6. Api

28 9 0
                                    

Setelah pintu tertutup sempurna, kegelapan yang berbau apak memenuhi penghidu Santosa. Mulanya Santosa sempat mengernyit karena bau yang tidak enak tersebut. Namun, seketika ia teringat bahwa rumah kosong itu mungkin merupakan satu-satunya tempat teraman baginya untuk menghabiskan malam. Sembari meraba dengan jemarinya, lelaki paruh baya itu mengaitkan selop pintu yang menjadi satu-satunya penghalang agar sesuatu atau seseorang yang berasal dari luar tidak bisa menerobos masuk begitu saja.

Cahaya temaram yang berasal dari langit kelabu di luar bingkai jendela menjadi satu-satunya sumber cahaya. Santosa mengintip sekilas jendela yang tak bertirai itu sebelum memutuskan untuk memeriksa segenap ruangan di rumah kosong. Namun, pandangannya kemudian terpaku pada pergerakan ilalang yang begitu mencolok di kejauhan. Setelah memperhatikan lekat-lekat, barulah Santosa menyadari jika pergerakan itu berasal dari si boneka jerami yang ternyata masih memburunya. Beruntung ia telah berada di dalam rumah. Dalam hati ia berharap agar jejaknya tak terendus makhluk itu.

Sedetik kemudian, Santosa memutuskan untuk memeriksa rumah, setelah memastikan si boneka jerami sama sekali tak mendekati pintu rumah. Makhluk itu terlihat meraung-raung di antara semak ilalang yang berjarak beberapa meter dari rumah itu sembari mengitari seisi semak tak tentu arah. Tak sedikit pun terlihat tanda-tanda jika si boneka jerami akan memasuki rumah. Untuk itu, Santosa akhirnya dapat sedikit mengembuskan napas lega.

Dengan langkah tertatih, lelaki paruh baya itu bergerak menjauhi jendela menuju kegelapan rumah. Kedua lengannya meraba-raba udara kosong di sekitarnya guna mencari pegangan supaya tak tertabrak oleh sesuatu yang tak terlihat di dalam kegelapan. Derit yang tercipta dari lantai papan di bawah kakinya menciptakan satu-satunya bunyi di ruangan kosong itu.

Sepasang netranya mulai terbiasa melihat di dalam minimnya cahaya. Santosa melewati ambang pintu penghubung antar ruangan. Sebuah jendela di salah satu sisi ruangan yang terbungkus tirai brokat lusuh membuat siluet benda-benda di sekitarnya terlihat sehingga Santosa dapat memperkirakan keberadaanya saat itu. Dari meja panjang yang menempel di salah satu sisi ruangan beserta sedikit peralatan memasak yang barangkali tak dapat digunakan, Santosa tahu jika ia sedang berada di dapur.

"Cahaya. Aku harus mencari sumber cahaya," gumamnya seolah mendapat pemikiran paling brilian saat itu.

Santosa lantas mendekati meja panjang dengan langkah gegas. Matanya menyisir benda-benda yang menguarkan bau apak bercampur besi berkarat penanda jika peralatan itu tak pernah digunakan dalam waktu yang cukup lama. Ada kuali, beberapa susun mangkuk seng, spatula dan sebuah kompor minyak tua bergeming di atas meja.

Dengan sigap, Santosa memeriksa kompor minyak yang terlihat dipenuhi sarang laba-laba. Namun, tak ada bau minyak tanah tercium dari benda tersebut. Benar saja, saat ia membongkar tempat sumbu, wadah bahan bakarnya terlihat kering kerontang. Bahkan, beberapa ekor lipas yang bersarang di dalamnya berkejaran keluar saat Santosa memiringkan benda tersebut guna memeriksa isinya lebih teliti.

Santosa serta-merta terlonjak mundur, kaget akan keberadaan penghuni gelap di dalam sana. Tutup kompor di pegangannya terlepas hingga menimbulkan bunyi kelontang yang mengagetkan diri sendiri. Akan tetapi, ia tak kunjung menyerah. Santosa kembali mendekati meja panjang itu, memeriksa setiap lacinya dengan pengharapan penuh. Laci-laci itu nyaris kosong atau hanya dihuni makhluk-makhluk kecil seperti kecoa atau celurut yang berderit dengan suara menjijikkan. Nyaris putus asa, Santosa membuka laci terakhir yang tersisa, kemudian mengulurkan lengannya ke dalam dengan perasaan enggan. Di luar dugaan, ia malah menemukan sebatang lilin dan sekotak pemantik api di dalam sana. Diraihnya benda tersebut dengan terburu-buru seolah takut kehilangan benda tersebut secara tiba-tiba.

Santosa mendekati jendela guna memeriksa penemuannya; sebatang lilin putih gemuk yang sumbunya terlihat belum pernah dipakai dan sekotak pemantik api yang masih tampak berfungsi.

Dengan tangan gemetar, Santosa lantas membuka kotak pemantik dan mendapati empat batang korek api yang tersisa di dalamnya. Dikeluarkannya sebatang dari dalam kotak, kemudian diamatinya sekilas. Benda itu terlihat masih bagus. Sementara, diletakkannya lilin pada sebuah meja kecil di hadapan jendela.

Santosa menekankan kepala korek api kepada penyala di sisi kotak, kemudian menggoreskannya cepat. Pada gerakan pertama, benda tersebut belum menyala. Sekali lagi Santosa melakukan hal yang sama sembari merapal doa-doa yang ia ingat di dalam hati. Meski, semasa hidup sebenarnya Santosa sangat jarang berdoa. Untuk apa berdoa jika ia bisa mendapatkan segalanya dengan usaha sendiri?

Setelah beberapa kali upaya, api kekuningan akhirnya menyala dari kepala korek api. Untuk sesaat, Santosa merasa takjub. Pasalnya, selama perjalanan yang ia tempuh di dunia aneh itu, tak sekali pun menemukan warna selain hitam, putih dan abu-abu. Satu-satunya warna lain yang ditemukannya pertama kali adalah nyala api kecil yang sedang berkobar tertiup napasnya sendiri saat itu. Jadi, kesimpulannya, selama ini matanya tidak rusak.

Santosa lantas menyulut nyala tersebut pada sumbu lilin. Segera saja terang menyambut penglihatannya. Dua sumber cahaya berwarna kekuningan itu secara cara ajaib membuat sedikit kelegaan menyusup pada rongga dadanya. Setidaknya, dengan adanya penerangan di tempat itu ia akan aman untuk sementara waktu, bukan?

Setelah nyala di korek api padam dengan sendirinya, Santosa membawa lilin tanpa alas itu kembali menyusuri rumah, tak memedulikan lelehan panas yang menyentuh permukaan kulitnya. Sementara, kotak korek api dengan 3 batang pemantik yang tersisa disimpannya dalam saku celana. Ruangan di sekitar Santosa menjadi sedikit lebih terang sekarang, meski nyala lilin menimbulkan bayang-bayang besar nan gelap serupa gergasi yang terpantul pada dinding-dinding. Mulanya, Santosa sedikit takut, tetapi keadaannya saat itu justru jauh lebih baik daripada berkeliaran di luar sana sembari diburu si boneka jerami.

Santosa menduga ruangan selanjutnya setelah dapur adalah ruangan makan besar. Kala memasuki ruangan itu, lantai yang dipijaknya telah berganti dengan permukaan porselen yang dingin dan sedikit berdebu. Sementara, dinding-dindingnya kelihatan terbuat dari semen berwarna putih. Sebuah lampu besar menggantung di langit-langit ruangan dipenuhi sarang laba-laba. Beberapa burung atau kelelawar terlihat berterbangan dari lampu besar itu saat cahaya menyambangi ruangan itu.

Santosa berjalan sangat hati-hati saat melewati sebuah meja oval besar dengan deretan kursi makan yang berada dalam posisi tak beraturan. Sebelah tangannya meraba-raba, menjadi penuntun agar silaunya nyala lilin dan membuatnya tersandung. Sampai saat itu, Santosa sangat bersyukur karena rumah yang dimasukinya secara harfiah benar-benar kosong.

Namun, kelegaan dan kesyukuran Santosa tak berlangsung lama. Keheningan yang menyelimuti rumah itu mendadak terusik oleh sebuah bunyi samar di suatu tempat. Santosa menghentikan langkah dan memasang pendengarannya dengan awas. Meski tak begitu kentara bagi Santosa, bunyi tersebut terdengar seperti dinding yang digerus sebuah benda tajam. Perlahan-lahan, ketakutan merambati Santosa. Satu per satu bulu kuduk di tengkuknya meremang kala ketakutan nyaris mencapai puncaknya. Berbagai asumsi mengerikan berkelebat dalam kepalanya. Bunyi apa itu? Bagaimana jika sebenarnya ada makhluk lain selain dirinya di rumah tua itu?

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang