Lembar 11: Jiwa Yang Hancur

541 71 3
                                    

 Pukul 03.05

Bahkan hari telah berganti sekalipun, Aldebaran masih tidak terlelap. Sudah lama jam tidurnya berantakan, dan ia yang tak ingin memperbaiki. Banyak hal yang Aldebaran rancang dalam kepala. Tapi hatinya tetap menolak. Seolah hati itu takut akan luka yang kembali tergoreskan. Menolak Aldebaran untuk kembali berusaha.

Berperang dalam pikiran dan hati. Tidak semudah itu untuk menetralkannya. Hingga pusing mendera ia masih diam. Memikirkan cara bagaimana dirinya mampu keluar dari zona nyaman. Hanya itu, Aldebaran ingin berusaha lebih dari ini. Biarpun akan hancur sekalipun, dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Datangnya kebahagiaan, atau kesedihan.

Aldebaran mengerjapkan mata, ia lelah berpikir berputar-putar lalu tak mendapatkan jawabannya. Menghela napas sejenak, ia memilih mendudukkan dirinya. Dan melangkah pelan keluar kamar sebab tenggorokkannya yang terasa kering. Langkah kakinya telah habis ketika ia melihat sosok yang beberapa hari ini tidak pulang duduk di sofa ruang tamu.

Ayah terlihat lelah, ia memejamkan mata seraya menyandarkan punggung pada sofa, dengan seragam kantor yang belum terlepas. Aldebaran terdiam, sekali saja, ia sangat ingin mendekati ayah, menanyakan apa yang membuat ayah lelah. Atau membiarkan Firman menceritakan rasa sakitnya.

Tapi, apa mungkin? Dengan keadaan Aldebaran yang hanya sebuah bayangan?

Rasanya tidak mungkin terjadi. Tapi bagaimana jika dia berusaha lagi? Berjuang hingga Firman menerimanya. Atau sampai ia mati. Sekali lagi, Aldebaran ingin tau jawabannya, tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Maka tepat keputusan telah diambil, dan menyiapkan resiko yang mungkin terjadi. Dengan berani Aldebaran berjalan mendekati, walau hatinya merasa tidak nyaman. Tapi setidaknya ia ingin berusaha, mungkin Firman bisa berubah seperti Reyhan. Ya, ia ingin menyakinkan dirinya sendiri.

"Ayah kemana aja kemarin?"

Entah mengapa napas yang ia keluarkan terasa begitu berat, rasanya seperti akan berhenti bernapas. Aldebaran melihat ayah yang mulai tampak tak nyaman. Kedua alis Firman menekuk, dan lelaki itu masih diam. Menunggu respon ayah meski ia tau akan seperti apa.

"Ayah jangan pergi lama-lama. Kasian kak Rangga."

Firman membuka matanya, dan tubuh Aldebaran selalu menegang melihat tatapan itu. Tajam, dan menakutkan. Bahkan ia menggigit bibirnya dalam-dalam. Mencoba menguatkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Dan menunduk satu-satunya pelarian yang bisa ia lakukan.

"Bukan urusanmu!"

"Maaf, yah. Tapi aku cuma gak mau ayah terlalu capek kerja."

Pria baru baya itu memutar bola mata malas.

"Kamu ini kenapa sih! Sudah saya bilang, jangan ngelunjak!"

Aldebaran memberanikan diri menatap sang ayah. Menatapnya dengan penuh luka. Entah berapa lama luka yang tergoreskan padanya, tapi dia masih saja diam tanpa membicarakannya. Membuat Aldebaran merasa tidak kuat lagi. Ia menarik napas sejenak.

"Aku cuma mau pelukan ayah. Sekali aja, yah! Abis itu aku gak bakal minta lagi."

Iya, sekali ini saja, setelah itu ia akan membuat jarak yang panjang lagi. Aldebaran ingin merasakan kasih sayang seorang ayah, sebagaimana ayah lain memperlakukan anaknya. Ia ingin itu. Bahkan sampai detik berjalan sesak dadanya masih terasa begitu kental. Membunuhnya secara perlahan.

Firman melangkah maju mendekati Aldebaran yang mencoba untuk mundur. Seraya diam-diam melatih hatinya untuk menerima luka yang baru. Tepat di depannya, Firman menatap sang putra dengan sangat tajam. Mengingatkan kembali untuk Aldebaran agar jangan melampaui batas. Ia memegang dagu Aldebaran, dan merematnya cukup kuat.

"Sudah saya bilang, jangan ngelunjak Aldebaran! Sampai kapanpun, kamu gak bakal dapet apapun dari saya! Pergilah dari sini, pergi sama ibumu itu!"

Napas Aldebaran tercekat, rasanya sakit sekali. Jika itu orang lain, ia masih bisa menahan. Tapi jika itu adalah orang tuanya sendiri. Entah mengapa rasanya seperti tak bisa dijelaskan. Sungguh sakit dan sesak.

"Ayah, aku gak pernah baik-baik aja sama Mama. Aku kira kalo aku di sini sama ayah, aku bisa seneng. Tapi sama aja, yah. Ayah, kenapa aku dilahirin kalo akhirnya kayak gini?"

Pria itu berdecih, "Yang lahirin kamu itu Mamamu. Bukan saya, kenapa kamu nanya saya?"

Aldebaran mengigit bibirnya dalam-dalam. Menahan sesak dan air mata yang mendesak untuk keluar. Gemuruh dalam dadanya bersorak-sorai seolah menang lagi atas rasa tenang. Dia ingin menangis saja. Tapi itu tiada guna.

Padahal yang membuatnya ada itu adalah ayah. Tapi mengapa ayah menolak?

"Ayah, aku mohon. Kali ini aja, aku butuh ayah. Aku gak mau sama Mama. Aku mau di sini aja. Sama Ayah."

Rematan pada dagu Aldebaran semakin kuat, sampai anak itu tersentak. Tatapan ayah juga semakin menakutkan. Dia hanya ingin mengeluarkan rasa sakitnya. Berharap ayah mengerti tentang itu.

"Selama kamu di sini. Kamu bisanya cuma jadi penghancur aja! Gak guna! Pergi dari sini! Dan cari mamamu itu! Saya tidak peduli dengan keadaan kalian!"

Firman melepaskan Aldebaran. Ia hendak melangkah pergi, tapi dengan segera lelaki itu menghalanginya. Mencoba memeluk pria itu. Ia tau ini salah, hanya kali ini saja, maka ia akan diam.

Aldebaran memeluk ayahnya! Meski itu membuat sang ayah merasa tak nyaman. Firman berulang kali mencoba melepaskan pelukannya. Tapi Aldebaran tak ingin melepas. Karena di sini dia menemukan kehangatan, meski kehangatan itu tidak terlalu nyata. Tapi setidaknya, ia dapat merasakan hangatnya pelukan ayah.

"Aldebaran!" sentak Firman sembari melepas tubuh Aldebaran.

Anak itu masih saja mencoba untuk tidak menangis. Padahal luka yang ia pikul terlalu banyak. Aldebaran terdiam, menatap penuh harap pada ayahnya agar dapat mengerti.

Tapi tidak, justru tamparan keras yang ia dapatkan. Ayah masih belum mengerti juga. Tamparan itu berdengung seluruh ruangan yang sepi. Aldebaran terdiam, sakit, tamparan itu menyakitkan. Tapi jauh di dalam kalbu. Hati kaca itu telah hancur lebur. Dan juga harapan yang masih diam-diam ia inginkan.


Sepertinya jiwa milik Aldebaran sudah hancur.

"Kamu bener-bener keterlaluan! Sudah saya bilang jangan melampau batas! Tapi mengapa kamu masih gak ngerti? Mulai saat ini, kalo kamu bicara dengan saya lagi. Saya pastikan kamu gak bakal ada di rumah ini!"

"Oh iya, sekali lagi, jangan harap apa-apa dari saya!"

Setelahnya, yang tersisa hanyalah suara langkah milik Firman yang terdengar. Lalu menghilang dengan perlahan. Aldebaran mendudukkan dirinya di lantai, memeluk dirinya sendiri, tenggelam dalam lautan rasa sakit. Setiap ia mengingat takdir hidupnya, itu selalu menyiksanya.

Mempertanyakan, mengapa ia yang ada di posisi ini? Mengapa tidak orang lain saja? Aldebaran tak mengerti lagi tentang hidupnya. Dan sekarang, harapan untuk sang ayah telah benar-benar menghilang. Bersamaan rasa hangat yang tadi ia dapatkan, kini menghilang tanpa mau meninggalkan jejak.

Membuat Aldebaran kembali terjebak dalam rasa sakit yang tak pernah usai.

TBC.

Harapan untuk ayah telah usai. Tapi harapan untuk Reyhan, Aldebaran ingin asa itu selalu ada.

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang