“Nda, liat pulpen Diana, nggak?” gadis itu sudah hampir sepuluh menit mencari pulpen kesayangannya yang berbentuk cermin.
Manda terlihat kebingungan sendiri melihat tingkah sahabatnya. “Itu dipegang, ngapain dicariin, sih!”
Diana menepuk dahinya dan terkekeh. “Astaga, Diana gak nyadar. Hehe.”
“Belum tua, jangan kecepatan pikun!”
Diana mengangguk-angguk dan merapikan semua peralatan tulisnya, istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Ia berencana menemui Ares dan memberikan sandwich buatannya sendiri untuk pujaan hatinya itu.
“Mau ke kantin, nggak?” tanya Sarah yang kini sudah berada di depan meja Diana.
“Diana mau ke kelas kak Ares dulu, Manda sama Sarah duluan aja nanti Diana nyusul.”
Kedua sahabatnya itu mengangguk lalu beranjak pergi. Diana kemudian mengeluarkan tepak yang berada di loker mejanya, sudah ia siapkan dengan niat dan penuh cinta untuk Ares tersayang. Gadis itu kemudian membawa kotak makan itu dengan perasaan riang, ia keluar dari kelas dan menuju ruang kelas Ares yang berada di lantai bawah.
Saat berada di tangga, kejadian seperti sebelumnya terjadi lagi, suara ketukan demi ketukan kembali memenuhi kepala Diana. Kepalanya menjadi penuh dan sakit saat bunyi itu semakin jelas di pendengarannya.
Tok! Tok!
Dekat dan semakin dekat, sakit di kepala Diana makin menjadi. Kotak makan yang berada di tangannya terlepas, tubuhnya oleng dan hampir saja terjatuh jika tidak ada tangan yang menahannya.
“Gak pa-pa?”
Diana mendongak melihat siapa yang menahannya, rupanya guru fisikanya. Ia kemudian melepas tangannya dari Erland dan mengambil kembali kotak makannya yang terjatuh, beruntung tidak tumpah.
“Terima kasih sudah menolong saya, Pak.” Diana sedikit menjauh dari gurunya itu.
Erland menganggukkan kepalanya. “Iya. Hati-hati kalau berjalan di tangga, resiko patah tulang lebih besar kalau terjatuh.”
Diana juga mengangguk walau tak tahu pasti gurunya itu melihat atau tidak anggukannya. “Saya duluan, Pak.”
Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya, berdekatan dengan guru fisikanya itu selalu membuatnya tidak nyaman. Entah kenapa aura Erland terasa dingin dan menakutkan bagi Diana, seperti ada yang mengganggu pikirannya. Dan setiap kali bertemu dengan gurunya itu, bayangan kelam Diana selalu saja muncul.
***
“Kak, ini buat Kakak.” Diana menyodorkan tepak makan yang dibawanya pada Ares.
“Tadi sempat jatuh, tapi sandwich-nya gak pa pa, kok.”
Ares menganggukkan kepalanya dan menerima pemberian gadis itu, sudah terbiasa akan Diana yang seringkali membawakannya sesuatu untuk dimakan. Padahal ia sudah mengatakan pada gadis itu untuk tidak usah memberikannya apapun, tapi Diana tetap saja Diana, tidak pernah mengindahkan peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...