13. Peta

25 8 0
                                    

Hutan rimbun yang terbentang tepat di depan rumah kosong berlantai dua yang Santosa tuju ternyata tak sejauh kelihatannya. Dalam beberapa menit saja Santosa telah berhasil mencapai ambangnya. Sebuah batas yang nyaris tak terlihat di antara hutan dan padang ilalang membuat Santosa sontak menghentikan langkah. Terang dan gelap terlihat kentara meski tak berwarna. Detik itu juga Santosa menjadi gamang.

Si Belang dalam gendongannya melompat turun, mengitari lelaki paruh baya itu pelan. Sementara, pandangannya terpaku pada rimbun dan gelapnya hutan di hadapan. Si Belang mengeong gusar seolah tertular ketakutan samar yang dirasakan Santosa saat itu.

"Kau juga tidak menyukainya ya? Tapi kalau kita menuju jalan kembali, aku takut kita akan bertemu dengan boneka jerami raksasa," ucapnya pada si Belang sembari mengambil posisi berlutut.

Si Belang menyahut, mengeong lirih. Makhluk belang tiga itu berhenti, kemudian duduk melingkar di sisi Santosa.

Santosa lantas mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari tanda-tanda yang dapat menunjang keputusan yang akan diambilnya. Seketika ia menjadi ragu untuk menerobos hutan, sementara di sisi lain, ia terlampau takut melewati jalan sebelumnya. Terlebih saat membayangkan si monster jerami yang mungkin saja masih memburunya dan akan mengejarnya tanpa ampun jika bertemu. Ia tak akan sanggup melanjutkan pelarian dengan tubuh penuh luka seperti ini.

Meski keadaan sekitarnya tampak lengang dan tak terlihat pergerakan sedikit pun, tetapi Santosa perlu waspada. Tempat ini bukanlah tempat yang ia kenali laiknya Banyuwangi. Tempat ini sepenuhnya asing dan dipenuhi makhluk-makhluk mengerikan dengan kebrutalan yang tak terduga. Santosa mungkin akan sedikit aman di siang hari. Akan tetapi, belajar dari pengalaman, ia perlu mencari tempat persembunyian kala malam menjelang.

Setelah beberapa saat termenung dalam pikirannya sendiri, Santosa akhirnya memutuskan untuk duduk beristirahat sejenak sembari mengamati keadaan. Lagi pula hari masih pagi, ia masih memiliki sedikit waktu untuk menimbang keputusan yang benar.

Santosa akhirnya memutuskan untuk duduk di bawah sebatang pohon rindang yang keseluruhannya berwarna hitam. Digiringnya si Belang yang terlihat malas-malasan dan terus-menerus menjilati kuku-kuku kotornya. Setelah mendudukkan bokongnya pada akar pohon paling besar yang mencuat di permukaan tanah, ia lantas mengamati perilaku si Belang.

Beberapa luka besar terlihat menggores punggung makhluk malang itu. Sementara sebelah kakinya terluka hingga menyebabkan si Belang berjalan terpincang-pincang. Namun, satu hal yang menyebabkan alis Santosa mengernyit dalam yaitu warna si Belang yang terlihat sedikit memudar dari saat pertama kali ia melihatnya.

"Kau terlihat sedikit berbeda, Belang," tuturnya sembari mengulurkan satu lengannya untuk menyentuh bulu-bulu kucing kurus itu.

Si Belang membalas tatapan Santosa seraya mengeong lirih. Kucing kurus itu kembali meringkuk di sebelah tungkai Santosa yang berselonjor.

"Aku benar-benar bingung, Belang. Ke arah mana kita harus melanjutkan perjalanan. Andai kau dapat berbicara, aku pasti sudah menanyaimu." Santosa membelai lembut bulu-bulu di kepala si Belang.

Kucing Kumal itu seperti biasa hanya menyahutinya dengan mengeong lirih.

Santosa mengembuskan napas panjang dengan frustrasi. Optimisme yang terbit di benaknya bersamaan dengan fajar yang menyingsing beberapa saat lalu seolah menguap begitu saja begitu berhadapan dengan bentangan hutan yang gelap. Pandangan Santosa lantas menerawang menembus langit abu-abu muda yang menaunginya. Kilasan-kilasan memori mengenai masa lalunya kembali berkelebat. Terlalu banyak hal buruk yang pernah dilakukannya di masa lampau yang kini seolah mendapat balasan. Betapa banyak tanya yang mencuat di dalam kepalanya mengenai keberadaannya di tempat ini, tetapi ia tak tahu ke mana harus bertanya.

Lamunan Santosa tiba-tiba terusik suara berisik yang mengusik tas lusuh di punggungnya. Ia lantas mengalihkan pandangannya dari langit ke arah sumber suara yang cukup mengganggu itu.

"Belang, apa yang kau lakukan?"

Santosa mendapati si Belang menggaruk-garuk tas bututnya dengan kuku-kukunya yang tajam hingga menimbulkan bunyi menggerus pada permukaan kain. Tas lusuh di punggungnya bergerak-gerak.

Si Belang mengeong, tetapi tak sedikit pun menghentikan gerakannya.

Lelaki paruh baya itu kebingungan sesaat. Namun, segera ia melepaskan tali tas lusuh yang menggantung di kedua bahunya, kemudian meletakkan tas itu di atas pangkuan.

Si Belang tak juga menghentikan aktivitasnya. Ia mengikuti tas butut itu seumpama kucing yang mengidam-idamkan ikan, kemudian tetap mencakarnya seperti semula.

Alis Santosa mengernyit bingung. "Ada apa, Belang?"

Si Belang tak menyahut. Pun tak mengeong.

"Kau ingin aku membukanya?"

Saat mendengar pertanyaan Santosa itu, ajaibnya secara serta-merta, si Belang menghentikan aktivitasnya. Kucing kurus itu mengeong lirih, lalu duduk melingkar di sisi Santosa.

Santosa tersenyum takjub. "Kau benar-benar memahami ucapanku, ya?" Fakta ini sedikit banyak membuat Santosa sedikit lega dan merasa terhibur. Meski tak dapat menyahuti ucapannya, setidaknya si Belang memahami apa yang dikatakannya. Santosa merasa benar-benar didengarkan.

Si Belang lagi-lagi mengeong.

Hal itu sontak menyebabkan Santosa terkekeh. "Baiklah, aku akan membukanya."

Dengan gerakan hati-hati, seolah takut merusak tas lusuh yang terlihat rapuh itu, Santosa membuka penutup tasnya. Tas berwarna abu-abu gelap dengan noda hitam di beberapa bagiannya itu memang tak memiliki ritsleting, hanya sebuah penutup di bagian atas yang kancingnya telah rusak.

Untuk sesaat, Santosa merogoh isi tasnya tanpa suara. Telapak tangannya menilai sedikit barang yang ada di dalamnya hingga jarinya menyentuh sebuah permukaan keras dan kasar dari sebuah benda yang sempat dilupakannya. Dengan hati-hati, Santosa mengeluarkan benda tersebut, matanya membelalak saat menyadari jika benda itulah yang dibutuhkannya saat ini.

"Benar. Mengapa aku bisa melupakannya?" Santosa bergumam, sebelum pandangannya teralih pada si Belang yang menyorotnya antusias. Kucing kurus itu segera melompat ke atas pangkuan Santosa seolah ingin ikut serta mengamati peta yang ditemukan Santosa tadi malam.

"Kau pintar sekali Belang. Jadi, kau ingin mengingatkanku tentang peta ini, ya?" Santosa tersenyum sembari mengucek lembut kepala si Belang.

Kucing kurus itu mengeong lirih sebagai jawaban.

Tanpa membuang waktu, Santosa lantas mengamati peta lusuh itu lekat-lekat, berusaha menentukan posisinya. Namun, alih-alih mendapat jawaban, Santosa malah bertambah bingung dan ketakutan. Sebuah nama tempat yang membuat bulu kuduknya seketika meremang tertera di sana dalam tulisan yang jelas yang paling terang.

Santosa membelalak, sementara tanpa sadar mulutnya menganga. Kegusaran di wajahnya semakin bertambah-tambah. "A-apa maksudnya ini?"

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang