Lembar 12: Seutas Tali Tak Terlihat

525 62 5
                                    

Harapan yang tersisa untuk ayah sekarang sudah benar-benar menghilang. Kepingan kaca yang sangatlah rapuh itu kini telah menjadi kepingan-kepingan yang sangat kecil, saking hancurnya, tidak ada yang tersisa. Dan dirinya tak berniat untuk mencari setiap kepingan yang hancur itu. Membiarkan kepingan kaca tersebut bercampur bersama tanah.

Aldebaran hanya perlu membersihkan kaca yang lama, dan menggantinya dengan yang baru. Harapan yang baru.

Toh, benar juga ucapan yang Om Faris pernah gaumkan. Bahwa ia tidak perlu berusaha dekat dengan seorang ayah yang seperti itu. Yang tak pernah menyadari apa kesalahannya. Jika memang benar ayahnya itu sangat mencintai sang istri. Pasti ia tak akan pernah berani untuk menyentuh Mama. Tapi Firman justru menyalahkannya.

Padahal yang merusak keluarganya begitu dalam hingga tak ada lagi celah untuk kembali utuh adalah dirinya sendiri. Aldebaran tak pernah mengerti tentang ayahnya. Begitu pula sebaliknya. Keluarga itu telah menjadi keluarga yang saling menyakiti.

Maka dari itu, Aldebaran memilih untuk berhenti mengharapkan ayah.

Sepi yang menyelinap pada kelasnya menjadi cara untuk ia dapat mengalihkan pikirannya. Ia mencoba untuk tidak memikirkan apapun lagi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan ayahnya itu. Ia tidak harus menghabiskan tenaga yang ia miliki bila hal yang dia pikirkan hanya akan menyakitinya lebih dalam lagi.

Cukup ia yang harus mencari cara agar sang kakak selalu tetap berada di sisinya, tidak lagi membuat jarak seperti dulu.

Karena mengharapkan seseorang yang bahkan tak pernah menganggap bahwa kita itu ada, untuk menerima kita, hanya mampu menghasilkan luka yang dalam dan berkelanjutan untuk diri kita. Jadi, untuk apa untuk diperjuangkan?

Berhenti adalah cara yang baik. Meski harus mengorbankan sesuatu. Tapi itulah hidup, hidup tidak pernah mudah, tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, lebih baik menerimanya, dari pada memperburuk keadaan yang nantinya hanya akan melukai diri kita.

Selain itu, Aldebaran tidak bisa berbuat apa-apa, selain menjalankannya saja. Seraya menunggu seseorang untuk menolong dirinya yang tengah tenggelam ke dalam lautan yang gelap nan sakit ini, sulit untuk bisa berenang ke tempat cahaya matahari telah berpancar, arus ombak yang selalu menerjangnya, selalu membuat dirinya tenggelam, lagi dan lagi.

***

Bel istirahat telah berbunyi.

Aldebaran menghentikan lamunannya, lalu menghela napas dalam-dalam, ia merasa sangatlah bosan. Hanya itu. Dia cukup malas ke kantin karena antriannya yang pasti sangatlah panjang, seperti barisan-barisan semut yang selalu datang mengambil makanan yang jatuh ke lantai. Lagipula dia merasa sama sekali tidak lapar, jadi dia tidak merasa perlu bagi dirinya untuk pergi ke kantin dan membeli makanan.

Tangannya terangkat menopang dagu miliknya itu, seraya pandangannya menatap kearah papan tulis yang masih menyisakan pelajaran tadi.

Sekolah ataupun rumah. Sama sekali tidak ada yang mampu membuatnya nyaman. Jadi, apa yang mampu membuatnya nyaman? Aldebaran tidak mengerti.

Terkadang, ia pernah bertanya kepada cakrawala yang membentang biru di atas tanah. Sebenarnya, ia hidup untuk apa? Ia dilahirkan untuk apa? Ia berada di dunia ini untuk apa? Apa tujuannya untuk terus hidup? Apa yang harus ia lakukan terhadap kehidupan, kepada dunia, yang sangatlah membenci dirinya ini?

Kenapa 'Aldebaran' harus menjalani kehidupan yang seperti ini?

Kenapa tidak seperti orang lain saja; bersenang-senang, pergi main keluar bersama teman, jalan-jalan bersama keluarga, main bersama saudara, makan bersama sebagai sebuah 'keluarga', berkumpul bersama orang tersayang, tanpa harus memikirkan tentang hidup yang selalu tidak adil ini. Ia ingin merasakan hal itu, bahkan meskipun hanya untuk sekali saja.

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang