8. Penyesalan

28 8 0
                                    


Santosa tidak pernah menyesali pilihan hidup yang diambilnya, meski sebagian orang beranggapan jika dirinya menempuh jalan sesat, ia tak ingin ambil pusing. Santosa terlahir dari keturunan seorang dukun sakti pada jamannya, demikian pula halnya dengan sang kakek, ayah dari ayahnya. Keluarga Santosa pun tak ingin susah-susah memutus mata rantai kesesatan yang telah menghidupi mereka hingga beberapa generasi. Bagi Santosa dan keluarganya, mereka telah dianugerahi hal istimewa yang tak dimiliki oleh semua orang, oleh karenanya mereka hanya tinggal menjalani takdir itu dengan sebaik-baiknya.

Namun, malam itu, dalam sebuah rumah kosong di dunia antah-berantah, untuk pertama kalinya Santosa jatuh tersungkur menyesali jalan kehidupan yang pernah ia pilih. Kehilangan segalanya dan kesendirian membuatnya sadar bahwa ia sama sekali tak memiliki apa pun. Buktinya, kemampuan yang diwarisi dari sang kakek secara turun-temurun sama sekali tak berguna, tak mampu menyelamatkannya. Ia merasa benar-benar tersesat dan tak tahu arah yang dituju untuk menemukan jalan pulang.

Malam itu, Santosa juga tersadar bahwa segala sesuatu yang pernah dilakukannya semasa hidup menuai hasilnya sekarang. Akan tetapi, kesadaran tersebut bagi Santosa terasa sia-sia belaka.

Santosa menyeka air matanya, setelah tangisnya perlahan mereda. Dipandanginya si Belang yang duduk terpekur sembari menjilati kuku-kuku di pangkuannya. Setidaknya sekarang ia tak sendirian lagi. Ia dapat berbagi dengan si Belang, meski makhluk itu hanya dapat mendengarkan tanpa menyahut atau bahkan tak mengacuhkannya sama sekali. Memendam segala keresahan selama ini membuatnya nyaris gila dalam diam.

Mendadak lelaki paruh baya itu mengernyitkan alisnya. Sebuah pemikiran terlintas di kepalanya bagai terang cahaya lilin di tengah kegelapan. "Jika kau bisa berada di sini, berarti kau masuk dari sebuah jalan atau pintu masuk, bukan?" gumamnya.

Diamatinya si Belang lekat-lekat, kemudian perlahan sebelah telapak tangannya mengusap bulu hitam, putih, dan kuning dengan lembut. Sementara, si Belang mengeong lirih. Manik mata hijau makhluk itu seolah memancarkan sekilas cahaya di dalam temaram ruangan. "Belang, bagaimana kau bisa sampai ke sini? Coba katakan padaku?" tanya Santosa lembut.

Lagi-lagi si Belang hanya mengeong.

Santosa mengembuskan napas panjang dengan frustrasi. Dia sudah seperti orang gila sekarang. Ia lantas mengangkat wajahnya dari paras berbulu itu, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah tua itu ternyata benar-benar tak berpenghuni. Selain keberadaan si Belang, sejauh ini Santosa tak menemukan kejanggalan apa pun. Untuk sementara waktu, rasanya Santosa akan aman jika berdiam diri di sana malam itu. Namun, ia harus bergerak begitu pagi menjelang. Pengharapannya akan jalan keluar masih berpendar meski samar, terlebih dengan keberadaan si Belang.

"Belang, besok tunjukan aku jalan masukmu ke mari, ya? Kita akan keluar dari tempat ini bersama-sama."

Si Belang tak mengeong. Kucing kurus itu membuka mulutnya lebar-lebar, menampakkan sederetan gigi tajam. Makhluk kecil itu lantas melompat turun dari pangkuan Santosa, kemudian merebahkan diri dalam posisi melingkar di bawah kursi. Agaknya si Belang mulai mengantuk.

Setelah puas mengamati si Belang hingga jatuh tertidur, Santosa memutuskan untuk menyisir kembali rumah tua itu. Ia bertekad untuk mengumpulkan satu atau dua perbekalan untuk melanjutkan perjalanan besok.

