“Terima kasih, Dok!”
Diana tersenyum pada seorang dokter di depannya, sekarang ia sedang kontrol kejiwaan di rumah sakit. Kondisinya akhir-akhir ini membaik, selama tidak memikirkan hal aneh yang memicu traumanya, Diana bisa segera sembuh.
“Obatnya diminum sesuai resep, saya pastikan anda bisa segera sembuh.”
Diana mengangguk paham, ia tidak bisa lagi menahan tawanya. Ekting mamanya boleh juga.
“Mama kapan pulang? Diana kesepian di rumah, papa juga gak pulang-pulang,” adunya pada Sera, mamanya yang memang seorang psikiater.
“Iya, sayang. Nanti Mama gak lembur jadi pulang cepet, mama akan masakin makanan kesukaan kamu,” ujar Sera mengelus surai sang anak.
Diana mengangguk, ia kemudian berdiri berniat untuk pergi. Tak lupa berpamitan pada sang Mama.
“Diana pulang dulu, dadah!”
Sera mengangguk dan melambaikan tangan pada Diana yang sudah di ambang pintu.
“Nanti ajak Ares ke rumah, ya!”
***
Ares melangkah pelan di tengah-tengah tanah yang berpenghuni, di tangannya terdapat bunga anyelir putih. Tatapannya kosong menatap ke salah satu gundukan tanah, ia semakin mendekati makam itu.
“Assalamu’alaikum, Bunda ....”
Ditaruhnya bunga itu di batu nisan sang bunda, Ares tersenyum tipis melihat foto wanita yang sudah melahirkannya itu. Satu-satunya potret yang Ares punya, ia tidak punya lagi foto bundanya yang lain. Wanita yang tersenyum di depan kamera sambil mengelus perutnya yang membesar, foto itu di ambil sebulan sebelum Ares dilahirkan.
“Bunda gimana kabarnya?” senyum tipis Ares tercipta, tangannya mengelus pelan nisan yang terukir nama bundanya, Dara Alamanda.
Setiap menyebutkan nama itu, jantung Ares selalu berpacu dengan hebat. Ia sangat mencintai ibundanya walaupun tidak pernah ia jumpai, bahkan mustahil untuk bertemu.
“Akhir-akhir ini Ares dekat sama seseorang.” Ares berniat datang dan sedikit curhat pada sang ibunda yang sudah berada di surga itu.
“Cantik, senyumnya sama kayak Bunda. Punya lesung pipi juga, tapi cerewetnya minta ampun. Bisingnya ngalahin paus biru,” tuturnya sedikit terkekeh.
“Namanya Diana, Nda.” Ares tersenyum menyebut nama gadis yang akhir-akhir ini memang selalu berada di sisinya itu, “Diana Abigail, namanya juga cantik.”
“Kapan-kapan Ares bawa ke sini ketemu Bunda.”
Setelah berbincang panjang lebar dan membersihkan makam sang ibunda, Ares pamit untuk pulang karena hari sudah mulai sore. Langit terlihat mulai lelah, petang akan segera menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...