Diana melihat ke kanan dan ke kiri, langkahnya semakin lama semakin cepat. Ia merasa ada yang sedang mengawasinya, membuat detak jantungnya berpacu dengan cepat. Diana memelankan langkahnya, namun suara derap langkah semakin jelas terdengar di telinganya. Diana di ikuti oleh seseorang.
Langkah kakinya kini menuntun Diana untuk berlari dengan cepat, peluh sudah membasahi pelipisnya. Nafasnya lambat laun kian memberat, Diana tersengal-sengal saat memori ingatan kejadian lalu membayang-bayangi dirinya.
Air mata sudah mulai mengalir di pipi Diana, ingatan kelam itu semakin menghantuinya. Ia berlari sambil memegang kepalanya yang terasa sakit dan berat.
“Arghh! Mama!!”
Diana menangis dalam senyapnya malam, batagor yang ia bawa terjatuh dari tangannya. Gadis itu mengikuti ke mana pun kakinya melangkah.
“Pergi! Jangan sakiti Diana!! Pergii!!”
Diana melangkah dengan kepala yang tertunduk, air matanya mengalir dengan deras seiring ingatan lama kembali mengganggu.
Hingga ia menubruk seseorang yang memakai Hoodie, tubuhnya langsung meremang. Rasa takutnya menjadi-jadi.
“Pergi!! Jangan sakiti Diana!”
“TOLONG! JANGAN SAKITI DIANA!!” Diana memberontak saat pria itu memeluknya.
“Diana! Diana!”
“Lo kenapa?”
“Tenang, lo gak pa pa.”
Tangan Diana bergerak tak karuan berusaha melepaskan diri, kesadarannya menjadi buyar. Melihat itu Ares mengeratkan pelukannya, menahan tangan Diana yang hendak melepaskan diri.
Ares dari rumah Akash hendak ke supermarket dengan berjalan kaki, dan di tengah jalan ia melihat gadis yang sangat dikenalnya menangis sembari berlari ketakutan.
“Ini gue, Diana. Ini Ares.” ujar Ares mengelus surai Diana yang sekarang sudah berantakan.
Diana berhenti meronta, mendongakkan kepalanya terpampanglah paras Ares yang selama ini dikaguminya.
“Kak ares ....”
“Diana takut, kak.”
“Jangan takut, gue di sini ....” Masih dengan memeluk Diana, Ares menghapus jejak air mata gadis itu.
“Lo dari mana malam-malam begini?” tanya Ares lembut.
“Tadi D-diana mau beli batagor, pulangnya a-ada yang ngikutin. Diana takut, kak ....” Diana menjawab dengan sesenggukan.
Diana menatap sekelilingnya takut-takut, dan sedikit terkejut saat menyadari ia melangkah tidak menuju ke rumahnya.
Ares lalu menuntun Diana berjalan, tapi langkah gadis itu terlihat berat. Sehingga Ares membungkukkan badannya meminta Diana naik ke punggungnya.
Diana menurut tentu saja, ia mengalungkan tangannya di leher Ares. Diana masih memiliki sedikit kesadaran untuk modus pada Ares, walaupun hatinya diselimuti ketakutan.
Digendongnya gadis itu sampai ke dalam rumah, Ares melihat rumah Diana sepi. Ia membantu Diana duduk di sofa, serta membuka sandal yang Diana pakai.
“Sepi?” tanya Ares berniat menepis rasa penasarannya.
“Mama masih di rumah sakit, papa juga lembur.”
Ares mengangguk mengerti, ia lantas pamit setelah melihat Diana sudah lebih tenang. Tidak baik berada di rumah seorang gadis yang tidak ada siapa-siapa di dalamnya selain mereka berdua. Itu pikiran Ares.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...