***

Santosa kembali dari dapur satu jam kemudian. Ia disambut wajah suntuk Yono, dengan kantung hitam yang menggantung di bawah matanya. Santosa melirik sekilas pada jam yang menggantung di dinding. Jarum pendeknya mengarah pada angka 12. Pantas saja Yono berwajah seperti itu, tetapi ia sama sekali tidak merasa bersalah.

"Aku pikir kau sudah jatuh tertidur," goda Santosa begitu melihat tampang kusut Yono.

Yono memberengut seraya mengucek sebelah matanya yang sudah memerah menahan kantuk sedari tadi. "Bagaimana saya bisa tertidur dengan keadaan seperti ini, Mbah," kilahnya.

"Baguslah kalau kau belum tertidur. Aku pastikan kau tidak akan bisa tertidur sepanjang malam ini." Santosa terkekeh sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Jadi, apa kau sudah siap untuk melakukan ritual?"

Wajah cemberut Yono seketika menjadi cerah. Apa yang dinantinya sedari tadi akhirnya menemukan titik terang. Dengan antusias, pemuda kurus itu bangkit dari sofa butut Santosa dan mengekorinya yang telah mendekati ruangan praktik yang masih terkunci.

Namun, langkah Santosa terhenti saat sebelah tangannya telah memutar anak kunci. Ia menoleh pada Yono yang menatapnya dengan bingung. "Apa aku sudah menyampaikan apa yang terjadi jika korban yang kita tuju ternyata memiliki pelindung?"

Yono menggeleng gelagapan. Kernyit kecil membayang di antara kedua alisnya. "Be-belum, Mbah," sahutnya.

Santosa mengembuskan napas berat, menyadari kesalahannya dari awal. Harusnya ia memberitahu perihal tersebut lebih dulu ke Yono sebelum menyampaikan syarat. Sekarang, barangkali tidak ada waktu untuk melangkah mundur. "Begini, jadi seandainya si gadis ... yang akan kita jadikan korban ini ternyata memiliki pelindung sehingga tujuan kita tidak bisa tercapai, maka sebagai gantinya dirimu sendiri yang akan menggantikannya."

Demi mendengar penjelasan Santosa, sepasang netra Yono membelalak. Santosa dapat melihat jelas sekelebat ketakutan membayang di sepasang netra pemuda ceking berambut cepak itu. Wajahnya bahkan terlihat sedikit memucat di bawah temaram lampu. Perlahan pemuda itu membuka mulutnya, tetapi tak sepatah kata pun yang lolos.

Santosa berdeham parau. "Jadi, apa kau masih mau melakukan kontrak dengan iblis dan melakukan ritual? Kalau kau mengurungkan niatmu, kau boleh pergi sekarang," papar Santosa. Namun, sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah mengeras. "Kau harus ingat, sekali kau keluar dari ambang pintu rumahku, kau tidak boleh membocorkan apa pun pada siapa pun, atau kau bisa saja merasakan apa yang dirasakan gadis yang kau santet!"

Yono masih bungkam. Sepasang netranya membulat sempurna seolah terhipnotis oleh rangkaian kata sang dukun santet.

"Bagaimana?"

Tanya yang diajukan setengah membentak dari empunya rumah membuat Yono terperanjat. Matanya mengerjap saat kekagetannya mereda. Setelah menundukkan pandangannya selama beberapa waktu, Yono akhirnya mengangguk pelan.

"Ba-baik, Mbah. Saya sudah siap apa pun konsekuensinya akan saya hadapi dengan ikhlas. Sakit hati saya ini lebih penting untuk dibalas, Mbah. Mbah juga jangan khawatir, saya sudah menyiapkan bayaran setimpal untuk Mbah."

Santosa tersenyum puas sambil mengangguk. "Baiklah kalau itu keputusanmu. Sekarang, mari ikuti aku masuk ke ruangan praktik."

Santosa berbalik dan lanjut memutar anak kunci. Bunyi gemerincing terdengar sesaat sebelum daun pintu terbuka. Bau menyan menyeruak kental dari ruangan yang nyaris gelap sepenuhnya.

Saat Yono melongok ke dalam, entah mengapa, ia merasa bulu kuduknya meremang. Sesuatu tak kasat mata pastilah telah menantinya di dalam sana.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang