3. Kak, coba senyum sedikit!

919 95 2
                                    

Sedingin-dinginnya pegunungan Himalaya, masih dingin sikap seorang Ares. Diana curiga, Ares mungkin memang tinggal di sana. Dilihat dari segi apapun, Ares sepertinya memang dibesarkan bersama macan tutul salju. Tidak salah lagi, Diana yakin pemikirannya sangat tepat.

Ditengah terik matahari yang panas, Ares menatap lempeng sekitarnya. Tak ada yang menarik, Ares sama sekali tak tertarik dengan dempul tebal para cabe kering yang sedang menatapnya dengan sorot menggoda. Ia tak tergoda sedikitpun!

Juga dengan lipstik mencolok, Ares menatap jengah itu semua. Semuanya terasa memuakkan di matanya. Ia benar-benar muak.

Ares bosan, pak Syamiudin lama sekali menyampaikan siraman rohani.

Lama menunggu, akhirnya upacara selesai. Tak ingin menunggu lagi, Ares melangkahkan kaki menuju ruang kelasnya.

Semua gerak-gerik Ares tidak luput dari tatapan seorang gadis cantik, Diana Abigail.

Diana tersenyum mengingat kejadian 3 hari yang lalu, saat Ares mengantarnya pulang dengan raut khawatir di bawah guyuran hujan.

"Ngapain senyum-senyum? Masih waraskan?" tanya Manda yang sejak tadi memperhatikan Diana.

Masih dengan senyum yang dipertahankan, Diana mengangguk.

"Iya, Diana masih waras, kok."

"Yasudah, kuy ke kantin."

Diana mengangguk dan menggandeng lengan Manda, mereka berjalan bersama menuju ke kantin.

Tapi Diana merasa aneh, ada yang kurang pikirnya.

"Sarah mana?"

Manda mengendikkan bahunya tanda tak tahu. Mereka berbalik mencari keberadaan Sarah, lalu saling menatap dan menepuk dahi masing-masing. Sarah masih berada di lapangan sendirian, dengan mata terpejam.

Manda dan Diana heran, kenapa Sarah bisa tidur di terik matahari yang sangat panas? Berdiri pula. Sarah benar-benar kaum tukang tidur sejati.

"Bukan teman gue, gue gak kenal."

"Diana gak tau, Diana mau kabur aja."

_____

Di kelas, Ares memejamkan mata dengan headphone terpasang di telinganya. Suara bising sekitarnya tak lagi terdengar, lebih baik ia mendengar dengungan nyamuk dari pada gosip tentang dirinya.

"Kash, tau nggak kenapa orang mati di bungkus pake kain kafan?" tanya lingga yang sedang mengerjakan PR agamanya.

"Tau"

"Kenapa?"

"Karena kalo dibungkus pakai plastik sama daun pisang, itu namanya lontong, bukan mayat." jawab Akash kelewat santai membuat Lingga mencebik.

"Lo belum pernah disentil malaikat maut, ya?"

Lingga sungguh kesal, padahal ia bertanya baik-baik. Tapi Akash menjawabnya dengan sembarangan.

"Ketemu aja belum gue!"

"Asu, mati aja sana lo! Bumi udah gak rela kaki lo napak di punggungnya!"

Akash menyunggingkan senyum menyebalkannya, "Jika saja bumi menolakku untuk menapakkan kaki di punggungnya, masih ada mars yang mau menerimaku."

Lingga memutar bola matanya kesal, harusnya Akash masuk kelas Bahasa saja, bukan IPS. Bakatnya menjadi pujangga sangatlah tinggi.

Sedangkan Ares, pria berparas tampan itu masih ada di dunianya sendiri. Ia tidak mau bergabung dengan kedua sahabatnya yang tak berguna.

_____

"Halo kak!" sapa seorang gadis pada laki-laki tampan bernama Ares. Gadis itu menyunggingkan senyum manisnya.

Ares memilih mengabaikan sapaan Diana, gadis itu sangat tak penting. Tidak bisakah Diana membiarkannya makan dengan tenang? Hidup Ares sungguh runyam akhir-akhir ini. Dan itu semua karena seorang gadis, yang bernama Diana Abigail.

"Lepas!" ujar Ares penuh penekanan, karena Diana sudah bergelayut manja di lengannya. Dan itu membuat Ares sangat risih, dia benar-benar tidak suka diganggu.

"Gak bisa, tangan Diana udah lengket di sini." Kata Diana dengan senyum yang belum juga luntur dari wajah cantiknya.

Aris merasa ubun-ubunnya terasa panas, hatinya bergejolak, dia ingin marah, tapi dia sadar di mana sekarang dia berada. Tidak mungkin dia memarahi Diana di depan banyak orang.

Aris membiarkan saja gadis itu mengapit lengan kirinya, ia masih bisa makan dengan tangan kanannya.

Diana tersenyum, dia menatap Ares dari samping. Sungguh maha karya yang sangat luar biasa, Ares lebih indah dari pahatan dewa Yunani. Tapi sayang, pria di sampingnya itu sangat irit bicara dan pelit senyuman.

Diana merogoh saku seragamnya, dan ia mengeluarkan satu sachet adem sari. Dia mengambil satu cup air minum dan membuka plastik penutupnya, Diana lalu mencampur air itu dengan adem sari.

"Ini, diminum ya kak!"

Ares mengernyitkan dahinya heran, untuk apa?

"Kak Ares sariawan kan? Diana kasih adem sari biar cepat sembuh, biar Kak Ares bisa menanggapi perkataan Diana. Nggak diem terus!"

Ares memutar bola matanya, ia berdecak pelan. Gadis di sampingnya itu kurang kerjaan sekali!

Diana menopang dagunya menggunakan tangan kiri yang sandarkan di meja, karena tangan kanannya memegang lengan Ares.

"Kak, kak Ares lahir di surga kah?" tanya Diana heran, visual Ares sangat memikat.

Visual Asia dan Eropa berpadu dengan sempurna di wajah Ares, matanya tajam dengan sorot dingin mengintimidasi. Namun teduh di saat yang bersamaan. Ares, lebih indah dari bunga Canna Lily kesukaannya.

"Atau mungkin di pegunungan Himalaya?"

Ares terbelalak, tidak percaya dengan pemikiran seorang Diana yang entah berasal darimana.

Diana masih betah memandangi wajah Ares, tak ada senyum sedikitpun di wajah titisan dewa itu.

"Kak, coba senyum sedikit. Kakak lebih menawan jika tersenyum."

_____

Minggu, 23 Februari 2020
12.45

Brass MonkeysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang