Lembar 7: Goresan Luka Yang Nyata

644 73 4
                                    

Menyelam jauh ke dalam pikiran setelah apa yang terjadi, ternyata selalu membuatnya tak pernah baik-baik saja. Cermin di depannya, menampilkan sosok Aldebaran dengan topeng yang berubah lagi. Menjadi lebih gelap, seperti perpindahan siang ke malam. Tak ada senyum yang tadi dia terangkan pada Reyhan, juga wajahnya tak terlihat baik-baik saja. Seolah topeng yang tadi telah hilang tanpa menunjukkan sisa dari wajah bahagia.

Terkadang, Aldebaran selalu bertanya, sebenarnya aku ini siapa? Karena jika berada di tempat ramai, dia akan berubah menjadi sosok yang biasa saja, tenang, berbicara bebas dan bisa tertawa lepas. Lalu ketika bersama orang-orang rumah, ia akan tersenyum dan menjadi pendiam, dan ketika sendirian, tak ada senyum yang menghampiri. Begitu pula dengan tawa yang dia tunjukkan. Jadi, yang benar mana?

Tangan kanannya terangkat, memegang wajahnya yang rupawan. Dia tersenyum tipis mengingat perkataan Rangga. Rupa yang dimilikinya itu, ia rasa cukup mirip dengan rupa yang dimiliki ayah. Bukankah itu suatu bukti bahwa dirinya ini memang benar anak ayah? Tapi mengapa selalu dikatakan anak haram? Bukan, 'kah yang benar itu anak ayah?

"Gue ini anak ayah. Bukan anak haram!" seru Aldebaran pada dirinya sendiri. Wajahnya penuh dengan amarah, dingin dan ketus. Persis seperti Firman yang sedang marah.

Dia benci dengan perkataan tersebut. Dan ia benci bagaimana perkataan itu mampu menghancurkan hatinya secara perlahan hingga remuk tak karuan, dan akhirnya sulit untuk utuh kembali, atau mungkin akan selalu hancur seperti itu.

Aldebaran membuka kancing seragamnya hingga bawah dada. Dipandangnya bekas goresan panjang yang tercipta di atas dada. Ia ingat bagaimana luka ini hadir di hari itu. Ketika Mama mengambil pisau dan dengan seenaknya melukiskan luka yang nyata tanpa permisi. Hingga menyisakan dua luka, dalam hatinya dan di dadanya itu. Dan dia masih ingat bagaimana teriakan yang memekikkan telinganya begitu tajam, hingga membuatnya mati rasa. Dengan dunia yang tak pernah memihaknya.

"Lukanya gak ilang-ilang, mungkin mau nemenin luka yang di dalem."

Lelaki itu berucap sembari terkekeh, bahwa itu adalah hal biasa hingga membuat tawa yang ia suarakan terasa menyakitkan. Melepaskan napas panjang sama sekali tak bisa meluluhkan rasa sesak di dada. Rasa sesak itu terus membelenggu dan terasa bertambah sepanjang waktu.

Luka dan sesak itu seolah akan bersemayam dalam dadanya selamanya, tidak mau pergi dari hati Aldebaran karna sudah terlalu nyaman. Hampir setiap detik mereka menyuarakan suaranya. Seolah mengejek kemanangan sebab lagi-lagi menang atas rasa bahagia. Bahkan hampir membuat Aldebaran kewalahan menahan semua.

Terkadang, dia benci dengan dua hal itu. Tapi sewaktu-waktu ia justru menyukainya. Mungkin Aldebaran telah berteman akrab dengan mereka. Jadi cukup kebal untuk mati rasa.

Sekarang, apa ia boleh menambahkan lukisan baru di tubuhnya? Karena Aldebaran tak pernah tau dengan apa ia harus menyuarakan rasa sakitnya.

***
Senja yang indah dan menenangkan telah hilang tergantikan gelap. Seperti bahagia berubah tangis dan yang kisah menyenangkan berubah kesedihan. Malam menggantikan senja, dengan bintang dan bulan terang di dalamnya. Seolah menjadi cahaya remang yang menyinari bumi.

Biasanya, Reyhan tak ingin terlibat suatu permasalahan apalagi masalah di keluarganya. Dia tidak ingin peduli, sebab semuanya tak lagi membuatnya nyaman. Tak ada lagi tempat untuk pulang. Namun, sekarang dia merasa ia harus ikut campur. Karena yang dikatakan om Faris masih terngiang dalam kepalanya. Dan membuat hatinya terus bergemuruh.

Apalagi tadi ia lihat bagaimana Aldebaran mampu berbohong atas hidup yang dimilikinya. Ataupun perkataan Rangga yang seolah biasa saja. Dan membuatnya harus mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.

