Tuk tuk tuk!
Suara benda berbenturan dengan lantai terdengar, murid kelas XI MIPA 4 menjadi hening seketika. Mereka akan diajari guru baru untuk pertama kalinya, guru yang beberapa hari lalu menjadi perbincangan hangat antar kelas. Dan yang mengejutkan, katanya guru itu seorang pengidap tuna netra.
Di ambang pintu, muncullah guru dengan setelan formalnya. Guru itu masih terlihat sangat muda, dan sayang sekali harus kehilangan penglihatannya. Memasuki kelas, guru baru itu lantas berdiri tepat di tengah-tengah ruangan. Dan itu tidak luput dari pandangan Diana, suara tongkat yang berbunyi menjadi objek yang paling ia perhatikan.
“Selamat siang anak-anak!”
“Siang, Pak!”
“Baik, perkenalkan saya adalah guru Fisika kalian yang baru, menggantikan pak Zainal yang akan pensiun akhir bulan ini. Nama saya, Erland Brahma. Ada yang ditanyakan?”
Sari mengangkat tangannya lalu bertanya sedikit hati-hati, “Nama saya Sari. Pak, kalau boleh tahu bapak buta total atau tidak? Dan sejak kapan? Maaf pak, sebelumnya saya lancang bertanya.”
Pak Erland sedikit melengkungkan bibirnya, dan menjawab pertanyaan Sari.
“Mata kanan saya buta total, kalau yang kiri masih bisa melihat tapi buram. Walaupun saya tidak bisa melihat jelas wajah kalian, saya masih bisa melihat keberadaan kalian. Saya mengalami kebutaan ini sejak empat tahun silam.”
Diana yang juga berada di dalam kelas itu, sedikit merinding. Ia merasa jika tatapan gurunya itu tertuju padanya. Entahlah, walaupun pak Erland memakai kacamata hitam, Diana bisa merasakan itu.
“Ada pertanyaan lagi?”
Semua terdiam, tidak ada yang berani bertanya lagi. Mereka takut menyinggung perasaan guru itu, jadi mereka memendam saja rasa penasarannya.
“Mbak yang di sana! Apa ada pertanyaan?”
Diana sedikit kaget saat pak Erland menunjuk dirinya menggunakan tongkat, sedikit rasa panik langsung menghampiri Diana. Ia refleks menggelengkan kepalanya.
“Gak ada, Pak.”
Lagi-lagi, senyum yang membuat Diana merinding kembali terukir di bibir gitu itu. Walaupun samar, tapi Diana bisa melihatnya dengan jelas.
🐳🐳🐳
Sedangkan di sisi lain, Ares, Lingga dan Akash malah bersantai ria di rooftop sekolah. Mereka membolos di pelajaran pak Budi yang sangat tidak di sukai, matematika dengan segudang rumusnya hanya menambah beban pikiran saja. Lebih baik bolos kalau kata Akash, main game online lebih baik.
“Lah katanya mau push rank, malah diem di sini. PUBG gak, Kash?” tanya Lingga menghampiri Akash yang sedang jongkok di depan jerigen besar.
Akash menatap kosong pada keong yang terlihat merayap dengan sangat lambat.
“Kasian ya, bekicot. Kalau udah nikah gak bisa serumah.”
Lingga tersenyum sinis, memilih melangkahkan kakinya mendekati Ares yang terlihat sudah mematik koreknya.
“Bumi gonjang-ganjing, muka lo kayak anjing.” celetuk Lingga saking kesalnya.
Ia duduk di sebelah Ares, menghembuskan nafasnya kasar. Sejenak lirik-lirikan dengan Ares, lalu kembali menatap puncak pepohonan yang ada di depannya.
“Tau hidup semengenaskan ini, mending dulu pas balapan sama sperma lain gue ngalah aja. Capek, punya temen yang gobloknya unlimited, dua puluh empat jam pula.” keluh Lingga.
Ares tak merespon, ia malah menyodorkan kotak rokok dan koreknya pada Lingga. Sembari menunggu Akash selesai dengan pemikirannya yang di luar nalar, mereka menikmati rokok di setiap hisapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...