“Arghh!!”
Suara barang-barang berjatuhan terdengar bersamaan dengan isakan frustasi seorang gadis, meja bahkan menjadi sasaran.
Seorang gadis yang baru saja memoles wajah dengan senyum mengembang, kini terlihat berantakan. Air matanya mengalir dengan sendirinya.
Gadis itu melempar semua barang yang semula tertata rapi, ia tersenyum aneh menatap dirinya yang terpampang di cermin. Bayangan masa lalu yang menghantuinya kembali terngiang-ngiang di kepala gadis cantik itu.
Dia, Diana. Dengan sisa kekuatan yang dipunya ia berusaha menopang tubuhnya di meja.
“Kenapa menangis?” ia berdialog dengan cermin.
Dilihatnya bayangannya yang ikut menangis sepertinya di sana.
“Harusnya jangan ikut nangis!”
“Why are you crying? Smile, please!”
“Please ... .”
Diana menghantam cermin di depannya dengan tangan kosong. Hancur, bersamaan dengan mengalirnya darah di jemari kecil gadis itu.
“I TOLD YOU TO SMILE! NOT CRY!”
Tubuhnya meluruh, gadis itu rapuh. Ia bersandar di meja yang baru saja ia hancurkan kacanya.
“Mama ... Mama di mana?”
“Ma,”
Isakan tangis gadis itu tak berhenti, malah menjadi saja. Ia menelungkupkan wajahnya ke tangan kanan dengan lutut tertekuk. Sedangkan tangan kirinya menggenggam erat pecahan kaca yang berjatuhan di sebelahnya.
Diana, benar-benar frustasi. Memori kelam terus saja menghantuinya. Berputar di kepalanya layaknya kaset rusak.
“Argghh!”
“Mamaa! Papaa!”
“Mamaa!”
~~~
Diana mengerjapkan matanya, ia melihat hari sudah pagi. Sinar matahari menembus kaca jendela dengan malu-malu, dan menerpa wajahnya.
Diana mengamati sekitarnya, sudah tak ada barang-barang yang berantakan. Bahkan cermin yang kemarin hancur, kini sudah terganti dengan yang baru.
Ia menepiskan selimut yang membungkus tubuhnya, Diana turun dari kasurnya dan menuju kamar mandi. Ia menatap wajahnya, sudah bersih.
Diana tahu jika kemarin malam mamanya masuk ke kamar dan membereskan semua kekacauan yang ia buat. Selalu seperti itu.
Setelah mencuci muka, ia menemui mamanya yang sedang memasak di dapur.
“Ma,”
“Iya, bagaimana perasaan Diana sekarang? Enakan, Nak?”
Diana mengangguk, “Ma, kapan Diana sembuh?” tanyanya lirih.
“Diana enggak kuat kalau harus kayak gini terus,”
Sera mendekati anaknya, “Nanti sembuh, Diana semangat sembuhnya ya, sayang.”
Diana mengangguk, “Hm. Papa mana?”
“Masih di kamar, lagi mandi.”
“Bantu mama masak ya.”
“Iya, Ma.”
~~~
Di sisi lain, seorang pria melakukan gym rutinnya. Ia Ares. Pria dingin yang selalu menarik perhatian karena wajah memikat yang ia miliki.
Ayah Ares seorang polisi dengan bintang 3 berwarna emas yang di sandang. Sedang untuk bundanya, Ares tak ingin membicarakan itu.
Jika hari libur begini, ia akan bingung harus berbuat apa. Biasanya sahabat-sahabatnya akan ke rumah atau mereka bepergian ke suatu tempat seperti bukit yang sepi akan pengunjung.
Tapi tidak untuk hari ini, nanti sore akan ada latihan futsal yang di ketuai oleh Lingga. Dan Ares juga ikut serta.
Sudah sebulan ia masuk di SMA Vishaka, dan sejak itu pula seorang gadis yang belum ia ketahui asal-usulnya mendekati dirinya tanpa henti.
Mengiriminya ratusan pesan meski tak pernah ia respon, hanya sesekali ia membalas. Diana juga terus saja menelepon, setidaknya sepuluh kali setiap harinya. Tapi jika tidak ia respon, akan ada hampir lima puluh panggilan tak terjawab.
Benar saja, telepon pertama masuk. Tapi Ares tak bergeming, ia masih setia dengan barbelnya. Ia sudah hafal betul, dering ponselnya tak akan berhenti, kecuali ia mematikan atau menyalakan mode pesawat.
Setelah selesai dengan rutinitasnya, Ares menghampiri meja dan meminum hingga tandas segelas susu hangat yang tersedia. Ia melirik handphonenya, ada 7 panggilan tak terjawab.
Ares memeriksa aplikasi chattingnya, 32 pesan tak terbaca. Ia membukanya, seperti biasa, Diana akan menanyakan kabarnya dan apa yang di lakukan.
Belum sempat ia membalas, ponselnya kembali berdering. Diana is calling ...“Halo,”
“Haloo, Kak!” seperti biasa suara itu selalu saja ceria.
“Hm,”
“Kak Ares sudah sarapan?”
“Sudah,”
“Sekarang lagi apa?”
“Gak ada hal penting gue matiin.”
“Ehh, bentar Kak.”
“Apa?”
“Nanti siang kakak ekskul?”
Tak ingin menjawab, Ares mematikan panggilan secara sepihak. Jengah memang akan tingkah gadis petakilan itu, tapi sepertinya ia sudah terbiasa.
Ares kemudian menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Sepertinya ia harus menyibukkan dirinya sendiri sembari menunggu waktu latihannya tiba. Atau dia pergi ke rumah Lingga saja, sepertinya itu pilihan paling tepat.
~~~
Diana bersungut sebal setelah Ares seenaknya mematikan telepon, tapi tak apa-apa ia akan sekolah untuk menemui Aresnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 dan Papa sudah sejak tadi pagi berangkat kerja, sedangkan mamanya baru saja pergi.
Diana dengan sigap pergi ke dapur, dua akan membuat cake super enak untuk Ares. Setelah 1 jam melakukan misinya di dapur, kue yang di oven berbunyi.
“Kak Ares, kuenya datang!”
~~~
Jum'at, 09 Oktober 2020
Selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...