24. (menemani)

21 7 0
                                    

Jihan menatap wajah Raka lamat-lamat dari bawah. Posisinya paha kurus lelaki itu dijadikan bantal untuk kepalanya dan Raka masih sibuk berkutat dengan tugas di laptopnya. Hampir satu jam lebih mereka tetap di posisi yang sama. Dengan lagu dari spotify yang terputar dikosan Raka. Sengaja pintunya dibuka takut-takut menimbulkan kesalahpahaman.

Bisa Jihan lihat kantung mata Raka yang menghitam. Wajar saja akhir-akhir ini Raka sedang disibukkan oleh tugas dan organisasinya. Sampai Jihan sendiri tak tega dan menyuruh lelaki itu istirahat di waktu kencannya. Ingin membantu juga rasanya tak berguna. Terlebih lagi mereka beda jurusan. Jihan hanya bisa memberi support dan menyuapi Raka makanan supaya perut lelaki itu tak kosong.

Mata Jihan mengerjap-ngerjap mengantuk. Akhirnya gadis itu memutuskan memejamkan matanya sebentar.

Entah sudah berapa lama Jihan tertidur hingga posisi kepalanya menghadap perut Raka. Posisi kakinya sudah tidak meringkuk melainkan tumpang tindih tak anggun.

Jihan mengadah menemukan Raka yang fokus dengan laptopnya. Beberapa saat kemudian lelaki itu bersuara dan menatap ke bawah, "udah bangun?"

Jihan hanya mengangguk. Bisa-bisanya dirinya tertidur pulas padahal lelaki itu lebih lelah.

"Jam berapa?" tanya Jihan.

"Setengah dua belas."

Jihan mengaga. Bisa-bisa dirinya tidak bisa tidur nanti malam. Jihan bangun dari posisi rebahan dan mengambil ponselnya. Menguncir rambutnya yang sudah acak-acakkan dan melihat wajahnya dari ponsel.

Beler banget.

"Mau tengah malem tau!" biasanya di kosan Jihan kalau sudah tengah malem pagar kosannya di kunci.

Raka mematikan laptopnya dan mengambil kunci motornya. "Aku anterin pulang." kemudian mengamit jemari Jihan.

"Tinggal ngambil motor kok pake pegangan tangan segala."

"Gapapa lagi pengen."

Jihan mencebik. Laki-laki ini ada-ada saja tingkahnya.

"Besok kuliah jam berapa?"

"Jam 08.40"

"Jangan sampai kesiangan."

"Dih siapa juga yang bakal kesiangan." Raka melepas pegangannya menghampiri motornya.

Dalam ke terdiaman Jihan, tiba-tiba saja lelaki itu memasangkan helm untuk Jihan. Jarak wajah mereka sangat dekat. Sampai-sampai Jihan berusaha menahan nafasnya taatkala hembusan nafas Raka menyentuh permukaan wajahnya saat Raka sedang mengunci helm yang dipakai Jihan.

"Makasih." ucap Raka tersenyum. Ini adalah senyum pertamanya hari ini selama kesibukannya, "untuk semuanya." kemudian Raka menepuk-nepuk helm yang dipakai Jihan.

Jihan mengerjap-ngerjap karena serangan kejutan.

Hari ini memang tidak banyak bicara dan Jihan tidak menyesal karena rela menyita waktunya untuk menemani Raka.

___

Hari ini Jihan dan Arin sedang di kantin. Seperti biasa Arin curhat dengan nafas memburu terlebih saat tau cowok yang mendekatinya untuk dijadikan taruhan. Sekedar informasi lelaki yang mendekatinya itu anak teknik.

"Kesel banget njir, masa gua di harga in 500 sih!"

Lebih tepatnya Arin kesal karena siapa pun yang menjadi pacar Arin akan dapat 500 ribu. "Biaya persalinan buat ngelahirin gua aja lebih dari segitu. Enak amat dia ngerhagain gue sekecil upil gitu."

"Trus kenapa dia babak belur gitu?" tanya Jihan mengarah ke Dean yang datang berjalan menghampiri meja Jihan.

"Si goblok dengan pedenya mau nonjok dia. Udah tau dia ikut boxing, yah pasti kalah lah."

"Gak tau terima kasih lu." sungut Dean dan duduk di samping Arin.

Arin tak mengubris dan memilih menyedot es jeruknya. Saat panas begini es jeruk lah jawabannya.

"Lagian lo kayak kepepet waktu amat pengen punya pacar. Kan akhirnya lo dapet yang brengsek-brengsek juga."

"Kata lo kan gua pemungut sampah." ucap Arin menyindir.

Dean menghela nafasnya frustasi dan menyibak rambutnya ke belakang menampilkan jidatnya. "Terserah lo lah." dari nada suara Dean sepertinya terlihat lelah.

Rasanya Jihan ingin menghilang dari tempat. Permasalahan yang tidak bisa ia turun tangan dari dua orang yang tak punya kepekaan. Saku celananya serasa ada yang bergetar singkat. Ia mengambil ponselnya melihat pesan masuk.

Raka: aku udah beres rapat, aku tunggu di belakang gang.

Jihan: 5 menit kesana.

Jihan menaruh kembali ponselnya kembali ke tas nya. Sudah sebulan Jihan dan Raka menjalin hubungan, baik Arin dan Dean masih belum diberi tau. Ada sedikit rasa tidak enak karena merahasiakannya dari Arin. Tapi Jihan janji suatu saat nanti ia akan memberi tau.

"Aku pamit dulu." baik Arin dan Dean tak meladeninya. Mungkin karena berdebat sampat tidak menyadari kehadiran Jihan.

"Lo gak bisa apa liat cowok yang ada disamping lo?!"

"Apaan njir!"

Jihan benar-benar harus pergi.

--

Jihan sudah sampai di gang belakang dan kini sedang memakai helm.

"Apa harus kita pacaran diam-diam begini? Kan gak enak tau mau ketemu aja harus sembunyi dulu."

"Tahan bentar lagi. Abis itu gak perlu kita sembunyi-sembunyi begini."

"Kalau boleh tau apa alasannya?"

Jihan mengunci helmnya dan melorok ke langit berpikir. Alasannya tidak serumit di sinetron-sinetron. "Gapapa cuma seru aja."

"Hm?"

"Rasanya tuh kayak aku jadi agen rahasia kayak di film gitu. Ada tegang-tegangnya."

"Ada-ada aja, tapi syukurlah."

"Syukur kenapa?"

"Aku pikir kamu malu karena pacaran sama aku."

"Kalau malu, dari awal aku gak bakal nerima kamu." Raka menyalakan mesin dan Jihan menaiki motor.

"Ternyata kamu orangnya nyebelin yah." lanjut Jihan.

"Nyebelin kenapa?"

"Padahal banyak banget yang naksir sama kamu tapi masih aja merendah kayak tadi."

"Kamu cemburu." Raka terkekeh mendengarnya.

"Ngaco."

Kemudian motor pun berjalan melewati berpuluhan kendaraan di jalan raya.


Next>>>

Don't miss me √ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang