Lembar 8: Rembulan Datang Menemani

589 64 0
                                    

Fajar telah menggantikan malam yang panjang, gelap telah menjadi terang. Tapi rasa sakit Aldebaran masih tidak mau pergi, pusing yang mendera sejak malam sama sekali tak hilang. Meski ia sudah tertidur berharap rasa sakitnya akan hilang. 

Matanya mengerjap pelan memandang atap kamar. Badannya terasa remuk, luka yang ia lukiskan di tangan juga ikut berdenyut, membuat Aldebaran semakin kesakitan. Sesekali ia memijat pangkal hidungnya. Jika diingat kembali, Aldebaran tidak makan sama sekali kemarin. Ia menghela napas, mengapa rasa sakit sangat senang hinggap di dalam tubuhnya? Tolong, sebentar saja beri ia ruang untuk bebas!

"Karna gue peduli."

Tiga kata yang masih ada dalam kepalanya, dan tersimpan rapat di sana. Ia tidak tau apakah tiga kata itu dapat membuatnya bangkit atau tidak. Sebab dia tak terbiasa dengan kedatangan orang lain yang ingin menyembuhkan lukanya. Apa sekarang Aldebaran boleh menjadikan itu harapan, dan alasan agar bintang tak jatuh ke bumi?

Harapan untuk tetap ada. Dan menjaga bintang di langit malam tetap ada di tempatnya. Jujur saja Aldebaran ingin tau mengapa Reyhan semudah itu menghancurkan dinding yang ia buat sendiri. Dan berusaha untuk dekat dengannya. Padahal ia sungguh yakin bahwa Reyhan tidak menyukainya.

Aldebaran menutup mata sebab pening yang justru terus bertambah. Rasanya ia ingin mati saja! Sibuk dengan seisi kepala yang terasa akan pecah sebentar lagi. Decitan pintu kamarnya terbuka. Ini cukup asing baginya, karena sebelumnya tak ada yang membuka pintu itu selain dirinya sendiri.

"Lo pusing?"

Suara Reyhan menggema. Tapi Aldebaran masih diam. Membiarkan suara itu menjadi angin lewat. Suara derap langkah didengarnya mendekat, lalu ia dengar suara piring yang diletakkan di atas nakas.

"Kalo masih pusing gak usah sekolah dulu. Biar gue yang ngizinin."

Tepat suara berakhir, Aldebaran membuka mata lalu duduk. Langsung saja peningnya semakin mendera. Tidak bisa ia biarkan Reyhan datang ke sekolah. Dia takut teman-temannya bertanya, terutama Mita, Gadis itu pasti akan marah karna tidak memberi tau sejak awal.

"Gak usah. Masih kuat kok," ucapnya seraya mencoba bangkit dari ranjang.

"Yaudah ini sarapan buat lo. Dimakan!"

Lagi-lagi terasa asing. Tidak pernah ada yang mengingatkannya untuk makan selama ini. Aldebaran makan hanya ketika ia ingat saja, sisanya dia jarang makan. Tapi kali ini, Aldebaran mendapatkannya, seseorang yang mengingatkan untuk makan, bolehkah ia berharap ini akan tetap sama? Seberapa miris kehidupannya ini? Sudah pasti sangat miris!

"Kakak aneh," kata Aldebaran sembari menatap kakaknya.

Reyhan mengeryit, "Kok aneh?"

"Kenapa tiba-tiba jadi peduli sama aku?"

Bukannya tidak senang. Aldebaran hanya ingin tau alasannya, sekali lagi, ia belum terbiasa dengan perhatian yang Reyhan tunjukkan. Karena biasanya, ia akan selalu sendirian tanpa bulan di sisinya. Di dalam kegelapan tanpa ada apa-apa. Itulah Aldebaran.

"Karena gue tau, semuanya bukan salah lo. Dan gue benci sama ketidakadilan. Apa lo udah paham?"

Aldebaran tertegun. Reyhan adalah orang kedua yang mengakui bahwa ia bukanlah kesalahan, setelah om Faris yang mengatakan hal itu. Diam-diam bulan sabit hadir di bibirnya yang selama ini tak pernah muncul. Kini, bintang Aldebaran telah ditemani oleh sang rembulan. Dan bintang itu selalu berharap, rembulan akan ada di sana, dan tidak akan menghilang lagi.

Ah, hatinya seperti berbunga. Begitu hangat ketika seseorang yang ia harapkan hadir di sisinya, kini benar-benar ada. Dulu, Aldebaran ingin merasakan kasih sayang seorang kakak. Yang katanya begitu menghangatkan, walau kadang menyebalkan. Ia ingin merasakannya. Perhatian dan juga kejahilan, seperti cerita Mita dulu. Apa sekarang bisa?

Aldebaran ingin memastikannya!

Aneh. Pusing yang ia rasakan sejak tadi menyiksanya seperti menghilang setelah pengakuan itu. Ia menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Sekarang senggenggam asa yang ia genggam erat, ia pastikan tak akan pernah melepasnya.

Setidaknya ini alasan Aldebaran untuk tetap tinggal. Dan berjuang lagi untuk mendapatkan hati ayah!

Aldebaran memakan sarapan yang Reyhan bawa. Sedangkan Reyhan berdiri sambil menatapnya. Yang lelaki itu sendiri tidak mengerti tatapan yang Reyhan tunjukkan.

Tanpa menyadari bahwa di balik pintu yang terbuka lebar tersebut, ada mata yang melihat mereka dengan penuh kebencian. Rangga, mengepalkan tangannya kuat, rahangnya mengeras. Ia tidak ingin seorang adik. Karena kasih sayang kakak pasti akan terbagi. Dan sekarang, ia melihat sendiri bagimana kasih sayang tersebut terbagi pada seseorang yang seharusnya tidak ada di dunia ini.

Rangga benci Aldebaran!

***
Setelah pertengkarannya dengan Faris beberapa waktu yang lalu. Firman menjadi sangat jarang pulang ke rumah. 2 hari ini ia tidak pulang. Karena sudah malas dengan semuanya, ia percayakan saja pada pembantu yang bekerja di sana dan Reyhan yang memang sudah dewasa.

Uap kopi Americano yang ia pesan sejak tadi masih mengepul. Firman ingin menenangkan diri sejenak, ingin sekali dia mencari Sarah yang sekarang entah di mana. Ia ingin meminta maaf sebesar-besarnya, tentu ingin rujuk kembali. Meski hal tersebut harus membuang satu putranya, Aldebaran.

Firman tidak ingin peduli pada anak itu. Karena dia lahir tanpa kesengajaan. Tapi keinginan untuk mencari Sarah sering tertunda sebab kedua putranya. Terutama Rangga, putra bungsunya yang masih membutuhkan kasih sayang Firman. Tentu ia tidak akan tega meninggalkan mereka sendirian.

Ia menghela napas, menyandarkan punggungnya pada bangku cafe. Kepalanya menadah ke atas. Sambil terpejam, ia terus menghela napas. Seperti semuanya benar-benar berakhir. Ia sudah sangat lelah.

Sejak semua yang terjadi. Rokok dan minuman saja yang mampu menenangkannya. Tentu ia minum minuman keras sendirian. Firman hanya tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Firman sungguh sangat hancur! Jika saja di hari itu, ia tidak minum, ia tidak bertemu Mira, mungkin semuanya masih baik-baik saja sekarang. Tidak ada perceraian, hidup keluarganya masih bahagia. Dan tidak ada anak yang bernama Aldebaran.

Nama anak itu terus menggema dalam pikirannya, ia benar-benar membenci anak itu sekarang. Firman membuka matanya, membuang napas kasar lalu meminum kopinya. Niat menenangkan diri justru mengingatkannya pada luka lama.

Kopinya sekarang telah kandas. Ia kembali menyandarkan punggungnya, tapi sekarang ia menatap ke arah luar jendela cafe yang cukup besar. Banyak kendaraan yang terparkir di sana. Orang-orang pejalan kaki juga banyak yang berlalu lalang.

Dan ketika netranya menangkap perempuan berambut panjang, memakai dress berwarna putih, yang sedang tertawa bersama pria di depannya. Firman menyadari siapa perempuan itu. Ia ingat bagaimana Firman mengeluarkan banyak uang agar perempuan itu tak pernah datang ke hidupnya lagi setelah permainan mereka.

Tapi wanita itu justru mengikarinya. Dengan berani dia datang, membawa anak mereka, dan menghilang begitu saja. Firman membenci Mira. Dan wanita yang ia lihat adalah wanita yang ia benci. Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Netranya menunjukkan kebencian di sana.

"Mira. Sepertinya saya harus menghancurkan kamu!"

TBC

Huh maaf ya gaes kemarin gak update! Maaf kalo ada kurangnya😀🤏semoga suka, ya!

Sampai jumpa di lembar 9: Siapa Yang Berhak.

🤣🤣🤣

Bintang Terang Di Langit Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang