17. (Run away)

51 18 12
                                    

Malam kian larut. Raka melihat pemandangan lampu kota dari jembatan. Sesekali cowok itu menghela nafas sampai ada seseorang memanggil namanya.

"Ternyata disini kamu rak"

Orang itu adalah Dean. Sebelumnya Raka sempat menghubungi Dean supaya datang kemari menemaninya. Tak berselang lama terdengar bunyi pemantik api yang dinyalakan lalu tercium aroma asap rokok. Dean menghisap rokok menthol itu dan menghembuskan nya lewat mulut.

"Bagi satu" Kata Raka membuat Dean sedikit terheran. Tapi tetap saja Dean kasih salah satu batang rokoknya.

Raka menghisapnya Kuat-kuat menimbulkan rasa sesak pada napasnya. Dan merasa lega saat asap keluar dari mulutnya.

Asal kalian tau Raka itu dulu sempat nge rokok. Hanya sekadar coba-coba sih karena penasaran dan sudah lama berhenti. Beda sama Dean tidak bisa disebut perokok aktif sih, cuma lebih ke perokok sosial. Merokok kalau lagi bersama sesama teman tongkrongan yang sama-sama merokok.

"Tumben nyebat, lagi galau lu?"

Raka tak bergeming lebih memilih melihat pemandangan kerlap kerlip lampu di malam hari dari atas jembatan.

"Kok tau aku ada disini? Aku kan gak bilang kalau aku lagi ada disini"

"Tiba-tiba lo ngechat gue capek. Siapa yang gak panik coba? Kalau masalah tempat, lo kalau stress selalu datang kemari"

Raka hanya mengangguk mengerti. Dulu setelah pindah sekolah, ia tinggal dengan tantenya. Kebetulan rumah tantenya ini bersebelahan sama rumah orang tuanya Dean. Makanya sejak saat itu mereka jadi dekat walau tak satu sekolah.

"Lo gak mikir aneh-aneh kan? Kayak loncat dari sini" Tanya Dean kemudian memandang ke bawah jembatan mengira-ngira. Apakah orang akan langsung mati kalau loncat dari sini?

Raka terkekeh mendengarnya "kalau mau mati juga aku gak bakal tenang. Aku belum nemuin keberadaan ibuku dan aku berhutang maaf ke Jihan"

"Lo masih nyari ternyata" Dean teringat dengan pesan email yang selalu Raka kirim ke ibunya walau tau pesannya itu tak dibalas apalagi dibaca. "Dan Jihan masih musuhin lo?"

"Kalau dipikir-pikir memang wajar Jihan musuhin aku. Aku memang sulit di maafkan"

Dean menatap mata Raka nanar. Kenapa sahabatnya memiliki nasib yang malang? Setidaknya kata orang kemalangan sekarang bisa mendapat kebahagiaan di masa yang akan datang. "Rak, semua mahkluk pantas dimaafkan. Apa perlu gua datengin Jihan supaya dia maafin lo?"

"Jangan, lagian Jihan gatau alasannya"

"Jadi lo belum ngasih tau alasannya" Dean pikir Raka sudah menjelaskan alasannya. Kalau begini gak bisa nyalahin Jihan juga.

"Belum. Entah aku yang ingin minta maaf lewat tindakan atau aku yang terlalu pengecut untuk menjelaskannya"

"Rak, Jihan wajib tau alasan lo"

Raka bergeming. Rokoknya sudah habis. Ia memilih tak melanjutkan menghisap batang rokok. Walau Raka itu lelaki ingin rasanya ia menangis tapi entah sejak kapan ia lupa cara menangis dan hal itu justru lebih menyesakkan.

🦕🦕🦕🦕

Pagi Jihan datang ke kampus dengan tubuh loyo.

Selama pelajaran berlangsung sesekali Jihan mengambil kesempatan untuk tidur. Akhir-akhir tubuhnya tidak fit dan entah kenapa dirinya sudah di bebani beban pikiran. Persoalan antara dirinya dan Raka, tugas dari dosen, nilai tidak boleh terjun bebas, sampai memikirkan gimana caranya Jihan harus langsung dapat kerja setelah lulus nanti karena Jihan gak mau membebani abangnya terus.

Don't miss me √ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang