensi, untuk mencapai batas yang kupunya. Ruly jauh lebih percaya kepada diriku dibanding diriku sendiri.

Selama ini aku selalu meragukan diriku sendiri. Seringnya aku merasa tidak pantas atas apa yang kudapatkan. Aku ragu mempunyai kemampuan yang cukup untuk bergabung dengan firma hukum sebesar ini. Aku juga ragu ketika Ruly mengajakku bekerja bersamanya. Perlahan dia mengusir semua ragu-ragu itu, sampai akhirnya aku pun merasa sudah saatnya untuk benar-benar melepaskan masa lalu.

"Setelah semua ini, kita pantas mendapatkan segelas wine dan daging steak yang enak."

Ruly mengangguk setuju. "Ini hanya awalan, Ra. Gue punya banyak kerjaan lain yang lebih menantang buat lo."

"We'll see. Gue masih di sini atau enggak."

Sontak Ruly mengangkat wajahnya. Matanya terbeliak saat menatapku. "Gue enggak menerima pengunduran diri," ujarnya tegas.

Aku tidak bermaksud mengundurkan diri. Pengalaman bersama Ruly membuka mataku bahwa ada hal lain yang ingin kulakukan. Aku tidak menyangka impian lama itu masih ada, dan kini malah semakin menjadi-jadi.

Aku masih ingin bekerja bersamanya, tapi bukan di sini. Melainkan di Kata Hati. Aku tidak tahu cara mengutarakannya, karena Ruly pasti akan langsung menolaknya.

Jadi, untuk sementara aku hanya tertawa ringan dan memutuskan untuk menundanya sampai menemukan waktu yang kurasa tepat.

"Thanks, ya, Rul. For everything."

Ruly meletakkan peralatan makannya. Kini dia menatapku tajam, dengan ekspresi gusar yang tidak ditutup-tutupinya. "Gue enggak akan menerima pengunduran diri lo."

"Siapa yang mau resign? Gue cuma mau bilang makasih," sergahku.

"Cuma orang yang mau pergi yang bilang makasih."

Aku menggeleng pelan. "In fact, I thank you. Enggak hanya karena lo memberi gue kesempatan untuk berkembang, tapi juga jadi teman. I mean, my partner."

Kening Ruly berkerut, tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Setahun belakangan cukup berat buat gue, tapi lo membuat semuanya jadi lebih mudah. Makanya gue bilang makasih." Aku tertawa pelan.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang