Lembar 10: Pertahanan Terakhir

534 64 2
                                    

Aldebaran pernah berharap ketika Mama memutuskan mengantarnya ke rumah Ayah. Dia berharap, jika ayah dapat menerimanya sebagai anak. Dan ia mendapatkan kasih sayang yang layak. Tidak seperti ketika bersama Mama. Kendati, semua itu ternyata hanya angan-angannya saja. Karena ternyata, ayah sama saja dengan Mama. Membencinya, dan selalu mengatakan jika dia adalah sebuah kesalahan.

Hampir tidak ada alasan lagi bagi ia untuk tetap hidup. Bahkan ketika harapannya pada Reyhan kini telah dihancurkan oleh orang lain. Seharusnya ini sudah biasa, dengan harapan yang mudah dihancurkan. Entahlah, kali ini ketika harapan itu hancur, rasanya sulit untuk diterima. Jauh di dalam kalbu. Ia masih berharap Reyhan masih membelanya. Dan masih menunjukkan kasih sayangnya. Sebab Aldebaran ingin tau rasanya seperti apa.

Ia ingat betul sewaktu langkahnya masuk ke dalam rumah ini. Ada banyak harapan yang dia inginkan. Terutama, Aldebaran ingin mengadu pada ayah bahwa selama ini hidupnya tak pernah baik-baik saja. Namun, tepat ketika Mama berbicara dan menuntut tanggung jawab, saat itu pula ayah terlihat tidak suka. Bahkan hampir memukulnya, akhirnya Aldebaran menyadari, tinggal bersama ayah pasti tak akan pernah bisa menyembuhkan lukanya.

Justru menambah luka. Dari saat itu, harapan yang selalu ia dambakan untuk menjadi kenyataan. Menjadi sangat sulit untuk terwujud. Karena semua selalu menjatuhkannya.

Benda tajam yang ia genggam. Benda itu kapan saja bisa mengambil nyawanya. Hanya saja, Aldebaran masih berusaha untuk mencari alasan agar tidak mati. Tatapan kosong miliknya, yang memang sejak awal tidak ada binar di sana. Bahkan kini menjadi lebih kosong dan buram. Tidak ada cahaya. Sama seperti kamarnya. Gelap tanpa ada apa-apa.

"Mati atau gak?"

Pertanyaan yang tidak menemukan jawabannya. Satu sisi, ia ingin mati karena sudah lelah dengan segala tekanan yang ada. Sisi yang lainnya menegaskan supaya Aldebaran jangan mati terlebih dahulu. Sebab bukan Reyhan sendiri yang menghancurkan harapan itu. Jadi, bukankah itu sebuah alasan juga?

Aldebaran mengigit bawah bibirnya dengan kuat, perlahan darah pun keluar. Ia sudah terbiasa dengan semua itu, hingga tidak ada rasanya lagi. Dia memilih bangkit, menyimpan benda tajamnya di bawah bantal lalu menyalakan lampu.

Di mana dia harus mencari lagi sebuah alasan?

Sejenak ia merebahkan dirinya di atas ranjang, memikirkan segala sesuatu yang mungkin bisa dijadikan alasan. Tapi nihil, tidak ada. Aldebaran takut dengan ancaman Rangga. Pasti setelah ini, hidupnya akan jauh lebih rumit. Apalagi kalau Rangga melihat perhatian Reyhan terhadapnya. Pasti kakak tirinya mampu melakukan hal di luar dugaan. Sama seperti kemarin.

Lantas, ia harus apa?

Mati dalam keadaan tak pernah mengenal kasih sayang. Atau hidup dengan penderitaan. Aldebaran tidak tau, rasanya ingin menangis saja. Oh iya, air matanya itu terakhir keluar 2 tahun yang lalu. Mulai saat itu juga, Aldebaran memutuskan untuk menjadi orang yang kuat. Meskipun harus terbentur keras pada takdirnya.

Cukup lama jarum jam berdetak, Aldebaran masih belum menemukan apa-apa. Lalu ia bangkit, melangkah pelan ke arah pintu. Jika harapan itu ada pada Reyhan, maka Aldebaran seharusnya mencari Reyhan. Untuk memastikan kalau ia masih punya asa untuk hidup. Dan masih bisa menjalankan kehidupannya ini.

***
Tidak ada raut rasa bersalah yang terbentuk pada wajah Rangga. Dia menikmati makan malamnya dengan nikmat, bersama Reyhan yang baru saja pulang. Selalu ada pembantu di rumah itu, yang akan datang ketika fajar tiba, dan akan pergi sewaktu senja datang.

Reyhan hanya memperhatikan raut wajah sang adik yang terlihat senang. Memakan makanannya sambil senyum-senyum. Bahkan ia pun sampai bergidik ngeri melihatnya. Seperti dia sudah melakukan hal yang sangat membahagiakan hatinya.

"Kamu itu ngapain, sih? Makan ya makan, senyum ya senyum."

