24. A Settlement

56.3K 5.9K 284
                                    

Rayhan benar-benar mengabariku pagi ini kalau dia ingin mengantarku pulang. Seperti remaja saja, aku tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang siang ini.

"Someone seems to be in a good mood."

Aku mencibir menanggapi ucapan Ruly. Dia terkekeh, sembari matanya menelitiku dengan tatapan menyelidik. Awalnya aku bersikap biasa saja, tapi lama-lama aku malah merasa jengah karena diperhatikan seperti itu.

Sambil mengangkat cangkir berisi kopi, aku pun meninggalkan Ruly. Mengapa wajahku terasa panas seperti ini?

Telingaku menangkap bunyi derap langkah di belakangku. Aku mendesah saat menyadari kalau Ruly masih belum melepaskanku.

"I was waiting for you last night," ujar Ruly yang mensejajari langkahku.

"I don't say yes."

Ruly mendecakkan lidahnya. "Undangannya masih berlaku untuk malam ini."

Aku menahan pintu ruanganku dengan kaki saat berbalik menatap Ruly. "Sorry, I have a date tonight."

Sambil menahan tawa, aku berbalik dan masuk ke ruanganku. Namun, perhatianku kembali teralihkan ketika pintu itu terbuka. Aku menoleh ke balik pundak dan mendapati Ruly melangkah mendekatiku. Dengan kedua tangan di dalam saku, dia terlihat begitu mengintimidasi.

"What?" tanyaku sambil mendudukkan tubuhku di kursi. Aku membuka laptop dan pura-pura menyibukkan diri, berharap agar Ruly segera pergi.

"You hurt me."

Aku mendongak dan menatapnya dengan mata mendelik. "Hah?"

"You already have a date while we just starting our partnership."

Aku mendengus. "Lo bisa ajak nge-date Bethany."

Begitu nama itu meluncur dari bibirku, ada rasa menggelitik di hatiku yang menandakan adanya rasa keberatan.

Ruly hanya mengangkat bahu. Dengan santai dia berjalan ke arahku. Terlambat untuk menghindar, dan memang tidak ada tempat untuk menghindar. Ruly menyandarkan tubuhnya ke mejaku, membuatnya begitu menjulang di hadapanku. Tatapannya melirik laptopku dan langsung menyadari kalau aku hanya berpura-pura.

"She's pretty but nah. Too young for me." Ruly menanggapi.

Aku menarik napas lega, tapi detik setelahnya kembali mempertanyakan tindakanku. Mengapa aku merasa lega?

"Your age is perfect for me."

Aku memutar bola mata sementara Ruly malah terkekeh. Aku menyenggolnya dengan sengaja, bermaksud untuk mengusirnya tapi Ruly malah bergeming.

"Ruly, gue mau kerja," protesku.

Sekali lagi, Ruly melirik laptopku. "Justru gue di sini mau nawarin kerjaan."

Aku bersandar ke punggung kursi. Sambil bersedekap, aku menatapnya dengan wajah malas. "Kok lo enggak ada bedanya, sih, sama Bang Tobing? Jadi, ada perceraian siapa lagi yang harus gue urus?"

Ruly hanya tersenyum mendengar tuduhanku. "I want you to be my right hand. Kasus Calista vs Pandu ini cukup pelik, jadi gue enggak bisa handle sendiri."

Mataku membola saat mendengar penjelasannya. Namun, aku berusaha untuk menahan diri agar tidak terlihat terlalu antusias. Bagaimanapun, ini kesempatan besar untukku. Lagipula, aku ingin tahu apakah Ruly memang sehebat yang selama ini digaungkan orang-orang, dan jika itu benar, bekerja bersama Ruly tentu akan melecut karierku.

"Beberapa korban itu masih agak ragu untuk terbuka di depan gue. Jadi, gue rasa lo bisa diandalkan. You know, sesama perempuan." Ruly melanjutkan.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang