21. (membaik)

35 9 18
                                    

Jihan terbangun pukul setengah enam pagi ketika alarm berbunyi.

Jihan mematikan alarmnya malas. Kelas mulai pukul 9 masih ada waktu dirinya untuk tidur.

Namun bukannya tertidur ketika matanya terpejam. Matanya kembali terbuka karena begitu terpejam bayangan dirinya memeluk Raka kembali terbayang. Menimbulkan debaran gila di dalamnya.

Jihan memposisikan dirinya duduk dan memegang dadanya yang terus berdegup kencang. "Gila lo han" Gumamnya pada dirinya.

Lalu Jihan melihat telapak tangan kanannya. Tangan yang ia gunakan untuk menarik ke dalam pelukan. Jihan kembali berpikir kenapa dirinya bisa selancang itu menarik Raka ke dalam pelukannya. Tak ada jawaban yang pas untuknya.

"Ahh gila..." Jihan mengacak rambutnya misuh-misuh sendiri.

Pikirannya kembali saat dirinya bertemu Dean. Sebelum bertemu Raka, Jihan bertemu Dean saat di kampus.

Flashback on

"Iseng amat ya nih bocah" Keluh Dean melihat ban motornya kempis. Kalau kempis di jalanan bisa Dean tebak ada yang menebar paku dijalan. Kalau di kampus, pasti ini kerjaan anak-anak yang gak punya kerjaan sampe ban nya yang jadi korbannya.

"Kenapa Dean?" Tanya Jihan sekedar basa-basi. Baru sadar juga tanpa Arin atau Raka tak ada interaksi antara Jihan dengan Dean.

"Biasa ban kempis" Jawab Dean sambil menekan-nekan ban motornya.

"Di dekat sini ada bengkel, Dean"

"Beneran, coba tunjukkin"

"Emang lo jalan gak pernah liat sekeliling. Biasanya anak yang bawa motor kayak lo tau daerah mana ada bengkelnya"

Dean menggaruk dagunya sambil tersenyum cengir "itu dia masalahnya, gua tuh kalau jalan liat ke depan bukan liat ke samping"

Jihan mengerlingkan bola matanya. Akhirnya Jihan menunjukkan bengkel terdekat dengan  Jihan pemimpinnya dan Dean di belakangnya sambil mendorong motor.

"Lo gak ada niat bantuin dorong motor gua" Ujar Dean yang keliatan ngos-ngosan tak lupa keringat yang mengucur.

"Lo kan minta tolongnya tunjukkin bengkelnya bukan bantu dorong motor" Dean hanya bisa tersenyum ikhlas.

Sampailah mereka di bengkel. Jaraknya emang gak jauh cuma Dean nya aja yang udah kecapean dorong motornya. Apalagi motornya model ninja. Kalau kata Jihan, cantik doang tapi ban motor kempis.

Jihan melirik ke arah Dean yang gelisah melihat HPnya. Gak ada niat untuk bertanya kenapa, karena itu bukan urusan Jihan.

"Han, lo ngechat Raka gak sebelumnya?"

"Iya kenapa?" Iya ngechat tapi itu kemarin bukan hari ini.

"Gua khawatir sama Raka. Gara-gara insiden kemarin dia gak bales chat gua apalagi jawab panggilan gua" Ujar Dean dan menunjukkan kolom chat dirinya dengan Raka yang tak dibaca itu.

"Kayaknya Raka pasti seneng banget liat lo khawatir sampe segitunya" Sarkas Jihan melihat Dean masih uring-uringan.

"Emangnya lo gak khawatir. Gua tau lo khawatir tapi sengaja gak lo tunjukkin"

"Ngaco lu"

"Lagian selain gua siapa lagi han orangnya. Yang dia punya saat ini cuma gua sama lo itupun kalau lo udah baikan sama dia"

"Maksud lo?" Jihan mulai tertarik dengan bahan pembicaraan.

"Raka tinggal sama tantenya dan kebetulan rumah tantenya tetanggan sama rumah ortu gue. Gua denger Raka pindah tinggal sama tantenya karena kedua orang tuanya cerai dan mereka memilih lepas tangan, secara garis besarnya gak ada yang mau tanggung jawab ngurus Raka. Yang gua heranin sampe sekarang adalah Raka masih aja nyari ibunya ada dimana kayak ngirim pesan lewat email. Padahal ibunya udah ninggalin dia"

Jihan terdiam di tempat mendengarkan. Apa ini alasan Raka meninggalkan dirinya tanpa pamit? Jihan baru ingat kalau dari dulu Raka tak pernah bercerita tentang orang tuanya. Raka hanya selalu mendengarkan cerita Jihan dari dulu. Kalau begitu bukankah Raka lah yang lebih membutuhkan sandaran daripada dia?

Jihan masih kalut dalam pikirannya. Sampai Dean berkali-kali memanggilnya. Jihan menarik nafasnya menenangkan pikiran. Ia memposisikan dirinya menghadap Dean dan bertanya "lo tau kosan Raka ada dimana?"

Flashback off

Jihan masih memandang telapak tangannya. Sebenarnya ia ingin mendengarkan dari sisi Raka. Tapi ia tak mau membuat pria itu kembali merasa sedih mengingat masa kelamnya. Karena Raka tak berhak disakiti lagi. Lebih baik Jihan menunggu.

Jihan memutuskan bangun dari tempat tidurnya. Karena yakin dirinya tidak akan kembali terlelap. Jihan memutuskan mandi, mendinginkan otaknya.

🦕🦕🦕🦕🦕

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Tanya Arin memandang Jihan heran.

Selama kelas berlangsung Jihan tak henti-hentinya tersenyum. Arin sampe takut kalau temannya ini kesurupan. Apalagi saat kelas Pak Dewo berlangsung. Tak henti-hentinya Jihan tertawa padahal Pak Dewo melontarkan lawakan garing sekalipun.

"Dari kemarin lo moodnya bagus. Padahal Senin besok kita UAS"

"Giliran mood gua bagus protes, giliran gua lagi uring-uringan lo protes juga"

"Judes amat lo, yah bagus sih mood lo bagus"

Sebuah pesan chat masuk di HP Jihan. Cewek itu membuka pesan dan kembali tersenyum. Ini nih yang Arin takutin, takut Jihan kesurupan.

Akhirnya Arin mengintip sedikit HP Jihan. Ternyata Jihan sedang chatan sama Raka. Tumben, biasanya kan mood Jihan langsung jelek kalau yang berhubungan dengan Raka. Apa jangan-jangan? "Han, lo suka sama Raka?"

"Iya"

Sedetik

Dua detik

Tiga detik

Sembilan detik

Sepuluh detik

Arin menganga histeris bahkan sampe mukul-mukul bahu Jihan saking histerisnya. Biasanya Jihan akan menjawab 'apaan sih gua kan benci sama dia'. Apa Arin harus benci cowok ganteng supaya dapet cowok ganteng?

Tanpa Arin sadari sudah 3 hari hubungan Jihan sama Raka mulai membaik. Bukan hubungan kayak PDKT cuma kayak saling sapa atau ngobrol hal seru gitulah.

Raka

Han, besok kamu ada waktu?
Katanya ada restoran baru buka cabang daerah sini.

Baru saja Jihan mengetik iya. Jihan teringat satu hal.

Maaf rak, aku ada janji sebelumnya



Kalau besok adalah hari peringatan kematian ibunya.

Next>>>

Don't miss me √ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang