Lembar 3: Suara Yang Tak Pernah di Dengar

1K 102 16
                                    

2 tahun yang lalu adalah tahun yang mengerikan bagi Rangga. Dia ingat bagaimana keluarganya hancur saat itu. Dia juga ingat bagaimana bunda menangis sejadi-jadinya, seolah kebenaran tentang Aldebaran adalah anak ayah dan wanita lain itu berita tidak benar. Tapi, tes DNA membuktikan semuanya. Bahwa memang benar, Aldebaran anak ayahnya, Firman dengan wanita lain.

Bunda menceraikan Ayah. Pertengkaran besar saat itu, Rangga menyaksikannya, dengan perasaan sangat amat kecewa. Dia kecewa pada ayah, yang telah dia anggap sebagai pahlawan. Sebagai orang terhormat yang terlihat tak pernah melakukan kesalahan fatal. Keluarga yang indah, keluarga yang bahagia, keluarga yang baik-baik saja. Hancur hanya dalam sekejap. Dan semenjak itu, Rangga tak pernah dapat lagi kehangatan di rumah ini.

Malam telah tiba sepenuhnya, tapi Rangga masih menolak menyalakan lampu. Dalam kegelapan di kamarnya, Rangga tidur di atas ranjang. Menyelam pada ingatan yang menambah luka, mengingatkan bahwa semuanya telah hancur berantakan seperti kaca yang kokoh, lalu terjatuh dan pecah.

Rangga menghela napas. Usahanya untuk mengusir Aldebaran dengan menyakitinya, ternyata sama sekali tak berarti. Dia benci pada Aldebaran bukan hanya menjadi penghancur keluarganya. Tetapi, juga bagaimana anak itu masih bertahan di rumah setelah luka panjang yang dia goreskan. Padahal ia amat tau jika lelaki itu tidak merasa nyaman. Apa yang membuatnya bertahan?

Rangga tidak tau.

Tangannya meraih ponsel di atas nakas. Memandangnya sebentar, lalu menelpon seseorang yang dia rindukan. Seseorang yang telah pergi tanpa membawanya, padahal ia juga terluka atas semua ini. Tepat suara bunda terdengar. Senyumnya mengembang.

"Bunda! Apa kabar?"

"Bunda baik-baik aja. Ada apa, sayang?" tanya Sarah.

"Gak apa-apa, kangen aja. Kakak belum pulang, jadi kesepian deh. Bunda kapan jenguk aku? Main yuk!"

Rangga mendengar suara helaan napas. Dan dia akan tau jawabannya apa.

"Maaf, ya. Bunda lagi sibuk sama kerjaan. Lain kali kita main! Bunda janji!"

Selalu kalimat itu yang dia dengar. Rangga tau, bahwa bunda menyibukkan diri hanya untuk bisa sembuh dari luka. Tapi mengapa ia tak pernah berpikir, jika Rangga juga terluka? Jika Rangga butuh ayah, bunda dan kakak? Mereka semua seolah hilang begitu saja. Mereka semua menyibukkan diri. Melupakan dirinya begitu saja.

Rangga memang akan selalu sendirian. Dan bangkit sendirian. Matanya mendadak panas, ada air mata yang dia tahan di sana.

"Yaudah gak apa-apa, deh."

"Kalo udah, bunda tutup, ya! Istirahat, jangan lupa makan malam."

Pembicaraan habis di sana. Dan telepon berakhir. Meninggalkan hening dan sisa cahaya ponsel Rangga. Pemuda itu menghela napas, mencoba menghalau rasa sesak yang semakin kuat. Dia ingin seperti dulu lagi. Setiap malam berkumpul, dan makan bersama. Kenangan itu membuat air mata yang dia tahan sejak tadi akhirnya luntur juga.

Rangga itu brandalan, Rangga tidak pernah menyatakan apa rasa sakitnya. Meski begitu, bukan berarti dia baik-baik saja.

***
Berteman dalam sepi adalah hal yang paling menyenangkan. Terjebak di tengah angan-angan palsu, yang ternyata sangat membantu Aldebaran tertawa. Sesuatu yang tak pernah ia dapat di dunia ini. Dia mendapatkannya di dunia khayalan.

Terbaring di ranjang dengan posisi terlentang, menatap atap kamar yang pucat. Aldebaran tertawa pada orang-orang di khayalannya, mereka tidak nyata. Tapi mereka adalah sesuatu yang berharga.

Terkadang, khayalan itu membuat kepalanya menjadi pening. Tetapi, jika hal tersebut mampu menghantarkannya kepada sesuatu yang dia inginkan. Mampu membuatnya bahagia meski tak nyata. Aldebaran akan selalu menahan semua rasa sakitnya.

"Kalian itu berharga banget. Kenapa kalian lucu banget sih!" seru Aldebaran dalam tidurnya. Dia tidak tertidur, hanya menutup mata dan menikmati mimpi palsu itu.

Berjam-jam bermain di sana membuatnya lelah juga. Aldebaran bangkit, menatap jam dinding yang berdetak, jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata, tiga jam dia terjebak dalam khayalan. Ia tersenyum, meski sekarang pening mendera, setidaknya dia bahagia.

Menuruni setiap anak tangga. Aldebaran menatap sekeliling lantai bawah. Memastikan tidak ada orang di sana. Karena ia akan bersembunyi di manapun orang rumah berada. Seperti senja yang bersembunyi ketika kegelapan memaksa masuk pada singgasananya.

Berjalan menunduk ke arah dapur, setelah tiba. Dia menadah, terkejut dengan orang yang duduk di meja makan. Seseorang yang telah membuatnya ada di dunia ini. Ayahnya, Firman ada di sana. Memakan makan malamnya seorang diri. Kakinya seolah membeku, ia ingin sekali pergi karna Aldebaran tau akhirnya akan seperti apa. Tapi masih ada sedikit harapan untuk bisa dekat dengan ayah. Karena ayah adalah satu-satunya keluarga yang dia punya.

Setelah Mama meninggalkannya demi laki-laki lain.

Aldebaran memilih maju, sedangkan Firman masih diam di posisinya. Tapi dia tau bahwa ayah pasti mengetahui dirinya ada. Hanya pura-pura tak melihat.

"Ayah baru pulang?"

Firman diam. Ia tampak mempercepat makannya.

Aldebaran menahan napasnya. Mengapa oksigen di sekitar terasa menipis? Seolah mengajarkan padanya untuk berhenti bernapas. Semua ucapannya, akan selalu menjadi suara yang tak akan pernah didengar oleh siapapun.

"Ayah capek, ya? Lagi lembur ya di kantor makanya pulang jam segini?"

Meski tau akan menjadi apa. Aldebaran tetap akan bersuara, hingga suaranya akan didengar, suatu hari nanti.

Diam adalah jawaban bahwa Firman tak ingin menganggapnya ada.

"Ayah jangan capek-capek, nanti ayah sakit."

Bantingan sendok menjadi cara Firman bicara.

Tubuh Aldebaran menegang. Meski begitu, dia mencoba untuk bertahan.

"Gak usah sok peduli. Saya begini karna kamu! Anak saya hanya dua. Hanya itu!"

Firman segera menghabiskan makannya, rasanya sangat memuakkan mengingat bahwa anak di depannya itu adalah penghancur keluarga yang dia pertahankan selama bertahun-tahun.

Jantung dan hati Aldebaran bergetar kuat. Dia itu kuat, dia tak pernah menangis. Jika suatu hari nanti dia menangis, itu adalah tanda bahwa ia akan segera meninggalkan dunia ini.

"Aku gak pernah minta buat dilahirin, yah," gumamnya sangat pelan. Hampir tak terdengar. Tetapi, dengan suasana sunyi dan hanya ada mereka dua saling berdekatan. Suara itu sampai di telinga Firman. Tapi pria itu hanya diam dan meminum minumannya.

Firman bangkit, mengambil tas kantornya, dan mulai berjalan melewati Aldebaran. Tapi gerakannya terhenti karena lelaki itu dengan berani memegang tangan ayah. Aldebaran sama sekali tak pernah bisa menatap ayahnya. Maka ia memutuskan untuk terus menunduk.

"Sekali aja ayah, boleh gak aku peluk ayah? Dari kecil aku gak punya figur ayah. Ayah ada di depan aku, tapi ayah gak pernah ada buat aku. Boleh, ya?"

Aldebaran mengigit bibir bawahnya, ia sangat takut akan penolakan yang selalu dia dapatkan. Takut akan bentakan yang memekik telinga dan meruntuhkan harapannya. Takut dengan ayah yang mungkin akan semakin membenci. Tetapi, dia hanya ingin mempertahankan haknya saja. Apa sesusah itu?

Firman melepas tangan putranya dengan kasar. Membuat Aldebaran kembali bergetar. Ia memegang pundak anaknya dengan kuat, Firman bicara dengan nada yang sangat tegas. 

"Jangan lancang dengan saya! Atau saya mengusir kamu dari sini! Saya ngerawat kamu di sini hanya cuma terpaksa. Jadi jangan dibuat seolah-olah saya akan menganggap kamu sebagai anak!"

Penegasan bahwa Firman tak akan menerimanya.

Pria itu melangkah pergi meninggalkan Aldebaran yang mematung. Seolah pernyataan itu mampu membuatnya membeku.

Pada suara yang tak pernah didengar. Aldebaran berharap jika suatu hari nanti dia masih bisa memanggil nama mereka.

TBC

Jangan lupa vote kalo suka❤maaf kalo ada yang kurang. Kalo ada typo mohon infonya🥰

Terima kasih.

Tetaplah bersama bintang yang tak pernah bersinar itu. Karena dia butuh seseorang yang mendengar suaranya🍁

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang