Bel pulang baru saja berbunyi, seorang pria dengan cepat memasukkan peralatan belajarnya ke dalam tas. Tanpa membuang waktu, ia berdiri dan bergegas dengan cepat. Membuat dua manusia yang juga masih berada di dalam kelas itu terheran-heran. Tidak biasanya Ares terburu-buru begitu.
"Mau ke mana?" tanah Lingga dengan kening bertaut.
Ares tak menjawab, ia hanya memberikan kotak susu kosong yang ia minum diam-diam saat pelajaran pak Seto berlangsung tadi. Lalu keluar dari kelas dengan langkah cepat, sepertinya Ares sangat tergesa-gesa.
Akash menepuk bahu Lingga, mengajak sang sahabat untuk beranjak dari sana.
"Jenguk tuan puteri mungkin, soalnya gue belum lihat tanda-tanda Diana ada di rumahnya."
"Ah ... jadi begitu." Lingga pun menganggukkan kepala mengerti.
Dua pria tampan nan manis itu berjalan beriringan, dengan tangan saling merangkul bahu masing-masing.
"Dih, muka lo kenapa breakout gitu?" tanya Akash yang baru meneliti dengan baik wajah Lingga yang terdapat sedikit iritasi.
"Iya, nih. Aslinya gak pede gue, mah. Tapi untung aja tampang gue ganteng alami, masih aman lah."
Akash menyunggingkan senyum sinisnya dan berkata, "Awas nambah kalo gak lo atasi dengan cepet."
"Cara ngilanginnya dengan cepet gimana, sih?" tanya Lingga mulai sedikit khawatir karena perkataan Akash.
Akash menaikkan alisnya bangga, sepertinya dia memiliki solusi untuk masalah sahabatnya itu.
"Pake hape Vivo aja!"
🐳🐳🐳
Ares berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit, dengan membawa sekeranjang buah serta bingkisan coklat. Sudah tiga hari Diana dirawat, dan selama itu pula gadis itu tidak ingin bertemu dengannya. Entah kenapa, Ares juga tidak tahu alasannya.
Dan kali ini, dengan harapan yang besar Ares berharap gadis itu mau ia temui. Dari jauh, ia melihat seorang pria paruh baya duduk di depan ruangan di mana Diana dirawat. Sudah tiga hari berturut-turut Ares melihat pemandangan seperti itu, jangankan Ares, bertemu papanya saja Diana tidak ingin.
Ia lantas melangkah lesuh mendekati Darren, pria itu adalah papa dari gadis yang sedang dirawat di dalam sana. Ares kemudian meletakkan keranjang buahnya di ujung kursi, lalu duduk di sebelah Darren.
"Diana masih belum mau ketemu siapa-siapa om?"
Darren menganggukkan kepalanya lemah, tatapannya menerawang jauh ke belakang. Entah sedang memikirkan apa, pria paruh baya itu sepertinya sedang mengingat masa yang tidak ingin dia kenang lagi.
"Di dalam ada tante Sera?"
Darren menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tante Sera baru aja pergi, banyak pasien yang nungguin."
Ares menganggukkan kepala, ia kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya menuju jendela kaca yang memiliki celah untuk melihat kondisi pasien.
Di dalam sana, seorang gadis duduk termenung dengan tatapan kosong. Diana seperti kehilangan jiwanya, jelas yang dilihat Ares sekarang bukanlah Diana yang kemarin-kemarin selalu membuntutinya.
Raut wajah gadis itu datar, mimiknya tidak lagi memperlihatkan aura hangat yang selalu Ares rasakan setiap melihat wajah gadis itu. Diana berbeda, gadis itu kehilangan senyumnya. Dan parahnya lagi, gadis itu melupakan dirinya. Ares sedikit tak terima akan hal itu.
Ia membalikkan badannya menghadap Darren, menatap kasihan pada pria paruh baya itu. Sejak kapan Ares memiliki perasaan iba, yang jelas sejak ia mengenal Diana, semua terasa berbeda bagi Ares.
"Om, Ares masuk gak pa pa, kan?" izin pria itu.
Darren menganggukkan kepalanya mengizinkan Ares masuk ke dalam ruangan rawat Diana, seperti yang sudah-sudah. Setiap kali Ares mendekati Diana, anak gadisnya itu selalu berteriak histeris meminta Ares untuk keluar.
Diana bahkan sampai melukai dirinya sendiri saking takutnya melihat sosok Ares, dan juga Darren. Bukan hanya mereka, Akash dan juga Lingga sudah jadi korban lemparan vas bunga dari Diana. Untungnya, dua pria itu tidak cidera. Anehnya, Diana hanya begitu pada lelaki.
Dengan langkah pelan, Ares membuka pintu dengan keranjang buah yang tadi dibawanya. Ia letakkan di atas nakas, lalu duduk di kursi yang berada di sisi brankar.
"Diana, hai!"
Gadis itu tidak merespon, masih sibuk dengan lamunannya yang mengambil semua titik fokusnya. Tatapan gadis itu lurus ke depan dengan kekosongan yang tersirat jelas dari manik mata Diana, dan Ares tidak terbiasa akan itu.
Digenggamnya jemari Diana, berharap fokus gadis itu kembali. Dan benar saja, Diana kemudian menatap ke arahnya. Namun, detik selanjutnya raut panik langsung menghiasi wajah pucat Diana. Dengan cepat Ares pindah duduk di sebelah Diana, menahan tangan gadis itu yang bergerak liar.
"Pergi!!"
"Jangan mendekat! Diana mohon pergii!!" Air mata gadis itu meluruh perlahan, wajahnya pucat pasi sarat akan kepanikan.
"Diana tenang, ini gue." Ares memeluk tubuh kecil gadis cantik itu, menahan tangan Diana yang tidak tahu kenapa semakin kuat saja memberontak.
"Pergii! Tolong pergi!! Diana salah apaa ... hiks." Gadis itu menangis kejer, terus saja bergerak menentang Ares.
"Diana! Lihat gue baik-baik!! Ini Ares, Diana!!" hardik Ares menekan perkataannya.
Tapi Diana seperti tak mendengar dan kehilangan akal, gadis itu tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
"Jangan sakiti Diana!! Pergi!!" teriak gadis itu.
"Ini sakit, hiks. Pergii! Jangan sakiti Diana lagi!!" erang Diana terus menerus.
Ares memejamkan matanya menahan sakit saat tubuhnya terkena hantaman Diana, bahu dan dadanya menjadi sasaran pukulan gadis itu. Namun ia tidak melepaskan tubuh gadis itu, membiarkan saja Diana memukulinya hingga lelah sendiri.
"Sakit! Tolong jangan! Jangan, hiks." Pukulan gadis itu semakin melemah, air mata memenuhi pipinya.
Tatapan Diana benar-benar menyiratkan rasa sakit yang begitu dalam. Jika bisa Ares ingin menyingkirkan perasaan itu semua dari Diana, biar dia saja yang merasakannya. Ia mengusap air mata gadis itu, mengelus pipi Diana yang ikut merah karena terlalu banyak menangis.
🐳🐳🐳
Minggu, 09 Mei 2021
halo, I'm backkkkk!
Makasih buat yang udah baca cerita ini, yang vote dan komen makasih dukungannya.dukung terus cerita aku yang ini ya, jangan lupa mampir juga ke cerita aku yang lain. di jamin seru dan bikin nagih. thanks.
selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...