7. Kucing Belang Tiga

28 12 0
                                    

Malam semakin beranjak pekat. Sementara, gerimis telah berubah menjadi hujan yang cukup awet. Jam dinding tua yang bertengger di dinding ruang tamu rumah Santosa menunjukkan pukul 10 lewat lima menit. Sudah nyaris 4 jam ia dan Yono berada di ruangan itu, duduk berhadapan seraya mengulur waktu untuk memulai ritual yang telah mereka rencanakan.

Beberapa puntung rokok tergeletak di atas piring seng berkarat yang tertata di tengah meja. Pun kopi-kopi yang telah tersaji di atas meja telah tandas menyisakan ampas hitam di bibir cangkir sejak sejam yang lalu. Namun, Santosa belum juga mengajak Yono beranjak ke ruangan praktiknya.

Yono bergerak gelisah di tempat duduknya sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Santosa. Berulangkali ia berdeham, memberi kode, sementara ia telah kehabisan ide untuk memulai pembicaraan.

Santosa bukannya tak menangkap gelagat itu. Hanya saja ia merasa jika memang belum saatnya melakukan ritual. Waktunya belum tiba. Akan tetapi, menunggu bersama Yono dan kehabisan bahan pembicaraan juga membuatnya sedikit gusar.

Tiba-tiba suara kelontang yang gaduh terdengar dari bagian depan rumah. Bunyi yang menyeruak di antara rinai hujan itu sontak membuat Santosa dan Yono saling pandang dalam sepersekian detik. Kekalutan lain membayangi pikiran mereka masing-masing. Bagaimana jika ada yang sedang memata-matai mereka saat itu?

"Bunyi apa itu, Mbah?" Yono akhirnya buka suara dengan setengah berbisik. Tubuh kurusnya terlihat menciut di dalam sofa tua milik Santosa.

Santosa tak menyahut. Lelaki paruh baya itu langsung berdiri dan berjalan mendekat ke arah jendela. Satu tangannya menyibak tirai yang menutupi jendela, sementara sepasang netranya menyorot awas pada cahaya temaram di teras rumah.

"Tidak ada siapa-siapa," gumamnya lebih kepada diri sendiri. Pandangannya menyisir teras sunyi dengan hujan yang masih menitik konstan di luar. Tak ada pergerakan apa pun yang tertangkap netranya, selain tumpukan kaleng berisi tanah yang jatuh berserakan. Barangkali, tikus tanah baru saja menabraknya tadi.

Akan tetapi, belum sempurna tubuhnya berbalik dari ambang jendela, telinganya mendadak menangkap samar-samar suara mengeong lirih. Santosa kembali mendekati jendela, menyingkap tirai lebih lebar. Suara kucing itu lantas terdengar lagi dan jauh lebih keras dari sebelumnya.

"Ada apa, Mbah?" Yono dengan wajah penasaran tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.

Namun, Santosa tak mengacuhkan pemuda itu. Pandangannya terus menyisir pekat di sudut-sudut yang tak terjangkau sorot lampu teras yang kekuningan. Bola matanya berhenti pada sebuah siluet kecil yang menggeliat pelan di salah satu sudut rimbun tanaman Kembang Sepatu dekat dengan kaleng dan tanah yang tumpah berserakan. Semakin ditilik, sesuatu itu terlihat semakin jelas dalam penglihatannya.

Dengan langkah gegas, Santosa mendekati pintu. Memutar anak kunci, tanpa memedulikan Yono yang menatapnya penuh tanya. Hawa dingin sontak menerpa wajah kasarnya saat daun pintu ditarik membuka. Santosa langsung menghambur melintasi teras menuju kegelapan di dekat tanaman Kembang Sepatu. Rintik hujan serta-merta mengguyur tubuhnya.

Santosa telah menduganya, seekor kucing kurus kedinginan rupanya tengah terjebak di antara tirai hujan. Maka, tanpa berpikir panjang ia segera meraih makhluk mungil itu menggunakan kedua telapak tangannya, mengabaikan hujan dan kotor yang menempel pada bulu-bulu kucing bercorak belang tiga.

Santosa menggendong makhluk itu, membawanya masuk ke rumah. Sementara, Yono dengan mulut menganga menatapnya tak percaya. Santosa barangkali dapat menebak asumsi yang berkecamuk di dalam kepala Yono. Akan tetapi, apa pun itu, ia tak peduli. Santosa sedari dulu memang menyukai kucing. Satu-satunya makhluk yang dapat memenuhi ruang afeksi dalam diri Santosa setelah istrinya meninggalkan rumah bertahun-tahun silam.

"Kucing?"

Suara meremehkan Yono membuyarkan fokus Santosa pada makhluk malang yang salah satu kakinya tampak terluka. Dari tampilan kucing Belang tiga itu, Santosa pun mafhum jika kucing malang itu pastilah kesakitan dan kelaparan.

"Dia terluka," sahut Santosa tanpa mengalihkan pandang. "Dan, kelaparan."

Yono mendengkus terlampau keras hingga membuat Santosa melirik tidak suka kepadanya. "Bersabarlah sebentar. Aku akan mengurus makhluk ini dulu. Setelah itu, kita akan memulai ritualnya."

Kekesalan di wajah Yono mendadak sirna. Hal itu barangkali yang ia nantikan sedari tadi. Pemuda itu mengagguk dengan cengiran lebar yang memukkan. Segera saja, Santosa meninggalkannya, membawa si kucing belang tiga ke dapur untuk diobati dan diberi makan.

"Mulai sekarang namamu adalah si Belang," gumamnya lirih.

***

Bunyi gerusan dinding itu terdengar lagi. Meski samar, tetapi dalam durasi yang lebih panjang dari sebelumnya.

Santosa yang mulanya membeku di tempat, perlahan mendapat kekuatan dari rasa penasaran yang mengusik pikirannya. Dengan langkah perlahan, berjingkat-jingkat, Santosa mendekati asal suara yang berada dari salah satu sudut ruang makan.

Lilin yang semula berada dalam genggaman telah ia letakkan di ujung meja makan yang berada pada posisi paling dekat dengan asal suara. Bayang-bayang hitam yang memantul pada salah satu sisi dinding terlihat bergoyang-goyang karena nyala lilin yang terkena embusan angin dari pergerakan Santosa. 

Suara cakaran di dinding itu masih terdengar saat langkah Santosa berhenti tak sampai satu meter dari depan sebuah pintu berukir yang tertutup. Semula, Santosa sempat ragu untuk melanjutkan langkah. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Lagi pula, ia memerlukan sesuatu, apa pun itu, untuk dapat dijadikan senjata membela diri dari kemungkinan terburuk yang menantinya di balik pintu.

Namun, ketakutannya mendadak hilang saat suara mengeong lirih terdengar samar-samar dari balik pintu tersebut. Dengan gerakan refleks, Santosa menghambur ke arah pintu yang tertutup dan membukanya nyaris tanpa upaya, karena pintu itu ternyata tidak terkunci. Bunyi derit engsel pintu yang berat bercampur bau apak serta aroma debu yang kental menyerang penghidunya dengan brutal. Santosa sempat terbatuk hebat selama sepersekian detik hingga ia harus menangkupkan telapak tangannya di depan mulut dan hidung. Sesaat pandangannya tersamar oleh gerombolan debu tipis yang melayang di udara, tetapi hal itu tak berlangsung lama karena netranya segera dapat menyesuaikan diri.

Daun pintu yang terbuka membawa cahaya remang menyorot masuk ke dalam bilik. Sedikit penerangan membuat Santosa segera menemukan seekor hewan mungil yang bersembunyi di balik dinding bilik. Dengan sigap Santosa meraih kucing itu dan membawanya ke pelukan. Makhluk itu masih mengeong lirih, meski telah berada dalam gendongan Santosa.

Lelaki paruh baya itu kembali takjub untuk yang kedua kalinya hari itu. Ia menatap makhluk mungil di dalam gendongannya dengan mata membola. Kucing belang tiga itu adalah hal kedua yang memiliki warna di dunia monokrom setelah nyala api. Akan tetapi, ketakjuban itu segera saja berganti keterkejutan, saat ia membawa makhluk itu mendekati cahaya lilin untuk melihatnya lebih jelas. Santosa mengenalinya.

"Belang?" Santosa terpekik. Makhluk kecil itu mengeong seolah menyahut panggilannya dan nyaris melompat dari gendongannya andai saja Santosa tak mengeratkan rengkuhannya. Barangkali makhluk itu ketakutan karena bertemu orang asing."Kenapa kau bisa berada di tempat ini? Dan, kenapa kau berbeda dengan segala sesuatu di sekitar sini? Berbeda ... denganku?"

Lagi-lagi si Belang hanya mengeong.  

Selama beberapa detik yang berlangsung sangat lama, Santosa hanya menatap si Belang dengan netra berkaca-kaca. Dengan tangan gemetaran lelaki paruh baya itu mengelus lembut kepala kucingnya. Sesuatu menyusup dalam ingatannya, adegan-adegan masa lalu mengenai kehidupannya hingga ia menemukan si Belang. Seketika, ia merasa jika segala kejadian dalam hidupnya kini seolah balasan dari masa lalu. Semua yang dialaminya merupakan titik balik di dunia sewarna candramawa ini. Tanpa bisa dibendung, tangis Santosa lantas meledak, memecah hening malam di dalam rumah kosong.

  

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang