3. Boneka Jerami

62 10 0
                                    

Santosa tidak tahu berapa lama ia telah berjalan. Pemandangan di sekitarnya sama sekali tak berubah. Semak monokrom yang berderet di sepanjang perjalanan dengan beberapa batang pohon dalam jarak cukup jauh menjadi satu-satunya pemandangan yang menemani. Langit abu-abu dengan awan putih tipis menaungi kepalanya. Tak ada matahari sehingga ia tak merasakan apa pun menyengat kulit tengkuk terbukanya. Tanah berwarna abu-abu gelap dengan kerikil tajam yang menusuk telapak kaki membuat Santosa sesekali meringis saat bongkahan besar nan tajam tanpa sengaja mengenainya.

Namun, di atas segalanya, Santosa merasakan kehampaan yang absolut. Bukan hanya karena dunia sekitarnya yang monokrom, tetapi juga kesendiriannya, sementara berjuta tanya memenuhi isi kepala. Ia merasa, tetapi perasaannya tak mampu menerjemahkan apa pun. Ia melihat, tetapi penglihatannya tak mampu menerangkan apa pun. Ia mendengar, tetapi pendengarannya tak mampu memberikan pemahaman apa pun tentang keadaan di sekitar.

Perlahan-lahan, Santosa merasa tenggorokannya semakin panas dan kering seiring jauhnya perjalanan yang ia tempuh. Lalu, lelaki paruh baya itu mulai terisak lirih, suatu hal yang tak pernah dilakukannya seumur hidup. Sementara, bayang-bayang perbuatannya semasa hidup mulai berkelabat bagai halusinasi setiap kali matanya mengedip.

Pada sebuah persimpangan, langkah Santosa terhenti. Jalanan abu-abu yang terbentang di hadapannya kini bercabang menjadi dua arah. Langit kelabu yang menaunginya juga menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Sejauh mata memandang, terbentang pemandangan rerimbunan pohon-pohon hitam pekat dengan ranting-ranting yang mencuat tajam serupa tangan gergasi. Untuk beberapa saat lamanya, Santosa bergeming, gamang akan keputusan yang akan diambil. Kedua cabang jalan sebetulnya tak menjanjikan apa pun selain warna kelabu yang lebih gelap dan nuansa suram yang kental. Pun pemandangan kedua persimpangan terlihat serupa. Dunia Santosa terasa hambar dan monoton sehingga untuk sekadar memilih pun, ia tak begitu bersemangat. Akan tetapi, ia harus tetap memilih.

Kala kebingungan dan kegusaran mencapai puncaknya, Santosa akhirnya memilih asal jalan yang akan ditempuh. Setelah menutup kelopak matanya sesaat, Santosa lantas membiarkan kakinya menuntun pilihan. Nalurinya menuntun sebelah kiri untuk alasan yang sama sekali tak ia ketahui. 

Dedaunan dan ranting hitam pekat menaungi langkah selanjutnya. Dalam sunyi yang ganjil, Santosa yang telah membuka kelopak matanya lantas menyorot awas ke sekitar mencari petunjuk atau apa pun yang dapat membebaskannya dari kesendirian. Namun, sejauh beberapa menit kakinya melangkah, ia tak menemukan apa-apa. 

Perlahan tetapi pasti, kelelahan mulai terasa semakin kentara mendera di sepasang tungkainya hingga membuat langkah lelaki paruh baya itu melambat. Semangatnya yang semula berkobar perlahan menguap terkikis jarak yang telah ia lewati. Kesunyian dan kesendirian itu membuat Santosa merasa nyaris gila.

Santosa kemudian memutuskan untuk berhenti. Beristirahat barangkali adalah pilihan yang tepat untuk sedikit menenangkan pikiran kalutnya. Santosa menyandarkan punggung pada sebatang pohon besar dengan sulur menjuntai, yang mengingatkannya dengan pohon beringin di pekarangan rumahnya. Sepasang kakinya diselonjorkan di atas tanah memberi waktu istirahat pada syaraf-syaraf kakinya yang telah lelah menopang tubuh nyaris berjam-jam.

Santosa hampir saja terlalai dalam tidur yang melenakan. Kelopak matanya nyaris menutup sempurna saat sesuatu mengusik telinganya. Sensasinya tajam dan menggelikan, menusuk-nusuk liang pendengarannya seumpama jarum. Pada tusukan kedua, Santosa terlonjak bangkit dari posisinya. Tubuhnya terhuyung lantas terguling karena pijakan yang belum kokoh.

Namun, bukan itu puncak dari kengerian yang harus Santosa hadapi. Begitu ia mengangkat wajah, sesosok makhluk tinggi besar berwarna abu-abu gelap dengan tubuh terbuat dari jalinan jerami berdiri menantangnya. Meski dalam bias warna monokrom, Santosa dapat melihat mata itu menyala, memelototinya dengan marah. Tubuh Santosa menggigil, tetapi sedetik kemudian ia teringat bahwa makhluk dari anyaman jerami itu bukanlah sesuatu yang asing di dalam kehidupannya.

***

Santosa berdeham dalam suara parau nan dalam. Kepulan asap yang berasal dari bokor kemenyan dan remang cahaya menyamarkan sosoknya di balik bayang-bayang gelap ruangan bilik. Di hadapannya, seorang pemuda berwajah gusar menatapnya penuh pengharapan.

"Jadi bagaimana, Mbah? Apa Mbah bisa mengabulkan permintaan saya?" tanya pemuda itu setelah beberapa detik keheningan menyelimuti mereka.

Sekali lagi Santosa berdeham, dengan sengaja mempermainkan kegusaran dan ketegangan pasien di hadapannya. Kesenangan kecil semacam itu, tak pernah luput darinya pada setiap sesi konsultasi. "Sampeyan meragukanku, Yono?" bentaknya berpura-pura mendelik tidak senang. Separuh wajah berkulit kasarnya tersingkap dari bayang-bayang gelap. Ekspresi itu sontak membuat pemuda bernama Yono terlonjak mundur karena kaget. Merasa berhasil mempermainkan pasiennya, tawa Santosa lantas meledak.

"Ampun, Mbah ..." Wajah Yono jadi berubah sepucat mayat dengan titik-titik keringat yang membasahi pelipis.

"Kau mau dia langsung mati atau cacat saja?"

"Ampun, Mbah. Saya ingin dia mati tapi perlahan-lahan dan penuh penderitaan. Bikin dia sakit dulu, Mbah, seperti dia menyakiti hati saya." Ketakutan yang semula membayang pada wajah Yono sirnah seketika demi mendengar pertanyaan yang diajukan Santosa.

Ekspresi Yono sungguh merupakan penampakkan yang sangat familier bagi Santosa. Ekspresi para pendendam yang mendadak memperoleh senjata untuk menunaikan kemarahannya. "Sampeyan sudah bawa yang kuminta tempo hari?" tanyanya dengan tatapan memicing.

Yono mengangguk mantap. Pemuda itu lantas mengeluarkan sebuah buntalan kecil berwarna hitam dari saku bajunya. Meletakkannya dengan tangan gemetar di dekat bokor menyan bercampur kembang yang mengepulkan asap semakin pekat berbau mistis. Bersamaan dengan bungkusan itu, seluruh pengharapan dan sakit hatinya ia serahkan kepada Santosa dengan penuh kepasrahan untuk ditindaklanjuti.

Sementara, Santosa yang menerimanya lantas menyeringai, memamerkan gigi depannya yang telah menghitam dan bernoda merah sebagai jejak sirih dan kapur yang senantiasa dikunyahnya. Dengan satu lengan berurat yang dihiasi beberapa cincin batu, Santosa membuka simpul bungkusan kecil itu dan mengeluarkan beberapa helai rambut serta selembar foto. Ia mengamatinya selama beberapa detik dalam temaram cahaya sebelum mengangguk takzim.

"Jadi, seorang perempuan?"

Yono mengangguk dengan wajah penuh dendam, sebelum keheningan kembali merambati jarak di antara mereka.

"Bagaimana, Mbah?" Yono yang tak sabar kembali membuka mulut. Dendamnya telah sampai di ubun-ubun dan ia ingin hajatnya segera ditunaikan. 

"Gampang. Ini perkara mudah."

Santosa melihat binar kelegaan terbit di mata Yono dan hal itu kembali membuatnya terkekeh geli. Sang dukun lantas meraih sesuatu dalam sebuah kotak kayu di samping bokor kemenyan, membukanya dengan gerakan dramatis sembari melirik ekspresi Yono. Ia lantas mengeluarkan sebuah boneka jerami tanpa rambut dari dalamnya. Menimang-nimangnya sebentar di hadapan Yono. Kemudian, satu tangan lainnya menempelkan foto pemberian Yono pada wajah si boneka yang semula polos dan dalam gerakan cepat melilitkan beberapa helai rambut pada bagian leher benda tersebut. Setelahnya, Santosa mengeluarkan sebilah paku berkarat dari dalam kotak kayu.

"Jadi, kau mau melukainya di bagian mana dulu?" tanya Santosa dengan tangan menggenggam paku berkarat yang perlahan terangkat ke udara.

Yono yang melolot kaget bercampur ngeri lantas menjawab gelagapan. "Kakinya. Sakiti kakinya terlebih dahulu. Buat dia tidak bisa berjalan, Mbah!" Sepasang netra pemuda itu berkilat.

Santosa tersenyum puas. Diangkatnya boneka jerami ke tengah-tengah kepulan asap menyan dan kembang tujuh rupa. Bibir hitamnya lantas mulai komat-kamit merapal mantra. Kemudian, dalam gerakan dramatis, ia menancapkan paku pada salah satu kaki boneka jerami.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang