Wajah Diana sudah seperti mayat hidup, wajahnya pucat pasi, tapi bagian matanya sangat bengkak. Ares sangat khawatir akan keadaan gadis itu, bukan main-main, ia benar-benar gelisah akan kondisi Diana saat ini.
“Sakit ...” lirih gadis itu diiringi pukulan kecil di pundak Ares.
“Yang mana yang sakit? Yang nyakitin Diana siapa?” tanya Ares pelan.
Diana tak menjawab, ia menyandar di dada Ares. Tatapannya kini tertuju pada pria yang mendekapnya, ia ingin melawan kembali namun dekapan itu terlalu erat.
“Lihat gue, ini gue. Ini Ares.”
Ares menatap Diana dalam, mengusap lembut wajah Diana yang masih basah akan air mata. Yang juga merembes ke seragamnya yang tidak terbentuk lagi, karena kuatnya pukulan Diana tadi.
“Kak Ares ...” lirih gadis itu.
Pria itu menganggukkan kepala, senyum yang teduh tercipta di bibir penuhnya.
“Mau cerita, hm?”
Diana mulai datang kesadarannya, gadis itu melingkarkan tangannya ke pinggang Ares. Bersandar di dada bidang pria itu, menyamankan posisinya yang hatinya masih belum bisa ia tata dengan benar.
“Dia ... dia ada di sini ...” Tatapan gadis itu mulai berkelana ke sana ke mari, merasa was-was takut ada yang diam-diam memperhatikannya.
Ares menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan gadis itu jika hanya ada dirinya dan Ares di ruangan itu.
“Diana, di sini cuma ada gue sama lo. Gak ada yang lain.”
Diana mendongakkan kepalanya, dan menatap Ares seolah ia mendengar sesuatu. Padahal tidak ada suara sedikit pun, agaknya Diana berhalusinasi.
“Tok ... tok ... tok ...” Diana bergumam entah menirukan apa.
“Tok ... tok ....”
Gadis itu mengepalkan kuat tangannya, jemari pucat itu sampai bergetar saking takutnya. Diana seperti merendam masa lalu yang menjadi trauma untuknya, Ares yakin akan hal itu. Diana yang ia kenal sangat berbeda jauh dari yang ia lihat sekarang.
Sempat bertanya pada Sera kenapa Diana sampai senekad itu menyakiti fisiknya, tapi mama gadis itu tidak memberitahunya apa pun. Katanya, itu hak Diana untuk menceritakannya atau tidak.
“Tenang, ya. Ada gue di sini.” Pria itu mengelus surai Diana yang terurai.
Ia kemudian mengikat tinggi-tinggi rambut Diana menggunakan kabel ties yang di dapat dari laci, mengusap pipi gadis itu yang masih basah akan air mata.
“Kak Ares!” pandangan Diana ke mana-mana, ia melihat ke sekelilingnya.
Gadis itu seperti diintai oleh seseorang yang sangat ditakutinya, padahal tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Ares. Ia kembali ketakutan, cengkraman tangannya di seragam Ares mengerat. Sinar mata Diana memancarkan rasa takut yang begitu kentara, ia seperti orang linglung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...