Tepat suara Reyhan terhenti, atensi Rangga yang semula di piring, kini berganti menatap sang kakak. Hanya sebentar, lalu kembali fokus makan.

"Gak apa-apa. Intinya hari ini aku seneng banget," katanya sembari terkekeh.

Senang karena bisa mengancam Aldebaran. Ini masih tahap satu, belum ke tahap selanjutnya!

Reyhan hanya menggelengkan kepalanya saja.

"Oh iya, Al mana? Dia gak makan? Panggil gih!"

Wajah bahagia itu tampak pudar setelah nama yang ia benci disebutkan. Sebelumnya, kakaknya itu tak pernah menanyakan tentang Aldebaran. Tapi sekarang, justru dia merasa Reyhan mulai menyayangi anak tersebut. Dan mampu memberikan percikan api dalam dadanya. Dia akan selalu membenci Aldebaran.

"Dek, kok diem? Panggilin gih, masa kita makan, dia gak?"

Rangga membuang napas panjang.

"Gak usah peduli, mau dia makan mau gak, bodo amatlah aku!"

Suara sendok yang terbanting. Reyhan cukup kesal ketika kata-kata itu terucap. Apa hanya dirinya saja yang bisa memahami? Kenapa ayah dan adiknya tidak sama sekali? Ah, Rangga memang mirip Firman.

"Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, kan bukan salah dia ada di sini. Itu memang haknya dia ada di rumah ini. Karena dia anak ayah."

"Tapi bukan anak bunda, 'kan! Yaudah, harusnya gak boleh ada di sini!"

"Bunda sekarang gak ada di rumah ini. Jadi berhak juga!"

Reyhan menatap tajam Rangga, begitu pula sebaliknya. Mau Bunda ada atau tidak di rumah ini. Aldebaran masih memiliki hak untuk tinggal, karena dia adalah anak ayah. Karena kesalahan ayah. Itu adalah hal yang dia tanggapi.

"Kakak itu kenapa sih! Jangan bela dia kenapa! Aku gak suka!"

"Rangga, kamu itu sudah dewasa, jadi kamu harusnya bisa paham dan harus nerima kenyataan kalo kamu sekarang punya adik! Dan kamu juga punya tanggung jawab baru!"

Rangga menggeram tidak suka, "Kak! Sampai aku mati sekalipun, aku gak bakal mau nerima dia sebagai adik aku! Oh iya, Adek kakak itu cuma aku! Gak ada yang lain!"

Sedari kecil Rangga memang sangat posesif pada kakak satu-satunya itu. Bahkan dia selalu melarang Reyhan untuk tidak terlalu menyayangi kedua orang tuanya. Lantas jika begitu, apa mungkin dia bisa menerima Reyhan menyayangi adik selain dirinya?

"Dek! Kamu itu kapan ngerti?"

"Kakak yang gak ngerti! Bahkan ayah aja gak mau nganggep dia sebagai anak!"

"Ayah kita itu orang bodoh! Jangan sampai kamu begitu juga!"

Rangga semakin menggeram, tangan dan rahangnya mengeras kuat. Dia tidak suka ayahnya dihina seperti itu, terutama yang berkata hal tersebut adalah Reyhan.

"Bahkan kakak aja sampe bisa hina Ayah kayak gitu! Sumpah kakak berubah banget!"

"Semua itu karena memang salah ayah. Kalau kamu tau siapa ayah sebenarnya, kakak yakin kamu juga bakal benci sama dia!"

Rangga berdecak kesal, sembari bangkit dari kursinya, dia menatap tajam kakaknya itu.

"Terserah kakak! Aku capek!" serunya lalu berjalan meninggalkan ruang makan. Dia muak dengan perdebatan ini.

Reyhan hanya menghela napas, menyadarkan seseorang yang sangat keras kepala memang menyusahkan, betul apa kata om Faris. Lelaki itu memilih untuk melanjutkan makan malam, baru setelah itu dia akan memanggil Aldebaran.

Perdebatan panjang itu cukup membuat Aldebaran senang. Sejak langkah kakinya datang kemari senyumnya sudah bangkit kembali. Tidak, bukan berarti dia menyukai hubungan kedua kakak beradik tersebut rusak. Hanya saja, melihat Reyhan yang membelanya, dan tidak mengikuti perkataan Rangga. Itu adalah alasan untuk tidak mati bagi seorang Aldebaran.

Setidaknya, Aldebaran sekarang memiliki pertahanan terakhir. Pion terakhir yang bisa membuat sang raja menjadi kuat. Dan ketika pertahanan terakhirnya itu telah rusak. Dia yakin, saat itu pula hidupnya telah berakhir. Sebab Aldebaran tak memiliki apa-apa. Dan akan selalu seperti itu.

TBC

Semoga suka ya kakak-kakak! Jangan lupa vote kalo suka. Btw, aku ganti unsername dan nama pena. Ga tau deh:( aku suka bgt ganti2 nama heran. Semoga nama yang ini awet yah wwkwkk.

Jangan lupa follow aku! @RayJora untuk kisah yang lainnya:)

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang