Diana mempercepat langkahnya, bunyi sepatu terdengar jelas di belakangnya. Saat berada di lorong yang sepi, Diana mulai berlari tatkala suara sepatu itu sudah jelas sedang mengikutinya.
Saat akan berbelok, ia jatuh terpental setelah tubuhnya menabrak seseorang. Diana berdiri dengan pandangan mendongak. Wajah Ares langsung dia lihat.
Bisa di dengar dengan jelas, bunyi tap tap sepatu terdengar menjauh.
“Kak, ada yang ngikutin Diana.” ujar Diana menarik ujung seragam Ares yang dibiarkan terbuka.
Tanpa merespon, Ares melanjutkan langkahnya yang niat awal akan ke ruang BK. Karena tadi pak Sugiono melihatnya merokok di kamar mandi.
“Susah banget ngomong sama kak Ares, jatuhnya kayak ngomong ke patung.”
Melihat Ares sudah menjauh, Diana mengikutinya dari belakang lalu berjalan mengendap-endap tanpa sepengetahuan Ares. Sampai ia melihat pria itu masuk ke dalam ruang yang menjadi langganan siswa badung.
Diana menunggu Ares keluar dari ruangan itu, sampai ia tak sadar jika Ares sudah keluar. Ares bahkan tidak menggubrisnya, tapi Diana tidak mengindahkan itu. Ia tetap pada keteguhan hatinya, untuk mencintai Ares apa adanya. Eaa
“Kak, ngapain di ruang bk?”
“Makan,” jawab Ares sekenanya.
Diana terbengong-bengong, “Kan masih ada kantin, kenapa di ruang bk?”
Ares memutar bola matanya, kakinya yang panjang bisa dengan mudah mendahului Diana. Sehingga ia berjalan dengan cepat agar gadis itu tidak bisa menyamai langkahnya.
“Kak Ares ihh!” Diana menghentakkan tangannya di saat ia merasa diabaikan, lalu ditinggalkan.
“Jangan cepet-cepet, Kak. Diana capek ngejarnya.” kata Diana saat ia sudah menyamai langkahnya dengan pria es itu.
“Gak ada yang nyuruh ngejar.”
“Kalo gak mau di kejar ya jangan lari.”
Diana menggenggam paksa ujung seragam Ares agar tidak lari-larian lagi.
“Tadi Diana habis kembaliin buku,”
“Gak nanya.”
Diana menghela nafasnya sabar, menghadapi Ares memang harus banyak-banyak sabar.
“Terus ada yang ngikutin Diana,”
“Gak usah mimpi, masih siang.”
Diana memajukan bibirnya sepanjang-panjangnya, “Kemarin aja udah anget, kenapa sekarang dingin lagi?”
Ares mengedikkan bahunya, dan berjalan santai walaupun tangan perempuan di sampingnya itu terus saja menggandoli lengannya. Ares sesaat terfokus pada lengan wanita itu, heran saja karena Diana selalu saja memakai kaos tambahan untuk lengannya. Dan saat di luar sekolah, gadis itu juga selalu memakai baju lengan panjang.
Tapi karena sifatnya yang tidak pedulian, Ares mengabaikan rasa penasaran yang awalnya muncul di pikirannya.
🐳🐳🐳
Diana, Sarah, dan Manda berjalan santai menuju kantin. Melihat Ares juga ada di kantin, Diana langsung bergerak cepat duduk di sebelah pria itu. Padahal Akash baru saja akan duduk, tapi kedatangan Diana membuatnya berdecak sebal lalu memilih duduk di sebelah Lingga. Manda dan Sarah juga bergabung, namun mereka duduk agak jauhan.
Ares memakan nasi gorengnya dengan anteng tanpa repot-repot untuk menanggapi gadis di sampingnya, ia bahkan tidak menoleh sedikit pun.
“Kak gak usah jual mahal, deh. Nanti Diana cicil, loh.”
Akash terkekeh, “Cicil aja gak pa pa, DPnya bisa langsung setor ke gue, ya.”
Ares memutar bola matanya letih, tapi sebisa mungkin dia menetralkan rautnya. Ia kembali meminum es taro miliknya, mengabaikan manusia-manusia yang berada di dekatnya. Terutama gadis yang berada di sebelah kirinya, gadis itu memperhatikan Ares secara terang-terangan dan tak berkedip.
“Bisa santai gak ngeliatnya?” cecar Ares sangat risih karena tatapan tak biasa yang ditujukan Diana padanya.
Diana tersenyum manis dan menggeleng. “Diana gak bisa santai, apalagi kalo urusan sayang ke kak Ares.”
Ares mendecih ringan, mengejek Diana secara tak langsung. Lewat raut wajah pria itu, sudah terlihat jelas jika sayang dan cinta Diana hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi Diana memiliki asumsi kuat dan beranggapan jika pria itu akan mencintainya balik.
Akash menggeleng melihat dua insan yang duduk di depannya itu, ia menyugar rambut badainya. Bersiap untuk mengeluarkan kata-kata puitisnya.
“Gimana mau romantis, kalo doinya aja kayak Fir’aun.” cetusnya tanpa rasa bersalah.
Lingga yang baru saja memakan pentolnya, terbatuk-batuk mendengar lontaran kata-kata ajaib Akash. Dan membuat pentolnya tadi terlempar dan menggelinding di lantai.
Lingga kesal karena pentol terakhir terbuang sia-sia, ia lantas menatap Akash dan bergumam, “Ini orang cocok banget ditaro di kandang Dajjal.”
“Bro, pentol lo menggelundung di tengah-tengah keramaian.” ujar Akash, tersenyum pada sang sahabat.
Lingga menganggukkan kepala mencoba bersabar, bahkan ia tersenyum paksa pada pria gila itu.
“Iya, untung bukan kepala lo, ya, yang menggelinding.”
Mereka kembali melanjutkan makan, Diana dan kedua sahabatnya juga sudah memesan makanan yang sekarang hampir ludes disantap. Begitupun Lingga, ia kembali makan bakso setelah mengemis pada Ares.
Pria dingin itu melirik arlojinya, jam menunjukkan hampir pukul sepuluh. Artinya beberapa menit lagi bel akan berbunyi, dan yang membuat Ares sedikit kesal karena setelah ini adalah jam pelajaran pak Budi.
Ia berdiri dari duduknya, lalu melangkahkan kaki keluar dari kantin tanpa mengucapkan sepatah Kata. Melihat itu, Lingga dan Akash mempercepat makannya dan mengejar si batu se yang sudah keluar dari kantin. Sedangkan Diana mendesah kecewa saat pujaan hatinya sudah beranjak.
Di depan stan pak Munir, Akash berhenti sejenak dan sedikit mendekat pada pak Munir yang sedang mengaduk kaldu baksonya.
“Pak,”
“Bakso beranak itu kalo melahirkan, normal atau sesar?”
🐬🐬🐬
Senin, 5 April 2021
Halo semua, buat yang udah baca cerita Brass Monkeys maaf banget ya aku gantunginnya lama. Setelah ini aku usahain buat apdet rutin ya.
mohon dukungannya untuk cerita aku yang ini, terima kasih.
selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...