Pagi sekali Ares sudah pulang ke rumahnya, dia tidak mau kejadian lalu terulang kembali. Diana yang dengan urat malunya yang putus, memintanya untuk ke sekolah bersama. Ares memasuki pekarangan rumahnya yang terasa sangat sunyi.
Ares membuka pintu rumahnya, kegelapan menghiasi suasana ruang tengah. Sejak tiga tahun yang lalu, tidak pernah lagi ada kehidupan di sini. Karena itu, Ares sangat tidak betah di rumahnya. Seperti istana yang tidak berpenghuni, sia-sia saja.
Kaki Ares menuntunnya berjalan menuju kamarnya, tapi langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan. Yang terlihat mirip dengannya.
“Saya pergi dulu,”
Ares mengangguk terkesan tak peduli dan bergumam mengiyakan. Setelahnya pria itu berlalu menjauh dari pandangannya.
Ares tersenyum miris. “Anjing,” umpatnya bergumam.
Tak ingin memusingkan pria tua itu, Ares melanjutkan langkah memasuki kamarnya. Dan membaringkan tubuh di kasur, matanya menatap langit-langit kamar. Pikiran Ares melayang ke tahun saat semua masih baik-baik saja. Indah memang, tapi kenapa sangat sakit saat bayangan itu menghampiri angannya.
“Bunda, Ares kangen ....”
🐳🐳🐳
Ares memasuki kelas, di sana sudah ada kedua sahabatnya yang sepertinya sedang menulis. Apalagi jika tidak menyalin contekan. Ia lalu duduk di sebelah Lingga, kemudian memejamkan matanya mendengar alunan musik pelan dari headphone-nya.
“Anjir, gak ada otak banget si Budi. Ngasih tugas kok gak ngotak!” keluh Akash yang duduk menghadap belakang ke meja Ares dan Lingga.
Ia merasa kepalanya akan pecah akan soal matematika di depannya, belum lagi PR bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan. Bisa hancur kepalanya.
Lingga yang melihat sahabatnya itu terlihat gelisah mencoba memberi sedikit pencerahan, “Lo setres karena tugas numpuk?”
Akash berdecak kesal, “Malah nanya si bego!”
”Tenang, gue ada solusi. Dijejerin aja tugasnya, biar gak numpuk.” Lingga merasa bangga setelah memberi solusi yang menurutnya sangat luar biasa.
“Gimana kalo otak lo aja yang gue jejerin di rel? Biar dilindes kereta aja sekalian. Percuma lo punya otak, ada tapi gak dipake.”
Tak terima diledek, Lingga menatap nyalang Akash.
“Lah emang lo pake otak? Tugas lo aja bukan hasil sendiri.” Lingga melirik remeh pada Akash, “makanya, jangan hp mulu!”
Akash membelalak mendengar sindiran keras yang dilontarkan sahabatnya itu, tapi saat akan membalas perkataan Lingga, Ia terkatup kembali. Sebuah suara menginterupsi.
“Ironis sekali, manusia menciptakan ponsel. Ponsel makin pintar, manusia tidak.” Galang lewat, makhluk yang mengaku berasal dari planet lain.
Lingga menyunggingkan senyum sinis. “Si alien lewat.”
Di saat semua temannya sibuk dengan tugas, Ares masih terlihat anteng saja. Entah karena ia sudah mengerjakan tugas, atau mungkin tidak peduli. Ares termasuk kategori siswa yang memiliki potensi tinggi dan juga kepintaran, tapi sikapnya yang terkesan bodo amatan membuat Ares sangat malas untuk mengerjakan tugas.
Setelah beberapa waktu, bel berbunyi. Teman-teman yang lain langsung memasuki kelas, dan duduk di tempat masing-masing. Pak Budi kemudian masuk dengan menundukkan kepalanya saat berada di ambang pintu, guru matematika itu memang memiliki tinggi yang over.
Memberi salam kemudian duduk di meja, pak Budi memang terbiasa duduk di meja saat mengajar. Karena kakinya yang panjang membuatnya sangat tidak nyaman jika duduk di kursi. Guru itu menatap murid-muridnya sambil membenarkan kacamata.
Dilihatnya seorang murid masih bersantai dengan headphone terpasang di telinga, pak Budi menggelengkan kepala. Muridnya itu benar-benar kacau.
“Ares, bangun!”
“Kamu ke sekolah itu buat belajar, bukannya tidur!”
Ares membuka mata kemudian melepaskan headphone miliknya, ia samar-samar masih bisa mendengar apa yang pak Budi katakan. Sengaja Lingga tak membangunkan Ares, karena ia tahu seperti apa watak sahabatnya itu.
“Guru bilang, jadikan sekolah sebagai rumah kedua. Saya salah?” tanya Ares dengan tampangnya yang seperti biasa, datar.
“Yang kamu katakan memang benar, guru bilang begitu supaya kalian nyaman berada di sekolah seperti saat di rumah. Salahnya kamu, di sini bukan untuk tidur tapi belajar!”
Ares tersenyum sinis, “Kalau di rumah masih di suruh untuk belajar, kenapa tidak boleh tidur di sekolah?”
🐳🐳🐳
Di sinilah Ares berakhir, karena berani menjawab dan berdebat dengan guru, ia berakhir di tengah lapangan. Ares sudah ngos-ngosan karena ini sudah putaran ke-lima ia mengelilingi lapangan. Banyak siswi yang mencuri-curi pandang padanya,
Ares berhenti sejenak mengatur nafasnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, XI MIPA 4 sedang kelas olahraga pagi ini. Ia melihat segerombolan siswi yang sedang bermain voli, mereka juga sedang menatap ke arahnya.
Kening Ares mengkerut saat tak melihat gadis yang selalu mengusiknya di antara mereka, ia hanya melihat dua gadis yang sering bersama Diana. Sarah dan Manda, Ares sering kali mendengar Diana memanggil mereka dengan nama itu.
Langkah Ares perlahan mendekati dua gadis itu yang sedang bersantai di pinggir lapangan, tanpa Ares sadari kehadirannya menarik perhatian.
Sarah dan Manda tercengang saat sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Ares, begitu pun murid lain yang mendengar.
“Diana mana?”
🐳🐳🐳
Senin, 04 Januari 2020
Gimana part ini, ceritain perasaan kalian setelah baca chapter ini yaaaa
selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...