"Res, gimana dua hari ini? Betah nggak?"Ares berdecak pelan dan menatap kesal Lingga sahabatnya, "Nggak!"
"Buset, padahal gue lihat lo lagi dideketin sama adek kelas cantik kayaknya." Ujar Akash.
Ares mengangkat kedua bahunya acuh, ia sama sekali tidak peduli dengan adik kelas yang Akash katakan.
Diana Abigail, Ares tau jika yang Akash maksud adalah gadis itu. Cantik memang, tapi sangat menyebalkan.
"Masih belum Move On lo?!" Tanya Lingga sarkas.
"Udahlah Res, udah tiga tahun juga."
Ares menatap datar Lingga, "lo pikir gampang buat lupain semua?!"
"Karena bukan lo yang ngalamin makanya lo ngomong kayak gitu!!!" Ujar Ares penuh penekanan.
Ares pergi meninggalkan kedua sahabatnya, mereka sedang berada di warung pangkalan belakang sekolah.
Ares melompati tembok dan dan mendarat dengan sempurna, tidak lecet sedikitpun.
"Kak Ares?!"
Ares mengangkat wajahnya, dalam hati ia mengumpat. Dilihatnya gadis yang baru saja Akash bicarakan, dan sekarang sudah ada di depan matanya dengan memegang sebuah benda yang langsung gadis itu sembunyikan di belakang tubuhnya.
"Kak Ares boloskah?"
"Bukan urusan lo!"
Untuk pertama kalinya, Ares menjawab pertanyaan Diana. Karena sejak dua hari yang lalu, Ares menatap Diana saja tidak sudi, apalagi untuk berbicara.
Ares berjalan melewati Diana yang masih berdiri disana dengan kedua tangan di belakang tubuhnya.
Ares merasa aneh, gadis itu tidak mengejarnya lagi. Tapi Ares bodo amat saja, tidak mau ambil pusing.
Diana tersenyum miris melihat punggung Ares yang terlihat menjauh.
"Dasar kulkas berjalan! Apa tidak bisa buat Diana senang sebentar saja?"
Diana menunduk, "Mama, Diana kuatkan? Karena Diana kuat, Diana tidak boleh sedihkan?"
Gadis cantik itu mengembangkan senyumnya, ia memang harus tersenyum. Karena kata papa, senyum Diana cantik.
_____
"Kak Ares, Diana boleh nebeng gak?"
Diana menggenggam lengan Ares menahan pria itu agar berhenti berjalan.
Ares menghela nafas lelah, tidak pernah hidupnya setidak tenang ini. Diana memang pembawa sial stadium akhir.
"Kak Ares, Diana boleh nebengkan?" Tanya Diana lagi.
"Gak boleh!"
Ares menghentak kasar tangan gadis itu sehingga genggaman pada lengannya tadi terlepas.
"Auh!" Ringis Diana merasakan sakit di lengannya.
"Lo pulang sendiri aja!" Ujar Ares melangkah cepat ke parkiran.
Diana tidak menyerah, ia berlari mengejar Ares yang sedikit jauh karena memang langkah pria itu sangat lebar.
"Diana tidak ada yang jemput kak, kak Ares mau kan nebengin Diana?"
Ares mendesis marah, "lo punya otak gak sih?! Bisa kan lo pulang sama temen lo sendiri?!!"
"Gue capek terus-terusan diikutin sama lo!!!"
Diana terkejut, ia sampai mundur karena bentakan Ares padanya. Belum pernah ia dibentak begitu, laki-laki itu yang pertama membentaknya.
Matanya berkaca-kaca, dengan susah payah Diana menahan tangisnya yang akan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brass Monkeys
Teen FictionAres G. Syahreza namanya, jangan tanyakan parasnya, karena kalian akan mati ditempat jika melihatnya langsung. Dia dingin dan tak tersentuh. Diana bilang, Ares lebih dingin dari Es krim coklat kesukaannya. Ares tak pernah tertawa, berbicara saja ja...