Lembar 19: Turuti Rasa Bencimu

404 41 3
                                    

Aldebaran tak pernah tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia tak tau mengapa Rangga membawanya ke sini. Bahkan dengan orang-orang yang tak ia kenal. Lalu mengikatnya di bangku seperti ini. Ia menghela napas, mencoba kembali berpikir mengapa Rangga menjadi begini.

Di sini gelap, hanya sedikit sinar matahari yang menyelinap di balik atap yang bolong. Di sini juga lembab, membuat Aldebaran tak tenang. Apalagi ia tak dapat bergerak. Tangannya sakit terkena tali yang mengikat semua badannya.

Ah iya, pertengkaran kemarin. Itu pasti salah satu faktor mengapa kakaknya seperti sekarang. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa Aldebaran yang kena?

"Lo itu selamanya cuma jadi penghancur! Lihat apa yang lo lakuin ke hubungan gue sama kakak gue! Lo ngerusak semua yang gue punya!"

Rangga berdiri di depannya. Aldebaran dapat melihat kilatan petir rasa benci di dalam iris lelaki di depannya itu. Ia merusak semua yang Rangga punya? Bahkan dia masih belum melakukan apa-apa. Benar kata Reyhan, Rangga telah hidup dalam rasa benci. Dan sialnya, rasa benci itu perlahan mulai menyebar padanya.

Ia tau bahwa hatinya berkata, jika Aldebaran membenci Rangga. Benci bagaimana lelaki  itu bisa menjalankan hidupnya dengan bebas. Benci bagaimana lelaki itu masih tetap ada di hati Reyhan. Terlebih lagi ayah. Rangga bahkan menguasai semua hati ayah. Hingga tak ada lagi tempat untuknya.

Dan dengan seenaknya, Rangga justru menyalahkan dia yang tak tau apa-apa.

"Kenapa lo gak mau mati aja?"

Mati?

Jika mati itu tidak menimbulkan rasa sakit sebelum ajal datang, ataupun bukan sebuah dosa. Maka sudah lama Aldebaran hanya tersisa nama. Tapi, satu hal yang dapat ia ketahui pasti. Bahwa jiwanya telah lama mati.

Hanya itu. Namun, dapatkah Rangga mengerti?

Rangga melangkah lebih dekat lagi, mencengkram kuat dagu Aldebaran, menatapnya tajam, bahkan tangannya bergetar memegang dagu sang adik tiri tersebut, saking bencinya dia.

Aldebaran hanya mampu terdiam. Mencoba menghindari tatapan tajam Rangga. Ia lelah dengan tatapan seperti itu. Berapa banyak orang yang menatapnya begitu? Rasanya ingin pasrah saja atas apa yang terjadi selanjutnya. Meski ia tau, semua ini tak sepenuhnya salahnya. Namun, dapatkah Rangga mengerti?

"Nah, sekarang tahap yang cukup mengerikan dari tahap sebelumnya! Gimana ya nanti? Udah siap belum?"

Sial! Tubuh Aldebaran gemetar, diam-diam meneguk ludahnya. Menerka-nerka apa yang akan dilakukan Rangga padanya. Aldebaran berharap. Lebih baik bunuh saja dia tanpa rasa sakit. Ia cukup lelah dengan semuanya.

Plak!

Pukulan keras yang menerpa kepalanya membuat pening menerjang. Beberapa detik nafas Aldebaran tercekat. Cukup terkejut dengan serangan yang tiba-tiba. Ia menatap Rangga yang tersenyum puas. Rangga tampak seperti memanggil seseorang dari sisi lain. Pandangan Aldebaran sempat memburam beberapa saat.

Sakitnya sangat luar biasa.

Dua orang datang, memakai masker dan pakaian serba hitam. Dan mereka, mulai memukul Aldebaran secara brutal. Memukul kepala, mulut, perut dan dadanya. Bahkan sampai mulut dan hidungnya keluar darah sekalipun. Mereka tak berhenti memukulinya.

Nafas Aldebaran terengah-engah. Semua badannya terasa sakit. Benar-benar sakit! Luka sana-sini. Ia sangat tidak kuat lagi. Melawan pun tak bisa. Lagi-lagi hanya diam. Sialan!

Rangga tersenyum menatap dua orang suruhan ayahnya memukuli Aldebaran. Ini adalah ganjaran karena telah menantang seorang Rangga. Dan juga merebut semua yang dimiliki lelaki itu.

"Udah, kak!" seru Aldebaran di sela-sela menahan rasa sakitnya.

"Cukup!"

Salah satu orang yang memukul Aldebaran menendang kursinya hingga jatuh ke sisi kanan Aldebaran. Sedetik kemudian Aldebaran mengeluarkan darah dari mulutnya. Dadanya sakit sekali. Darah sudah ada di mana-mana. Kapan penderitaannya berakhir? Ia bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri.

"Lo bilang cukup, hm?"

Rangga kembali mendekati Aldebaran. Lalu menunduk menyamakan tingginya dengan Aldebaran.

"Semua ini ga akan berhenti, sampai lo mati!"

Setelah mengatakan hal itu, lelaki itu melangkah pergi meninggalkan Aldebaran yang mengenaskan.

"Oh iya, kalian berdua boleh mukulin dia sampai mati aja sekalian! Nanti bayaran kalian bakal lebih tinggi!"

Rangga kembali melangkah keluar bangunan tua tersebut, mengambil motor kebanggannya lalu melengang jauh. Ia akan pulang ke rumah tanpa merasakan rasa bersalah, atau justru rasa bahagia.

Kembali pada Aldebaran. Lelaki itu tak dapat menahan air matanya lagi. Semua badannya benar-benar sangat sakit sekarang. Berharap ajal datang dan merenggut nyawanya sekarang. Ia lelah, pada tingkat yang benar-benar tinggi.

Lalu, datang lagi seseorang, yang memakai pakaian yang hampir sama seperti dua orang yang memukulinya. Namun, oranh tersebut tak memakai masker. Dan, Aldebaran kenal orang itu. Orang yang pernah menyarankannya untuk membunuh Rangga.

"Hai, Al!"

Aldebaran tak dapat mencerna apapun lagi. Ia tak tau apa yang terjadi. Dan ia juga tak ingin tau apa yang ingin Dave lakukan. Aldebaran hanya ingin mati. Itu saja. Tak ada lagi asa yang harus digenggam kuat. Tidak ada.

Dave mencoba membenarkan kursinya dibantu oleh dua orang tersebut. Meskipun mereka dua adalah suruhannya Firman. Tetap saja mereka adalah anak buah milik Dave. Setelah posisi kursi tersebut benar. Ia duduk di Aldebaran. Mencoba menatap Aldebaran yang benar-benar kosong sekarang.

"Gimana, Al? Sakit, ya? Pengen melawan tapi gak punya kekuatan. Cuma bisa diem, padahal tau kalo ada yang gak bener."

"Inget sama apa yang pernah gue bilang? Kalo lo benci sesuatu, lakuin aja! Kalo perlu dibunuh ya bunuh!"

Aldebaran terdiam, jika perlu dibunuh ya dibunuh. Giginya menggeretak, ia membenci Rangga. Bahkan orang-orang yang membuat tubuhnya seperti ini, rasa sakit yang selama ini ia rasakan. Ataupun kehidupannya yang hancur. Semua itu karena Rangga. Orang yang telah memiliki segalanya. Namun, selalu merasa kurang, lalu melampiaskan semua itu pada Aldebaran.

"Lo benci Rangga, kan? Semuanya kebaca di mata lo Al. Inget-inget lagi deh apa yang pernah dia lakuin ke lo. Dia yang bikin hidup kayak gini. Rangga itu gak pernah pantes buat hidup."

"Inget lagi, lo gak salah apa-apa. Tapi selalu disalahin sama Rangga. Sampai-sampai aib lo dia bongkar sama temen-temen lo. Lo kesakitan, 'kan? Gue punya cara buat biar lo bisa lepasin rasa sakit lo, Al."

Aldebaran hanya bisa menangis dalam diam. Semua yang Dave katakan adalah benar. Ia membenci Rangga melebihi apapun. Ia marah atas semua yang Rangga lakukan padanya. Dan juga rasa sakit yang ditorehkan. Sekali saja, ia ingin membalas rasa sakitnya pada Rangga. Agar kakaknya itu mengerti, bahwa orang yang tersakiti di sini adalah Aldebaran. Bukan Rangga.

"Dengerin gue, Al. Dua hari lagi, Rangga bakal ngerayain kemenangannya, sekalian ngerayain ulang tahunnya yang ke-17. Di saat itu, cari waktu yang tepat, terus bunuh Rangga sewaktu dia sendirian. Lakuin apapun yang lo mau. Lo boleh ngeracunin dia, lo boleh nusuk dia. Apapun yang mau lo lakuin. Gue bantu!"

Membunuh?

"Al, lo punya kesempatan yang bagus, 'kan? Gunain itu sekarang buat lepasin rasa sakit lo, oke? Gak perlu takut. Gue bakal bantuin lo, oke?"

Aldebaran masih diam. Lalu netranya menatap Dave yang tersenyum lebar di depannya. Seolah-olah menunggu jawaban yang menyenangkan darinya. Ia hanya ingin melepas semua beban yang ia rasakan.

Bolehkah ia lakukan itu sekarang? Melepaskan mereka yang masih terjebak dalam dadanya. Mendesak keluar meskipun tau sang tuan tak mampu melakulannya. Tapi kini, mereka akan keluar. Aldebaran tak pernah bisa menahan mereka lebih lama lagi.

"Kalau itu mampu buat rasa sakit gue ilang, gue pengen bisa ngelakuin itu."

Dave tersenyum, "Tentu aja bisa."

TBC.

Hehe.

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang