Darah menetes deras dari pergelangan tangan gadis cantik yang matanya terlihat sembab, menjadikan pria di hadapannya murka sejadi-jadinya.
“LO GILA, HAH?!”
Diana berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Ares, melawan sekuat tenaganya untuk menghindari pria itu. Namun genggaman Ares begitu kuat, ia tidak cukup kuat untuk melepaskan diri.
“LO NGAPAIN?!” murka Ares.
Banyak darah yang mengucur dari tangan gadis itu, membuat Ares mendidih. Entah kenapa ia sangat marah saat ini, menatap tajam gadis itu karena masih berusaha untuk melepaskan diri.
“DIAM DIANA!”
Diana masih bersikeras ingin pergi, hingga tangan robek karena tekanan yang amat kuat. Gadis itu meringis merasakan sakit yang mulai menjalar, matanya kembali basah karena air mata.
“Pergi kak Ares! Pergi!!” teriak Diana mendorong tubuh Ares dengan tenaganya yang tidak cukup kuat.
“Pergi!!” Diana menangis, rasa takut menguasai dirinya.
“DIAM!!” bentak Ares sangat keras membuat gadis itu benar-benar terdiam.
Ares membuka seragam putihnya menyisakan kaos senada, ia merobek seragam itu lalu dililitkan di pergelangan Diana. Berharap darah itu berhenti mengalir, Diana sudah banyak kehilangan darah.
“Pergi, Diana mohon pergi ...” lirih Diana meminta Ares untuk pergi.
Ares menatap gadis itu dengan tatapan tak terbaca, ia kemudian membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Mengelus lembut surai Diana, menenangkan gadis itu. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada gadis itu, dari yang ia lihat, Diana sepertinya memendam sesuatu yang menyakitkan.
“Lo kenapa, hm?” tanya Ares melembut.
Gadis itu tak menjawab, ia masih sesenggukan dengan mata yang perlahan menutup. Kaki Diana tak bisa lagi menopang tubuhnya, hingga sepenuhnya terjatuh ke pelukan Ares.
“Dia datang, lagi ...” gumam Diana sebelum akhirnya hilang kesadaran.
Ares menjadi panik, ia menepuk-nepuk pipi gadis itu tapi tak kunjung bangun.
“Diana? Diana bangun!”
Ares menggendong gadis itu, menelepon Lingga meminta sahabatnya itu menyusulnya di parkiran dan membawa kunci mobil. Untungnya Lingga membawa mobil hari ini, ia bisa membawa Diana langsung ke rumah sakit.
Dengan panik Ares melangkahkan kakinya dengan cepat, wajah gadis itu sudah pucat pasi. Banyak yang memperhatikannya sepanjang ia melangkah, namun Ares tidak memedulikan itu.
Di parkiran, Ares langsung meminta Lingga membuka pintu mobilnya. Ia masuk dengan Diana yang berada di gendongannya.
Lingga melempar kuncinya pada Akash, lalu masuk ke dalam mobil. Akash langsung menyalakan mobil dan melaju keluar dari parkiran. Bunyi klakson terdengar keras saat banyak murid lain yang menghalang jalan.
Di gerbang, mobil itu dihadang pak Yahya. Satpam yang berjaga di depan gerbang sekolah. Akash kembali membunyikan klaksonnya tanpa mengurangi laju mobil. Mau tak mau satpam itu menghindar dengan sendirinya.
“Rumah sakit terdekat, Kash.” kata Ares.
Akash menganggukkan kepalanya, ia melirik sedikit ke spion di atasnya. Ares terlihat sangat khawatir pada gadis itu, jelas sekali dari raut wajah Ares yang meredup sekaligus meredam amarah. Akash mempercepat laju mobilnya, membelah jalanan Jakarta menuju rumah sakit terdekat.
🐳🐳🐳
Seorang dokter wanita paruh baya yang masih terlihat cantik berlari dengan raut wajah yang khawatir, mendekati tiga pria yang berada di depan sebuah ruangan.
Ia mendekati Akash dan bertanya, “Gimana keadaan anak tante, Nak?”
“Masih diperiksa, Te. Dokternya masih di dalam.” jawab Akash.
Pintu ruangan di mana Diana ditangani terbuka, keluar seorang dokter yang sudah terlihat tua dari ruangan itu. Ares langsung berdiri dari duduknya mendekati dokter itu. Begitu pun Sera, mama Diana.
“Gimana keadaan anak saya, Dok?”
“Pasien sudah di tangani dengan baik, untung saja golongan darah pasien AB. Jadi bisa ditangani dengan cepat, Dok.” ungkap dokter yang menangani Diana pada Sera.
“Kapan anak saya akan sadar, Dok?”
“Pasien akan sadar empat sampai enam jam ke depan, Dok.” Dokter itu tersenyum kemudian pamit.
Sera langsung masuk ke dalam ruangan anaknya setelah dokter yang memeriksa anaknya beranjak, begitu pun Ares, Akash dan juga Lingga.
Dan Ares baru tahu, jika mama Diana adalah seorang dokter.
🐳🐳🐳
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore hari, Akash dan Lingga sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Namun seorang pria masih berada di ruangan itu, menemani gadis yang belum juga sadar selama hampir empat jam.
Ares bersikeras ingin menjaga Diana, padahal Sera sudah memintanya untuk pulang saja. Lagi pula ada asisten Sera yang sudah dimintai untuk menjaga anaknya, karena dia masih banyak pasien yang juga harus dilayani dengan baik. Tapi Ares menolak, dia saja yang menjaga gadis itu.
Bukannya tak menyayangi Diana, hanya saja Sera memiliki tanggung jawab yang juga harus ia penuhi. Sedangkan Darren suaminya, sedang ada bisnis di luar kota. Dan akan kembali besok pagi.
“Lo kenapa, sih?”
Ares menatap Diana yang belum juga membuka matanya, digenggamnya jemari tangan gadis itu yang terdapat lilitan kain kasa di lengan. Ia tak habis pikir Diana sering melukai diri sendiri, pantas saja gadis itu selalu memakai kain untuk menutupi kedua lengannya.
“Gue kira lo petakilan karena gila, ternyata biar lo gak gila beneran.”
Pria itu memegang jemari Diana erat, berharap gadis itu segera siuman.
“Berat banget, ya? Sampe lo tega lukain fisik lo sendiri.” Ares terus mengajak Diana bercengkrama, walaupun tahu gadis itu tidak akan merespon.
“Diana, bangun ... Gue mau denger semuanya, cepetan bangun, ya.”
“Muka lo gak cocok jadi orang yang depresi, yang positif-positif aja, ya. Tolong ...”
Baru kali ini Ares selembut itu, baru kali ini pria beku itu terlihat gelisah dan takut secara bersamaan. Baru kali ini, Ares sekhawatir itu.
Di balik pintu, seorang wanita menyaksikan kejadian yang mungkin akan memberikan efek baik jika ia ceritakan pada gadis yang sedang terbaring itu.
“Nak, esnya sudah cair. Mama mohon tolong bahagia, jangan nangis terus ...”
🐳🐳🐳
Selasa, 04 Mei 2021
halo, I'm backkkkk!
Makasih buat yang udah baca cerita ini, yang vote dan komen makasih dukungannya.dukung terus cerita aku yang ini ya, jangan lupa mampir juga ke cerita aku yang lain. di jamin seru dan bikin nagih. thanks.
selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...