Ayu datang membawakan gelas berisi air dan bubur untuk Dyah yang tengah terbaring lemah di kamarnya. Sudah tiga hari Dyah tidak bekerja karena merasa tidak enak badan. Selama itu pula Ayu merawat Dyah, begitu juga mbok Dewi yang merawat keponakannya yang ia bawa dari desa. Namun hari ini mbok Dewi menemani nyonya Cornelia ke Batavia untuk beberapa hari ke depan.
Mbok Dewi dan Dyah dibawa ke Buitenzorg oleh Supardi, sama seperti Ayu. Supardi menawarkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak katanya, dan mbok dewi sekaligus Dyah dipekerjakan sebagai pelayan di rumah ini. Paling tidak, nasib mereka lebih bagus dari Ayu yang dijual sebagai budak. Mbok Dewi dan Dyah masih menerima gaji, sedangkan Ayu tidak. Saat itu uang yang diberikan tuan Rutger pun sepenuhnya dinikmati oleh Supardi.
Kalau bisa mengembalikan waktu, mbok Dewi pasti ingin kembali saat mereka belum bekerja di rumah ini. Ia akan membiarkan Dyah bekerja sebagai pedagang saja di rumah, atau sebagai buruh pun tidak lebih buruk daripada menjadi pelayan rumah ini.
Wajah Dyah yang ayu, dan badannya yang bisa dikatakan proporsional membawa gadis itu ke dalam malapetakanya sendiri. Dyah sering dilecehkan oleh para londo di rumah ini.
Mbok Dewi tau itu, pernah sekali wanita mulai tua itu berencana kabur dengan membawa Dyah, tapi justru berakhir dengan pingsan selama dua hari karena pukulan kemarahan tuan Rutger. Dyah pun tidak tega melihat kakak dari ibunya ini jika harus terkena pukulan lagi, maka dari itu Dyah hanya bisa diam dan menerima. Walau dalam hati wanita itu sangat terluka.
Sebagai seorang wanita, Ayu dapat ikut merasakan apa yang Dyah alami. Ayu merasa ikut marah, geram, dan sedih atas apa yang menimpa Dyah. Seorang wanita wajiblah dihargai, dijaga dan dilindungi. Melecehkan dan merendahkan seorang wanita merupakan tindakan yang tidak dapat dimaafkan.
Tindakan yang para londo itu lakukan kepada Dyah sudah cukup membuktikan bahwa mereka lebih rendah dari sampah.
"Udah mendingan mbak?" Tanya Ayu sembari memberikan gelas yang berisi air putih untuk Dyah. Wanita itu hanya tersenyum sebagai jawaban yang ia berikan kelada Ayu. Ayu merasa khawatir pada kesehatan mbak nya ini.
Wajah Dyah nampak sangat pucat, tubuhnya pun terlihat lebih kurus dari biasanya. Karena setiap makanan yang masuk akan kembali keluar ketika wanita itu merasa mual.
Brak
Tak berselang lama, pintu kamar Dyah dan Ayu terbuka dengan paksa. Ayu dan Dyah terperanjat sangat terkejut melihat majikan mereka tengah berdiri dengan bengis menatap mereka, namun sepertinya menatap tajam ke arah Dyah.
Tuan Rutger, pria yang terkenal sangat jijik dengan para inlander datang ke mess pelayan di mana hampir seluruhnya ditempati oleh pelayan pribumi. Dan kali ini, entah karena apa tuan Rutger melangkahkan kakinya memasuki tempat yang ia anggap menjijikan.
Ia menunjukan raut marahnya, hal tersebut berhasil membuat Dyah dan Ayu bergidik ngeri. Pasalnya, tuan Rutger tidak pernah menunjukan kamarahannya. Dan kini mereka tau betapa bengisnya tuan Rutger ketika kemarahan menghampiri dirinya.
Bruk
Tuan Rutger menarik Ayu sampai keluar kamar yang tidak seberapa besar. Menyisakan tuan Rutger dan Dyah yang ketakutan di dalam sana. Dengan cepat tuan Rutger menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Ayu segera bangkit setelah dirinya jatuh terduduk di lantai. Tarikan tangan tuan Rutger sangat kuat sehingga cukul melukai pergelangan tangan Ayu saat itu juga. Gadis itu bangkit menuju pintu kamar yang terkunci, berkali kali ia mencoba membuka kenop pintunya namun mau dicoba beberapa kali pun Ayu tak dapat membukanya.
"Mbak Dyah! Mbak! Mbak Dyah! Tuan Rutger jangan tuan!" Ayu berteriak sangat kencang sembari mengetuk pintu dengan telapak tangannya. Kegaduhan yang Ayu buat menarik perhatian pelayan lain yang juga ada di mess ini.
"Ada apa Yu??" Tanya Laras, pelayan pribumi yang sama dengan Ayu.
"Mbak Dyah di dalem mbak, sama tuan Rutger," ucap Ayu dengan wajah cemas yang tak dapat ia sembunyikan. Ia khawatir tuan Rutger melakukan hal yang tidak tidak apalagi mengingat wajah majikannya yang nampak sangat marah.
Ucapan Ayu membuat Laras terkejut, gadis itu membelalakan kedua matanya sembari menatap pintu yang tertutup itu.
Seluruh pelayan berkumpul di depan kamar Dyah dan Ayu, mereka menunggu dengan cemas sembari berharap agar Dyah baik-baik saja.
Brak
Tuan Rutger membuka pintu dengan kencang. Pria itu keluar dengan wajah bengis yang masih sama, namun tersirat sedikit kelegaan di wajahnya. Pria melangkah pergi tanpa menghiraukan tatapan penasaran dan tatapan cemas para pelayannya.
Ayu, Laras dan beberapa pelayan yang lain segera masuk ke dalam kamar Dyah, berniat melihat bagaimana kondisi wanita itu setelah tuan rutger meninggalkan mess pelayan. Mereka membelalakan netranya ketika melihat Dyah telah terkapar dengan darah masih mengalir dari kakinya.
Kegaduhan yang sempat merdam pun kembali timbul setelah melihat keadaan Dyah yang sudah tak sadarkan diri.
"Mbak! Mbak Dyah!" Ayu mengguncangkan badan Dyah berharap wanita itu membuka kedua matanya. Tak berselang lama, beberapa pelayan pria datang dan membawa Dyah ke luar. Tuan Rutger telah memerintahkan mereka untuk membawa Dyah ke rumah sakit.
Alasan dari sakitnya Dyah beberapa hari ini adalah ia tengah mengandung. Mengandung anak dari tuan Rutger, majikannya sendiri. Benar-benar tidak dapat dipercaya bahwa tuan Rutger yang membuat Dyah mengandung dengan memaksa Dyah, namun pria itu juga yang membuat calon janin dalam kandungan Dyah gugur begitu saja.
Ayu memandang Dyah yang baru saja kembali dari rumah sakit, ia tengah terbaring setelah tadi sempat sadar dari pingsannya. Wajah Dyah semakin tampak pucat, tidak bisa dibayangkan apa yang telah Dyah alami siang tadi. Pasti Dyah mengalami rasa sakit yang begitu besar, sampai kehilangan tenaga untuk sekedar berteriak ketika tuan Rutger menginjak perutnya.
Ayu tak habis pikir dengan tindakan keji tuan Rutger. Gadis itu hanya dapat berdoa untuk kesehatan dan keselamatan Dyah setelah kejadian hari ini.
Brak
"Dyah harus ikut kami," lagi-lagi Ayu dikejutkan dengan kehadiran dua tentara Belanda ke kamar mereka. Bahkan Dyah yang tengah tertidur pun langsung terbangun karena suara pintu yang dibuka dengan paksa, juga suara tentara itu yang cukup kencang membuat Dyah terganggu dari tidurnya.
"Hei! Dia harus istirahat, dia bahkan baru saja dari rumah sakit! Pergi kalian dari sini!"
"Tuan Rutger yang memerintahkannya."
"Aku nggak peduli! Wong gemblubg itulah yang membuat mbak Dyah seperti ini! Pergi kalian!" Ayu mencoba mengusir kedua tentara Belanda yang datang dengan senapan laras panjang di tangan mereka.
"Miggir atau kamu akan mati di sini," salah seorang di antara mereka menodongkan senapan itu tepat ke kepala Ayu. Merasakan dinginnya senapan di kulit dahinya cukup membuat Ayu gentar, tapi ia tidak peduli. Ia harus menyelamatkan Dyah saati ini. Sudah berkali-kali Ayu gagal melindungi Dyah, dan ia tidak ingin kali ini pun ia membiarkan Dyah dibawa oleh londo itu.
"Ngene tembak aku, aku gak wedi sama kalian!" (Sini tembak aku, aku gak takut sama kalian!)
"Cukup Ayu! Aku bakal pergi ke sana," Dyah dengan wajah pucatnya itu perlahan turun dari ranjangnya, sangat nampak kalau ia menahan sakit yang amat sangat saat ini.
"Jangan mbak!" Ayu mencoba mencegah Dyah, namun lagi-lagi sahabatnya itu memberikan tanda agar Ayu tidak ikut campur dalam urusannya. Dyah membiarkan kedua tentara Belanda membawa dirinya ke hadapan keluarga Waltz. Entah apa yang mereka inginkan kali ini, mungkin bagi mereka tidak cukup jika hanya membuat Dyah kehilangan calon anaknya.
Bahkan mungkin mereka akan menghilangkan nyawa Dyah, seperti mereka membuat Dyah keguguran siang tadi.
Entahlah, firasat Ayu sangat buruk saat ini. Ia merasa bahwa senyuman lemah yang Dyah tunjukan padanya sebelum dibawa oleh londo tadi adalah saat terakhir kalinya Ayu bertemu dengan Dyah.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Buitenzorg : 1913✅
Historical FictionSebagai seorang pribumi, Ayu sangat membenci para Belanda. Para penjajah dari Netherland yang hanya dapat memeras, menjajah, dan merendahkan tanah Hindia Belanda. Kebencian Ayu semakin menjadi setelah kematian orang tuanya di tangan tentara KNIL. Ay...