"Al kayaknya punya trauma. Dia kayak pernah ngalamin kekerasan fisik, dilihat Al yang takut lihat aksi pemukulan. Kamu itu anak tertua, kamu harus cari tau apa yang terjadi. Kalo bener ayahmu itu mukul dia. Om mau ambil hak asuh Aldebaran."

Itu yang om Faris katakan. Dan dengan amat terpaksa Reyhan harus mencari tau permasalahan yang terjadi. Karena dia juga tidak suka dengan ketidakadilan. Tapi, justru banyak hal yang tidak ia ketahui di sini. Sosok yang berdiri tangguh itu ternyata memiliki luka yang cukup dalam.

Komputer di depannya yang menampilkan lampiran tugas kuliahnya seolah tak mengalihkan pikiran Reyhan. Menghela napas, ia memilih mematikannya, membiarkan tugas itu dan melangkah keluar kamar.

Tepat langkahnya berakhir pada pintu kamar Aldebaran. Tak ada sisa cahaya lampu yang biasanya keluar dari celah pintu. Reyhan ingin mengetuk pintu, tapi sedikit ragu.  Namun, segera ia hilangkan rasa ragu tersebut. Yang harus ia lakukan hanyalah, menanyakan soal trauma adik tirinya, lalu memberi tau Faris dan semuanya akan selesai. Hanya itu.

Ketukan pintu beberapa kali tak membuat pintu itu terbuka.

"Al! Tolong buka pintunya!"

Seruan Reyhan pula tak dijawab. Ia mencoba membuka pintu, terbuka. Ia menerobos masuk, hanya kegelapan yang menyelimuti kamar ini. Tangannya meraba tembok lalu menyalakan lampu. Tepat cahaya tiba, yang dia lihat justru Aldebaran yang terduduk di atas ranjang, bajunya yang terbuka dan darah mengalir di tangan juga sprei ranjangnya.

Dan cowok itu duduk dengan wajah pucat, juga tatapan yang kosong. Seketika Reyhan melebarkan matanya, mendekati Aldebaran dan memegang tangannya.

"Lo ngapain? Kok bisa luka?"

"Gue obatin dulu!"

Sekotak p3k ia ambil dari kamarnya. Dengan gesit, ia mengobati tangan itu, ia membersihkan darah di tangan Aldebaran, ketika melihat darah itu mengalir membuat Reyhan merasa ngilu. Pasti sangat menyakitkan. Begitu pikirnya. Usai membersihkan darah, Reyhan mengobati luka panjang yang nyata itu. Goresan tersebut cukup dalam walaupun hanya ada empat goresan saja. Dan itu tepat di urat nadi.

Reyhan menghela napas.

"Al? Kenapa lo lukain diri lo sendiri?"

Aldebaran tersenyum tipis, "Aku juga gak tau."

Reyhan tertegun. Apa ini karna kejadian tadi sore?

"Al? Gue boleh nanya? Sebenarnya Mama lo itu ke mana?"

Reyhan tek sembarangan bertanya. Karena jika diperhatikan, semenjak Aldebaran datang kemari, Mira sama sekali tak pernah menjenguknya. Maka dari itu ia penasaran apa yang terjadi, dan seberapa luka anak itu pikul sendirian. Sampai darahnya yang bercerita pada Reyhan.

Aldebaran diam. Ia enggan membahas Mama, karena itu hanya membuat luka dan rasa sesak menang lagi. Maka lebih baik diam, agar rasa sakit tersebut tak kembali hadir, lalu menganggu tidur malamnya. Tapi agaknya, Reyhan tak menyerah. Ia terus bertanya, hingga Aldebaran pun akhirnya membuka suara.

"Jujur sama gue, sebenarnya Mama lo itu kemana? Kenapa dia gak pernah jenguk lo? Atau komunikasi sama lo? Al, tolong jawab."

Aldebaran tersenyum tipis, "Kalo Mama sayang sama aku, Mama gak bakal ninggalin aku di sini, terus pergi sama suami barunya itu."

Lagi, Reyhan tertegun. Jadi, selama ini Mira telah punya suami baru? Dan dengan sengaja meninggalkan Aldebaran di sini? Tapi, mengapa? Apa dia yang membuat Aldebaran merasa takut?

"Sekali lagi, malam itu lo ngerasa takut banget itu kenapa?"

"Kenapa kakak jadi mau tau? Bukannya dari awal kakak gak suka aku?"

Skakmat. Lelaki 20 tahun itu terdiam. Sebab ia juga tidak tau mengapa, ia menjadi sangat ingin tau luka milik Aldebaran. Dan mengapa bintang itu tidak bersinar terang. Reyhan tidak tau!

"Karena gue peduli."

Tiga kata yang terucap, tapi terasa asing baginya. Dan juga Aldebaran.

***

Gak tau nulis apa gak tau🙂🤏semoga nyambung hehehe. Maaf kalo kurang ya temen-temen semua. Aku harap kalian masih setia❤

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang