27. (memulai)

12 2 0
                                    

Kini keduanya di atas bukit memandang langit oranye. Masih duduk terdiam seolah masih canggung telah lama tak bertemu. Posisinya duduk bersebelahan di bangku panjang mahoni.

"Hai," sapa Raka seakan tak terjadi apa-apa.

Jihan hanya tersenyum setidaknya keadaan Raka lebih baik dari terakhir bertemu.

"Kok diem aja, gak kangen?" tanya lelaki itu melihat Jihan masih diam.

"Kangen banget," jawabnya singkat yang membuat bola mata Raka membola. Biasanya Jihan bukan tipe yang blak-blakan mengenai perasaannya.

Jihan memandang langit oranye yang sebentar lagi gelap. Hingga telinganya mendengar bunyi korek api. Jihan menoleh ke samping melihat Raka yang memegang sebatang rokok. Jujur Jihan baru pertama kali melihat sisi Raka yang seperti ini.

"Maaf," bisik Raka.

"Maaf kenapa?"

"Maaf karena gak ngasih kabar dan bikin kamu khawatir."

"Gak apa-apa yang penting sekarang aku udah liat kamu."

"Sehari setelah dihubungi tante, aku ketemu ibu aku," Raka memulai ceritanya dan dengan seksama Jihan mendengar.

"Ibu keliatan bahagia banget sama keluarga barunya. Dia ngenalin anaknya dan bilang itu adik aku. Jujur gua masih belum terima dan ngerasa gak adil. Dengan ninggalin aku disini, dia hidup bahagia disana," Raka tertawa miris. Ia menghisap asapnya dan menghembusnya membentuk kepulan.

"Ibuku juga bilang ayahku udah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku bingung nanggepinnya. Ibu bilang aku boleh benci sama dirinya tapi gak boleh benci sama ayah. Tapi mana bisa begitu mereka berdua aja gak pernah minta maaf karena ninggalin aku. Sekalipun minta maaf aku gak akan maafin mereka berdua. Aku capek, harus ngebenci dan sayang mereka secara bersamaan."

Jihan memegang kuat tangan Raka. Sekadar menguatkan. Karena saat ini kata-kata atau tindakan sekalipun gak akan ngehibur Raka.

Raka melirik ke arah Jihan, "aku jahat banget ya ngebenci mereka."

Jihan menggeleng.

"Biasanya orang-orang akan berkata kamu gak boleh benci karena mereka orang tua kamu."

"Aku gak bisa karena itu yang kamu rasain selama ini. Aku bakal negur kamu kalau kamu bersikap keterlaluan."

"Kok jadi kamu yang nangis," ucap Raka mengelap bulir-bulir air mata Jihan. Lelaki itu mengusap pipi wanita itu.

"Kamu bau rokok," ucap Jihan soalnya jaraknya itu deket.

"Maaf, kamu jadi liat aku sisi seperti ini. Aku gak masalah kalau kamu udah gak sanggup sama aku."

"Kok ngomong gitu sih."

"Bukan gitu..."

Jihan sadar, saat ini lelaki itu sedang menunjukkan sisi yang menurutnya tidak boleh dilihat Jihan. Seakan memberi pilihan Jihan boleh terus bersamanya atau meninggalkannya.

"Rak, kamu berhak bahagia bahkan lebih bahagia lagi."

Ucapan Jihan membuat Raka menatap manik Jihan.

"Kamu bilang kamu gak ngerasa gak adil kalau mereka bahagia. Kalau gitu kamu balas dendam dengan cara kamu harus lebih bahagia daripada mereka."

Raka tertawa hingga matanya membentuk bulan sabit. Lelaki itu mengusap rambut Jihan, "aku udah pernah bilang belum kalau aku gak nyesel ketemu sama kamu, suka sama kamu, dan pacaran sama kamu."

Jihan tertawa, ada semburat merah di pipinya. Untungnya tidak terlihat karena langit sudah gelap, "gombal kamu."

"Dih gak percaya," cibir Raka sambil menghembuskan asap rokoknya.

Jihan memandang Raka dari dekat, "kamu sadar gak kalau kamu ganteng banget."

"Tiba-tiba amat?"

"Aku serius. Lebih ganteng lagi kalau gak ada ini," Jihan mengambil batang rokok lalu membuang ke tanah dan menginjaknya.

"Itu rokok terakhirku."

"Biasa kalau lagi sama aku gak ngerokok juga," ucap Jihan karena Jihan sendiri gak tau kalau Raka sama temennya itu ngerokok atau enggak.

"Aku ngerokok lagi suntuk aja, tapi itu udah jarang banget."

"Makanya jangan mulai dibiasain lagi."

Raka menunduk melihat ke arah kakinya yang nendang-nendang tanah. Hingga beberapa saat kemudian Raka terkejut karena ada sesuatu yang menempel di pipinya. Iya, sebelumnya Jihan mengecup pipinya.

"Izin dulu dong," ucap Raka.

"Izin kayak gimana?"

"Raka, aku boleh cium kamu gak?" ucap Raka menyuruh Jihan berbicara seperti yang ia suruh tadi.

Jihan tertawa geli kemudian ia memegang pipi lelaki itu dengan kedua tangannya, "Raka, aku boleh cium kamu gak?"

Raka tersenyum, "boleh."

Hingga tak butuh waktu lama dua benda kenyal itu saling bertemu. Raka menarik tangan Jihan supaya perempuan itu meraih lehernya untuk semakin mempersempit jarak keduanya.

Ciumannya semakin dalam dan semakin menuntut. Raka menekan tengkuk wanita dan semakin memperdalam ciumannya.

Berbagi kehangatan dengan langit sebagai saksi.

___

"Arin tunggu dulu!" teriak Dean mengejar Arin.

Udah berapa hari Arin masih belum mau ketemu sama mereka. Mau sampai kapan mereka kucing-kucingan terus.

"Lepasin tangan aku," ucap Arin begitu Dean berhasil meraih tangannya.

"Kita gak bisa terus-terusan kayak gini. Diajak ketemu baik-baik gak bisa."

"Dean lepasin," entah sudah berapa kali Arin berusaha melepaskan tenaga Dean lebih kuat.

"We need to talk."

Kalau udah kayak gini Arin gak bisa berbuat apa-apa. Kalau nada dan cara tatapnya seperti ini berarti tandanya Dean benar-benar ingin serius.

Setelah dirasa tempatnya cukup pas Dean melepas pegangannya. Untungnya Dean megangnya gak sekuat itu kalau tidak pergelangan tangan Arin bisa merah dan Dean semakin merasa bersalah.

Dean mengeluarkan sebuah liontin berwarna biru langit.

"Kamu ngapain?"

"Liat baik-baik kamu ikutin liontin ini," Dean menggoyangkan liontinnya.

"Lo itu ngapain?!"

"Masa gak ngerti sih? Ini aku mau nge hipnotis kamu."

Arin merollkan bola matanya dan akhirnya ngalah ikutin kemauan Dean daripada ribet.

"Setelah itu tutup mata kamu."

Arin menutup matanya.

"Apa lo ingat saat gua ngasih tau perasaan gua? Lupain kenangan itu semua. Hapus semua sampai tak ada yang tersisa."

Arin sempat kaget karena omongan Dean, tapi ia masih ikuti cara mainnya Dean.

"Kalau udah selesai udah hapus, ketika gua petik jari lo bisa buka mata dan bangun. Kenangan itu kini udah gak ada lagi."

Setelahnya Dean memetik jarinya dan akhirnya Arin membuka matanya. Dean tersenyum, hingga butuh beberapa menit Arin juga ikut tersenyum.

"Lo gak laper? Ayok makan lo yang traktir," ajak Dean.

Arin ketawa ini Dean yang ia kenal. Kemudian ia menabok bagian belakang kepala lelaki itu.

"Enak aja, yang ada lo traktir gua."

"Yaudah deh, tapi budgetnya dua ribu."

"Idih dikira bayar wc apa," kemudian Arin menabok bagian lengan Dean tanpa ampun sampai Deannya ngeringis sakit.

Don't miss me √ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang