20. Mirip Mama, kata Ares.

421 60 4
                                    

Di sore hari dengan angin sepoi-sepoi, Diana sedang duduk di pinggir lapangan tenis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sore hari dengan angin sepoi-sepoi, Diana sedang duduk di pinggir lapangan tenis. Ia sedang menemani Ares yang ingin berkeringat sore katanya. Semakin lama ia bertambah suka pada pria itu, tapi sepertinya Ares masih sama saja. Cueknya masih sama seperti dulu, hanya sedikit berkurang saja.

“Semangat! Kak Ares yang terbaik!”

“Nyenyenye ...” ejek Akash yang menjadi lawan main Ares.

Diana mendengus, Akash sama sekali tidak pernah bisa melihatnya senang sebentar saja.

“Aww!”

“Mampus ...!” gumam Diana saat dahi Akash terkena bola tenis.

“Rasain! Makanya jangan julid terus!!” teriaknya.

Akash kesal, kemudian menyudahi bermain tenisnya melihat Ares yang sudah keluar lapangan.

Diana menyodorkan sebotol air yang langsung diteguk habis oleh pria pujaannya itu. Tatapannya tak lepas dari Ares, pria itu selalu saja mempesona kapanpun di manapun dan dalam keadaan apapun. Tak tahu lagi sudah sedalam apa rasa suka Diana pada pria itu, yang jelas sudah tidak muat jika dimasukkan ke dalam tangki mobil Pertamina.

“Besok gue gak bisa nganter,” ujar Ares memberikan kembali botol airnya pada Diana.

“Kenapa?”

“Ada urusan.”

“Urusan apa?”

“Kepo banget!” Akash yang membuka suara.

Diana mendesis kesal, lalu dilemparnya Akash dengan botol air di genggamannya hingga pria itu kabur entah ke mana. Setelah Akash menghilang, ia kemudian menatap Ares lagi.

“Mau ke mana?”

“Gak usah tau,” jawab Ares membuat Diana kesal setengah mati.

“Oh, ya udah.” Diana kemudian bangkit dari duduknya berniat untuk pergi.

“Mau ke mana?” tanya Ares.

Diana menyunggingkan senyum sinis. “Gak usah tau,” jawabnya lalu menjauh.

Ares cukup terkejut dengan jawaban gadis itu, lalu tertawa setelahnya. Ia menggelengkan kepala sambil memandangi punggung Diana yang keluar dari lapangan tenis.

“Baperan!”

***

Ares memang seperti menatap kedua sahabatnya yang sedang bermain game di depan sana, tapi tatapannya kosong. Entah berapa lama lagi ia harus memendam rasa sakit dan kesepiannya selama ini. Setiap kali ia berada di rumah ia merasa kosong, aneh, padahal rumahnya terisi penuh oleh perabotan mahal-mahal.

Karena tidak bisa membendung rasa kesepiannya, ia mengajak Akash dan Lingga untuk menginap. Mungkin kedua sahabatnya itu bisa menghilangkan kesuntukannya.

Brass MonkeysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang