Jihan mengerang kesal. Sudah dua hari Raka sulit dihubungi. Semenjak Raka dapat pesan dari tantenya lelaki itu menjadi pendiam. Entah apa yang ada di benaknya Jihan tidak tau. Sampai kapanpun Jihan tidak akan mengerti bagaimana isi pikiran lelaki itu.
Angkat telepon aku please
Sebentar aja, aku khawatir
Aku sekarang di depan kosan kamu
Jihan mencebik. Rentetan pesannya lagi-lagi tidak dibalas apalagi dibaca. Seolah-olah lelaki itu berusaha menghilang dari bumi. Jihan bingung apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa membuat lelaki itu nyaman?
Apa ia sudah makan?
Apa dia baik-baik saja?
Apa dia tidur dengan nyenyak?
Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab bergerumul di kepalanya.
Jihan masih berdiri menunggu di depan kosan. Hingga terdengar suara motor vario. Jihan menaik alis sebelahnya mengetahui pemilik motor itu.
"Lo ngapain?"
"Lo sendiri ngapain?" tanya balik Jihan.
"Dia absen dua hari makanya gua jenguk," jawab Dean.
Lelaki berambut gondrong itu memarkirkan motornya. Kemudian Dean menghubungi Raka. Tak butuh waktu lama Raka menerima panggilannya.
"Dimana?"
Apa-apaan ribuan pesan dan panggilan tidak dijawab oleh Raka, sedangkan Dean baru sekali menghubungi langsung dijawab. Jihan masih tidak mengerti.
Dean melirik ke arah Jihan dan Jihan memberi kode supaya jangan beritahu bahwa dirinya ada disini.
Tak lama kemudian Raka keluar. Kondisinya tidak baik. Wajahnya terlihat lebih tirus dan ada kantung hitam di matanya. Raka terkejut melihat kehadiran Jihan. Ia sempat melirik ke Dean meminta penjelasan namun Dean sendiri mengangkat bahunya sebagai tanda bahwa dirinya tidak ikut campur.
"Kamu kenapa?" tanya Jihan sarat keheranan.
Raka masih diam tak menjawab pertanyaan Jihan.
"Aku tanya kamu kenapa?" kini intonasinya berusaha ia rendahkan kemudian menggenggam tangan lelaki itu.
"Bisa tinggalin aku," Raka menatap kosong ke tangan Jihan yang masih memegang pergelangan tangannya, "aku gak bisa ngomong dalam kondisi kayak gini."
"Raka..."
"Bukan kamu doang, aku juga ingin sendiri," kemudian ia menghempaskan tangan Jihan.
Jihan menarik nafasnya. Benar, tidak ada gunanya berbicara dalam keadaan seperti ini.
"Oke, kalau itu maumu. Tapi aku mohon jangan lupa makan dan baca pesan aku. Aku khawatir."
Akhirnya Jihan memilih mengalah dan pergi meninggalkan Raka dengan Dean.
Jihan berhenti di minimarket yang dekat dengan kosan Raka. Ia mengambil es krim yang beku banget dan memakannya di kursi depan yang mengelilingi parasol.
Jihan memakan es krim tersebut tanpa di jilat. Menggigitnya sampai terdengar bunyi gemertak. Berusaha menenangkan segala pikirannya. Benar, tak ada salahnya ia mengalah.
Setelah habis dan pikirannya sudah tenang, Jihan melihat langit. Begitu cerah. Ingin rasanya ia menyalahkan cuacanya cerah padahal pikirannya sedang tidak cerah.
Hingga beberapa saat kemudian Jihan melihat sebuah bayangan seseorang menghampirinya. Orang itu Dean dengan cengiran khasnya.
"Lo ngapain disini?" tanya Jihan.
"Raka nyuruh gua anter lo pulang. Dia udah nebak pasti lo ngadem dulu disini baru abis itu pulang," jelas Dean.
Jihan berdecih, "dasar cenayang."
"Gimana keadaannya?" tanya Jihan.
"Persis seperti yang lo lihat, gak baik," jawab Dean sembari duduk di kursi depan Jihan.
"Raka udah bertahun-tahun kondisinya kurang sehat bukan di fisik. Semenjak jadian sama lo kondisinya mulai membaik," Dean membuka minumannya yang sebelumnya ia beli, "Raka itu selalu begitu. Mendorong orang-orang menjauh padahal dirinya butuh sandaran. Lebih parahnya dia selalu menganggap dirinya tidak pantas bahagia," setelahnya Dean meneguk minumannya.
Jihan terdiam. Entah mengapa mendengar penjelasan Dean membuat hatinya sakit.
"Dulu dia sering konseling ke psikiater, tapi belakangan ini enggak."
Tanpa sadar Jihan menitikkan air matanya. Kata-kata Dean menyakiti Jihan. Jihan merasa ia tak berguna untuk Raka.
Jihan mulai menyesal kenapa dirinya dulu judes pada Raka. Disaat Raka berjuang untuk mendapat maaf dari dirinya di saat itu pula Raka berjuang dengan kondisinya.
Rasanya tak adil.
"Kata-kata gua tadi, gua gak minta lo mengerti tapi maklumi," ucap Dean.
"Gua harap lo bisa nunjukkin bahwa Raka itu pantes buat bahagia," tambahnya lagi.
____
Sudah empat hari Jihan tidak mengabari apalagi menerima kabar dari Raka. Ia benar-benar memberikan ruang untuk lelaki itu.
Meski begitu bukan berarti mengurangi rasa khawatir Jihan. Entah sudah ke berapa kali ia mengecek HPnya.
"Makan han, itu makanannya di makan," sahut Arin.
Jihan langsung kikuk dan ia mengambil sendoknya. Namun matanya masih mengarah ke hpnya.
"Masih nungguin kabar dari dia?" tanya Arin seolah mengerti.
Jihan mengangguk lesu.
"Yaudah tapi itu makanannya kapan masuk ke mulut dari tadi diaduk mulu. Inget lo gak boleh sakit," ujar Arin.
Jihan mengangguk kemudian ia memasukkan makanannya ke mulutnya. Setelah selesai munculah sebuah notif pesan yang telah lama ia tunggu.
Tanpa ragu Jihan membaca pesannya.
Raka: mau ke bukit gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't miss me √ [END]
Fiksi Penggemar"Aku rindu kamu" "Jangan rindu padaku" "Kenapa?" "Karena aku bukan orang yang pantas kau rindukan" Bagi Jihan bertemu kembali dengan Raka merupakan kesialan baginya. Jihan membenci segala dari seluruh di Raka. Perempuan itu benci dari cara Raka m...