Lembar 30: Langit untuk bintang yang redup

329 29 0
                                    

Aldebaran tau bahwa kehadirannya di rumah mama, sejak awal adalah kesalahan. Ditambah lagi dengan pernyataan mama tentang masa lalunya yang tak ia ketahui membuat Aldebaran merasa sangat bersalah.

Malam masih panjang, tapi Aldebaran telah memutuskan. Tanpa menunggu fajar tiba, ia akan pergi dari rumah ini. Meninggalkan semua hal tanpa rasa takut. Meski ia tau, hidup di luar sana sangatlah sulit, tapi tak apa, Alebaran sudah terbiasa.

Dengan menyiapkan beberapa pakaian, dan uang yang kemarin Dave berikan. Ia menggendong tas hitam miliknya. Aldebaran tak tau bagaimana caranya bekerja, ataupun hidup di luar sana.

Tapi setidaknya, ia tak jadi beban bagi orang lain. Ataupun menjadi penghancur keluarga orang lain. Lebih baik hancur sendirian, daripada menghancurkan orang lain.

Merasa semuanya sudah siap, Aldebaran membuka jendela kamar dan keluar perlahan, setelah berhasil, ia berjalan keluar perkarangan rumah. Untung saja tak ada yang tau ia keluar.

Hatinya berdebar-debar, pertama kalinya ia memutuskan hal besar dan mungkin berdampak besar dalam hidupnya.

Sebenarnya Aldebaran takut, ia takut dengan kemungkinan buruk yang terjadi. Tapi, untuk tinggal di rumah itu lagi, ia sudah tak sanggup.

Mungkin ini adalah keputusannya yang lebih baik. Semoga saja.

Desiran angin membuat Aldebaran sedikit merasa kedinginan. Lampu-lampu jalanan dan kendaraan yang berlalu lalang menjadi penghias dirinya ketika berjalan melewati jalanan kota.

Aldebaran hanya bisa melangkah tanpa tujuan. Berserah pada rembulan yang berjalan bersamanya. Berharap dapat menemukan secercah asa untuk tetap bertahan hidup.

Setidaknya, ia ingin berusaha mencari kebahagiaan meskipun itu adalah hal kecil.

Di jalanan yang ramai kendaraan, banyak sekali restoran-restoran di samping kanan dan kiri. Selama hidupnya, Aldebaran tak pernah pergi ke manapun. Tak pernah ia rasakan bagaimana rasa sedapnya makan di restoran itu.

Ah, mungkin dari orang-orang di sekitarnya, hanya hidup Aldebaran saja yang pelik.

Netranya menatap restoran di samping kirinya, banyak orang yang makan di sana, berbincang ria bersama keluarga, dan merasa bahagia memakan makanan mereka.

Bagaimana rasanya jika ia ada di sana? Mungkin sangat membahagiakan.

Sibuk dengan restoran tersebut, membuatnya menabrak seseorang dan ia tersungkur ke jalanan.

"Ya ampun! Kamu gak apa-apa?" tanya pria yang Aldebaran tabrak.

Aldebaran langsung mengadah ke atas dan terkejut dengan seseorang di depannya itu. Pria itu adalah Faris. Di belakang Faris terdapat seorang wanita dan seorang anak lelaki kecil di sampingnya. Aldebaran tau bahwa mereka Dewi dan Naziel.

"Om Faris?"

"Lho, Al? Kamu di sini?" Faris sama terkejutnya, ia tau bahwa Aldebaran kabur dari rumah.

"Ayo om bantu," Faris membantu Aldebaran untuk berdiri.

"Kita ngomong di dalem aja gimana?"

Aldebaran mengangguk setuju. Mereka berempat masuk ke dalam restoran dan mencari tempat duduk. Setelah itu, mereka duduk bersama.

"Sekarang itu, sebenarnya om mau ke rumah sakit, jagain Rangga. Tadi itu ada insiden, Al. Ada orang yang nyabutin alat-alat medisnya Rangga. Untung aja Rangga gak kenapa-kenapa."

"Orangnya sekarang masih dicari, engga tau siapa. Tapi kayaknya orang itu dendam sama Rangga."

Aldebaran yang mendengar hal itu merasa cukup terkejut. Apa mungkin, ketika ayah buru-buru pergi tadi itu karena ada orang yang menyerang kak Rangga?

"Kayaknya aku tau siapa pelakunya om."

Faris tampak terkejut, "Siapa?"

"Kemungkinan besar, yang nyerang kak Rangga itu Dave. Temennya kak Rangga. Sebenarnya, yang nusuk kak Rangga itu bukan aku, om. Tapi Dave, dia juga ada di sana waktu itu."

"Aku akuin kalo awalnya emang aku yang mau nusuk kak Rangga. Tapi akhirnya aku ngerasa takut buat ngelakuin itu. Terus Dave langsung megang tangan aku yang lagi megang pisau. Dave terus nusuk kak Rangga sampe jatuh."

"Dan pas ayah dateng, Dave malah bilang aku yang nusuk, padahal bukan. Yang aku tau, Dave bilang kalo karena kak Rangga, adeknya jadi menderita. Aku ga tau maksudnya gimana. Tapi yang aku tau, Dave itu benci banget sama kak Rangga."

Faris terdiam, berusaha mencerna informasi dari Aldebaran. Karena cukup rumit untuk dipahami. Aldebaran yang melihat reaksi Faris terdiam, mendadak merasa takut. Takut jika Faris tak percaya dengan semua yang ia katakan.

"Jadi, Dave itu gak suka karna Rangga bikin adeknya menderita? Karna itu dia mau lukain Rangga, terus jadiin kamu sebagai tumbal?"

Aldebaran hanya bisa mengangguk mengiyakan perkataan Faris karena memang begitu adanya.

"Om percaya gak?" tanya Aldebaran takut.

Faris mengangguk pelan, "Semua jadi masuk akal."

"Orang yang nyerang Rangga itu ketemu sama Reyhan, dan Reyhan bilang itu bukan kamu. Tinggi sama cara jalannya beda, jadi kemungkinan besarnya ya bukan kamu. Tapi ayahmu nyalahin kamu terus."

"Dan om tau kamu gak akan berani lakuin hal itu ke Rangga. Kamu bukan anak yang berani ngelakuin hal besar. Oh iya, yang bantu kamu kabur dari rumah siapa? Bener kalo mama kamu bantu kamu kabur?"

Aldebaran menggeleng, "Dave yang bawa aku ke rumah mama. Katanya, dia bayar mahal mama biar bisa nerima aku. Aku juga gak tau kenapa dia bawa aku ke sana."

Faris mengangguk mengerti, sekilas ia merasa iba dengan kehidupan ponakannya yang pelik.

"Om beneran percaya sama aku?" tanya Aldebaran memastikan.

Faris tersenyum, "Om tau kamu gak bohong, dari awal om percaya sama kamu."

Hati Aldebaran terasa lega, ia senang masih ada orang yang percaya dengannya.

"Makasih om!" seru Aldebaran.

"Terus sekarang, kamu ngapain? Kamu mau ke mana?"

"Aku kabur dari rumah mama."

Faris terhenyak, "Beneran? Kalo gitu yah kamu tinggal sama om aja! Emang kamu udah tau mau ke mana?"

Lelaki itu menggelengkan kepalanya tak tau. Terpenting adalah ia bisa keluar dari rumah itu.

"Yaudah sama om aja!" seru Faris. Ia tak tega jika keponakannya harus hidup sendirian di usianya yang masih belia.

"Kamu pesen makan gih!" titah Faris pada istrinya, Dewi langsung mengangguk dan menitipkan Naziel. Lalu pergi memesan makanan untuk mereka.

"Mulai sekarang, kamu jadi anaknya om!" ucap Faris sambil tersenyum senang. Tangannya terangkat, menghelus pelan rambut Aldebaran yang lebat.

Aldebaran tersenyum, merasakan kehangatan dari Faris, hanya om Faris saja yang bisa menerima apa adanya Aldebaran, ia merasa senang dengan itu. Masih ada orang yang tulus dan baik.

Ternyata, masih ada rumah untuk bintang yang redup itu. Apakah sekarang, ia bisa berharap lebih? Apakah ia bisa bahagia di sini?

Semoga saja, jawabannya adalah bisa. Karena itu satu-satunya yang ia inginkan.

TBC

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang