Lembar 2: Perbandingan

1.6K 120 25
                                    

Aldebaran pernah mendengar, seseorang mengatakan; setiap orang selalu menyimpan rasa sakitnya sendiri. Dan semua orang pasti memiliki hidup yang ada kurang dan kelebihannya.

Seperti, ada yang memiliki keluarga yang lengkap, tapi tidak memiliki teman. Ada yang memiliki teman baik. Tapi tidak memiliki keluarga yang baik. Namun, baginya. Semua itu adalah dia. Dia tak memiliki keluarga, juga tidak memiliki teman yang benar-benar ada.

Lelaki itu hanya melihat dan mendengar bagaimana ketiga temannya, yang terdiri dua perempuan dan satu laki-laki, mereka tertawa. Tertawa dengan tingkah jenaka keluarga mereka. Dalam penglihatannya, sama sekali tidak ada rasa sedih di wajah mereka. Semua bahagia memiliki keluarga. Mereka tertawa dengan girangnya.

Sesekali Aldebaran ikut menimpali dan tertawa. Diam-diam, mengharapkan bahwa dia juga ada di keluarga mereka yang harmonis itu. Yang bisa ia lakukan hanya membayangkan ada di keluarga yang sangat dia dambakan.

Aldebaran memiliki ayah dan ibu. Bahkan dua kakak. Tetapi, mereka seolah tak ada. Apa kalian mengerti maksudnya? Mereka ada di hadapannya, tapi tak pernah ada untuknya.

"Tau gak? Abang gue beliin sepatu baru buat gue, kemarin! Menurut kalian, aneh gak? Biasanya tuh ya, dia gak pernah beliin gue sesuatu. Kira-kira kenapa ya!" ucap Mira temannya.

"Aneh ya lo! Abang lo baik, tumben. Abang lo cuek, ngeluh. Mau lo itu apa?" kata Ade dengan herannya. Gadis berkaca mata itu menggelengkan kepalanya heran.

Mira terkekeh, "Ya aneh aja gitu!"

Lagi-lagi Aldebaran hanya ikut tertawa. Perbandingan hidupnya dengan tiga orang di depannya itu benar-benar berbeda. Kakak pertamanya Reyhan, sama sekali tak pernah baik padanya. Yah, memang ia tak menyakiti seperti keluarga yang lain. Namun, sikap dinginnya itu sudah cukup membuktikan bahwa sang kakak tak pernah menyukai kehadirannya. Dinding yang kakak ciptakan seolah tak membiarkan remaja 15 tahun tersebut dapat menembus.

Sedangkan kakak keduanya jangan ditanyakan lagi. Dia akan terus berusaha membuat dirinya tak betah di rumah, dan akhirnya melarikan diri.

Aldebaran jadi ingat dengan cerita Haris dua hari yang lalu. Ketika dia berulang tahun, ayahnya memberi hadiah berupa motor yang Haris sukai. Aldebaran kembali membuat perbandingan, dia menyukai motor, ia sangat ingin dibelikan motor. Tapi, jangankan motor, kasih sayang ayahnya saja tak pernah dia dapatkan. Sesekali ia sangat ingin menertawakan takdirnya.

"Btw, kalian mau kemana nanti setelah SMP? Lo Al? Mau kemana?" tanya Haris menyadarkan lamunannya.

Aldebaran menghendikkan bahunya.

"Gak tau! Gue bingung mau kemana."

"Lo, 'kan pinter IPS. SMA aja!"

Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Dia tak pintar pelajaran IPS, ia pintar hanya karena guru yang mengajar sangat baik menjelaskan materinya. Tapi dia tak benar-benar menyukai pelajaran IPS.

"Ya, lo sukanya apa?"

Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana. Tapi Aldebaran tak bisa menjawabnya. Dia terdiam, jujur saja ia tak tau apa yang dia suka ataupun apa yang dia bisa. Karena ayah selalu mengatakan bahwa dirinya hanya penghancur segalanya. Mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan.

Cukup lama dia terdiam membuat semua juga ikut diam. Lalu, dia mendekat ke arah wajah Haris. Membuat Haris memundurkan wajahnya karena terlalu dekat. Aldebaran menatap lekat temannya itu.

"Ris, lo tau gak apa yang gue suka? Karena gue gak pernah bisa nemuin jawabannya."

***
Senja akan segera meninggalkan singgasananya sekarang. Kegelapan mulai datang seiring dia pergi. Langkah Aldebaran terhenti di pagar rumahnya. Meski sekolah telah berakhir sejak lama. Dia hanya bermain-main di jalanan. Sebab, rumah yang dimilikinya tak pernah membuatnya nyaman. Berbeda dengan rumah orang-orang. Yang kataknya, sangat menenangkan. Dan akan selalu menjadi tempat mereka pulang.

Aldebaran tak pernah menemukan tempat di mana ia harus pulang. Karena dia tak punya apa-apa. Selain menjadi penghancur keluarga orang lain. Selalu ada rasa sesak yang perlahan menyelinap keluar di hatinya setiap menatap rumah sederhana itu. Rumah yang mungkin indah sebelum dia datang. Kini berubah menjadi dingin yang tak berujung. Ada rasa bersalah pula yang menyeruak. Tetapi, Aldebaran juga memiliki hak, bukan?

Perlahan langkah kakinya masuk ke dalam rumah. Tepat di ruang tamu. Seorang laki-laki 2 tahun lebih tua darinya bersuara. Itu adalah kakak keduanya. Yang selalu membuat dia tak pernah nyaman di rumah itu. Terkadang, Aldebaran memaklumi, bayangkan saja. Keluargamu awalnya baik-baik saja. Lalu ada seorang anak yang mengaku anak dari ayahmu. Dan, ibumu menceraikan ayahmu. Keluarga hancur seketika. Jika begitu, apa kamu akan baik-baik saja?

Tentu tidak.

"Masih berani pulang ternyata. Kenapa gak pergi aja sekalian?" ejek Rangga sembari terkekeh menyeramkan.

Rangga tak akan pernah diam melihat keluarganya hancur karena orang lain. Bahkan Bunda sampai pergi dari rumah karenanya. Jadi, Rangga akan membuat hidup Aldebaran seperti di neraka. Sampai anak itu benar-benar pergi.

Rangga yang semula duduk di sofa sembari menonton TV melangkah mendekati Aldebaran. Sedangkan lelaki itu hanya diam dan menunduk. Membiarkan Rangga melakukan apapun terhadapnya. Sudah terbiasa sejak 2 tahun yang lalu. Sejak dia datang di rumah ini bersama Mama.

Tepat di depan adik tirinya itu. Rangga menarik dagu Aldebaran dengan kasar hingga membuat lelaki tersebut meringis. Rangga tersenyum manis.

"Lo mau diapain lagi biar bisa keluar dari sini?"

Aldebaran menunduk.

"Seribu kali gue bakal terus bilang. Bahwa lo itu perusak keluarga orang!"

Hati kaca itu, hati rapuh itu akan selalu bergetar setiap kata-kata menyakitkan keluar dari mulut sang kakak. Penekanan yang selalu mengingatkannya, jika dia bukan siapa-siapa dan tak akan pernah menjadi apapun. Selamanya, dia hanya seorang penghancur saja. Hei, kenapa getaran itu sangat kuat hingga membuatnya sesak?

Rangga terus menekan kuat dagunya. Mendekatkan wajah mereka. Menatapnya yang tentu bukan tatapan senang. Kebencian, amarah dan kekecewaan. Hanya itu yang Aldebaran bisa lihat dari mata indah Rangga. Dan dia selalu tak bisa berbuat apapun.

"Lo! Lo! Lo yang bikin bunda pergi dari sini! Kenapa sih lo harus dateng ke sini? Nyakitin bunda dan hancurin keluarga gue? Kenapa gak keluarga lain aja! Banyak keluarga lain yang bisa lo rusak!"

Aldebaran memejam mendengar teriakan yang hampir setiap hari dia dengar. Kalimat yang selalu teringang dalam kepalanya, dan selalu menggetarkan jiwanya. Jika bisa memilih. Dia tak ingin lahir di dunia. Tapi, kelahiran itu tak bisa ia tentukan, bukan?

"Jawab gue!"

Aldebaran diam. Dia tak ingin menjawab, lebih tepatnya tak punya kuasa untuk menjawab. Sekali saja, ia ingin katakan. Bahwa 'aku juga sedang mencari jawabannya'.

"Lo yang bikin gue menderita!"

Rangga mendorong tubuh cowok mungil itu hingga tersungkur. Menendang kakinya lalu melangkah pergi ke kamarnya. Aldebaran hanya menghela napas. Rangga memang seorang brandalan. Yang tak akan pernah bisa menerima bahwa keluarganya hancur hanya satu orang saja. Yang dengan terpaksa berpisah oleh ibunya. Rasa sakit Rangga tak sebanding dengannya. Masih belum cukup membuktikan bahwa dia adalah orang yang paling menderita. Tak akan pernah bisa!

TBC

Update random hehe

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang