16. Kematian Si Belang

21 8 0
                                    


"Lepaskan si Belang!"

Santosa menjerit. Sebelah lengannya telah menggenggam sebilah patahan dahan kayu yang ditemukannya secara tak sengaja beberapa detik yang lalu. Meski sedikit ketakutan akan rupa buruk makhluk yang kini menyandera si Belang, tetapi hati nuraninya telah memutuskan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Santosa sangat ingin menyelamatkan makhluk lain dan rela membahayakan nyawanya. Bahkan, di Banyuwangi, Santosa tak menahan kepergian istri dari sisinya di masa lalu. Akan tetapi, sekarang ia justru tak rela jika harus kehilangan si Belang. Satu-satunya kucing yang menemaninya di dunia asing ini.

Begitu mendengar teriakkan Santosa, makhluk mengerikan yang sekilas terlihat seperti mayat hidup di rumah kosong itu menoleh. Santosa terlonjak mundur beberapa langkah begitu melihat makhluk itu menoleh, kemudian menyeringai ke arahnya. Dugaannya tidak salah, makhluk itu adalah makhluk serupa dengan yang ada di rumah kosong. Hutan yang pekat menutupi cahaya matahari sehingga makhluk itu dapat dengan leluasa berkeliaran.

Makhluk itu meraung, memamerkan gigi-gigi yang nyaris membusuk, kecuali sepasang taring tajam yang terlihat kokoh. Tubuh kurus dibalut kulit tipis penuh kutil itu menampilkan urat-urat syaraf menonjol, menambah kesan seram. Terlebih dengan beberapa luka menganga di punggung dan lengannya yang membusuk, mengingatkan Santosa pada lukanya sendiri.

"Aku menemukan makhluk ini lebih dulu," bantah makhluk itu dengan suara parau. Sementara, si Belang mengeong ketakutan di dalam cengkeraman makhluk itu.

"Dia milikku," balas Santosa dengan nyali yang dikuat-kuatkan.

Mayat hidup itu terbahak, parau dan dalam, membuat Santosa kian gentar. "Salahmu sendiri tidak segera memakannya!"

"Memakannya katamu?" Santosa setengah menjerit.

Tanpa menunggu jawaban makhluk itu, lelaki paruh baya bersenjata bilah kayu itu menghambur ke arah si mayat hidup. Santosa mengayunkan patahan dahan pohon dengan keras dan cepat hingga mengenai punggung makhluk itu. Si mayat hidup lantas jatuh tertelungkup menghantam tanah berselimut lumut hijau di bawahnya. Makhluk itu meraung marah. Kejatuhannya menyebabkan si Belang terpental dari cengkeramannya.

"Menjauh, Belang!" Santosa berteriak sebelum sekali lagi mengayunkan pukulan.

Namun, belum sempat pukulan itu mengenai sasaran, si mayat hidup telah lebih dulu bangkit dan menangkis serangan Santosa. Patahan dahan kayu bergetar saat kedua makhluk itu saling adu kekuatan.

Suara si Belang yang terdengar mengeong menjauh membuat sedikit kelegaan bagi Santosa. Setidaknya, ia telah berhasil menyelamatkan rekan perjalanannya. Kenyataan itu serta merta membuat Santosa mendapatkan sedikit kekuatan hingga ia berhasil mendorong sedikit dahan kayunya ke arah si mayat hidup.

"Kau tidak akan bisa menyelamatkannya. Jika dia tidak mati di tanganku, maka dia akan mati di tangan jiwa tersesat lainnya." Lawan Santosa mendesis di sela-sela keterpurukannya.

Kata-kata itu anehnya berhasil menghantam kesadaran Santosa, jika si Belang tidak akan selamat dengan mudah. Ia refleks menoleh pada si Belang yang berjarak beberapa langkah di belakangnya, hingga menyebabkan kewaspadaannya menurun. Pertahanannya pun menurun.

Keadaan berbalik, tepat saat Santosa mendapati mayat hidup lain yang berjalan tertatih ke arah si Belang. Santosa mengumpat, sebelum lawan tandingnya saat itu berhasil mendorong dahan kayunya, hingga terpelanting menghantam tanah. Santosa tak punya senjata lagi.

Dengan panik, lelaki paruh baya itu berlari ke arah si Belang, bermaksud menyelamatkannya. Akan tetapi, sebelum tangannya sempat meraih makhluk belang tiga itu, mayat hidup lain telah lebih dulu mencengkeram si Belang. Kemudian, dalam gerakan cepat yang tak terduga, makhluk brutal itu mengoyak leher si Belang dengan giginya. Darah segar berwarna merah pekat lantas mengalir mengotori bulu kumal si Belang.

"Tidak!"

Santosa hendak menjangkau si Belang. Namun, di saat bersamaan mayat hidup yang sempat menjadi lawan tandingnya telah mengekang tubuhnya dari belakang terlebih dahulu dengan keras. Tubuh Santosa terangkat, kaki-kakinya menerjang brutal ke segala arah agar dapat terlepas dari rengkuhan itu.

Sementara di hadapannya, tepat di depan kedua matanya, si Belang digigit berkali-kali dengan ganas, hingga makhluk malang itu melolong lirih. Tak puas sampai di situ, mayat hidup itu juga lantas mengoyak tubuh si Belang tanpa ampun hingga perlahan warna cerah yang dimiliki kucing itu perlahan menghilang berganti monokrom yang sendu. Bersamaan dengan itu suara mengeong lirih yang seolah meminta tolong itu berhenti. Santosa tahu, detik itu juga ia telah kehilangan si Belang untuk selama-lamanya.

Santosa menjerit pilu. Tetes demi tetes air bening mengalir di pipinya tanpa henti, sementara tubuhnya tetap bergerak liar, meronta-ronta untuk segera dilepaskan dari cengkeraman.

Beberapa meter di hadapannya, mayat hidup yang telah membunuh si Belang menyeringai, sembari menjilati sisa-sisa darah si Belang yang tertinggal di jari dan telapak tangannya. Melihat pemandangan itu, hati Santosa mendidih. Kekuatannya kembali bangkit. Tubuhnya meronta semakin brutal, hingga akhirnya mayat hidup yang mengungkungnya jatuh terjengkang. Cengkeramannya terlepas.

Santosa serta-merta berlari menghampiri tubuh mati si Belang yang terkoyak dan berlumuran darah. Beberapa organ dalam tubuhnya bahkan menyeruak keluar dari robekan brutal akibat gigitan brutal si mayat hidup. Santosa kembali melolongkan tangis pilunya sembari meraih tubuh mungil tak bernyawa itu ke dalam pelukan. Ia tak peduli jika pakaian lusuhnya harus ternoda darah.

Santosa merasa hancur dan benar-benar terpuruk saat itu juga. Beginilah rasanya kehilangan. Lutut-lututnya terpaku di atas tanah. Tubuhnya berguncang hebat. Tanpa si Belang bagaimana ia akan melanjutkan perjalanan ini sendirian?

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang