17. Wening Ayu Bunuh Diri

21 9 0
                                    

Satu Minggu berlalu sejak perjanjian yang dilakukan Yono di rumah Santosa. Yono tidak lagi menampakkan batang hidungnya untuk bertemu Santosa, tetapi ia meminta adik kandungnya untuk mengantarkan uang dan beberapa bahan pangan bagi Santosa. Saudaranya mengabarkan jika saat itu Yono tengah sibuk.

Bagi Santosa, hal itu sama sekali bukan masalah, terlebih karena Yono telah memberikan bonus dan bingkisan kepadanya. Meski sebenarnya, lelaki paruh baya itu sangat ingin mengetahui keberhasilan ritual mereka malam itu.

Minggu berganti minggu hingga Santosa nyaris melupakan perihal Yono, hingga suatu hari di pagi buta seseorang menggedor pintu rumahnya dengan sedikit menuntut. Santosa yang kala itu baru saja keluar dari alam mimpi sempat mengumpat dua kali sembari menyeret tungkainya malas ke arah pintu. Kala itu langit mendung, matahari yang seharusnya telah menyinari embun pagi, belum juga tampak bertakhta di langit pagi.

"Tunggu sebentar!" teriak Santosa dari dalam. Suaranya serak dan parau karena belum meneguk air barang setetes. Sesaat sebelum membuka daun pintu, Santosa membersihkan kerak di mata dan ujung-ujung bibir sekenanya, kemudian dengan terburu-buru memutar anak kunci. Bersamaan dengan itu, ketukan yang bertubi-tubi itu akhirnya berhenti.

Di balik pintu, wajah gusar Sujiwo yang berseragam petugas keamanan terpampang. Kekesalan Santosa sedikit menyurut kala mengenali ekspresi satpam kampung itu. "Ada apa, Wow?" tanya Santosa setelah berdeham beberapa kali.

"Anu ... Ada mayat, Mbah. Di sebelah utara balai desa," sahut Sujiwo dengan suara gemetaran. Bahkan, tangannya yang menggenggam pentungan ikut bergetar. Sekilas wajah berkulit sawo matang itu terlihat memucat.

"Mayat apa maksudmu, Wo? Ngomong yang jelas. Sini, masuk. Minum dulu." Santosa berusaha menenangkan satpam kampung itu. Bisa jadi Sujiwo hanya bermimpi hingga meracau seperti saat ini.

Sujiwo tak menyahut. Ketakutan tergurat jelas di wajahnya. Lelaki bertubuh sedikit tambun itu mengikuti Santosa yang menuntunnya ke arah dapur. Ia lantas menerima dalam diam saat Santosa menyodorkan sebuah mug batik.

Santosa mengamati lelaki itu lekat-lekat saat Sujiwo dengan tergesa meneguk air di dalam mug dengan rakus.

"Terima kasih, Mbah," ucap Sujiwo setelah menyelesaikan tetes terakhir dari dalam mug. Dikesatnya sisa air yang menggenang di sekitar bibir dengan lengan baju, tetapi ketakutan nyatanya tak sirna dari rautnya.

"Mayat apa maksudmu?" tanya Santosa setelahnya.

"Mayat seorang perempuan, Mbah. Tergantung!" Sujiwo mengatakan itu dengan kengerian yang kentara, seolah apa yang dilihatnya tadi pagi, kembali terlihat di depan mata saat ini.

Santosa bahkan sekilas menangkap gerakan tubuh lelaki tambun itu bergidik sembari mengusap tengkuk. "Benar ucapanmu, Wo? Kamu nda sedang mimpi, 'kan?"

Sujiwo menggeleng mantap. "Nda, Mbah. Makanya, ayo ikut aku. Pak RT sudah ada di TKP. Beliau memintaku menjemput, Mbah agar tempat itu dinetralkan. "

Lelaki paruh baya dengan kumis tipis melintang di atas bibir itu mengangguk mafhum. Ia jadi paham mengapa Sujiwo menyusulnya sepagi itu. Ia memang salah satu yang dituakan di kampung, terlebih karena predikatnya sebagai dukun. Oleh karena itu, jika ada kejadian yang menghebohkan serupa ini, sudah pasti ia akan dilibatkan.

Tanpa kata, Santosa mengikuti Sujiwo setelah sebelumnya mengunci pintu rumah. Balai desa berjarak tak begitu jauh dari rumahnya, hanya beberapa meter dan mereka harus berjalan beberapa meter lagi ke arah utara menuju sebuah hutan  kecil yang jarang dilewati warga. Langit mendung dan rerimbunan pohon serta ilalang mengiringi perjalanan mereka menuju TKP.

Dari kejauhan, Pak RT serta beberapa lelaki terlihat berkerumun di depan sebatang pohon besar yang terkenal angker di seantero desa. Dalam penglihatan Santosa, pohon itu memang memiliki penunggu. Namun, bukan hal itu yang menyedot atensinya. Melainkan, sesuatu yang menggantung pada salah satu cabang pohon.

Seorang perempuan bergaun kuning kentang selutut terlihat menggantung dengan leher patah serta rambut panjang yang menjuntai menutupi wajah. Seutas tali tambang melilit leher perempuan itu hingga menimbulkan jejak kebiruan. Bahkan, dengan melihat sekilas saja, Santosa tahu jika gadis itu bunuh diri. Namun, sesosok bayangan hitam berpostur tinggi besar yang berdiri di samping mayat perempuan itu memancarkan energi yang familier. Santosa merasakan buku kuduknya seketika meremang saat sosok hitam itu menyorot kepadanya.

"Santosa, syukur kamu sudah datang!" sapaan Joko yang biasa dipanggil Pak RT oleh warga sekitar menyadarkan keterpaksaan Santosa pada sosok hitam di dekat pohon asam gelugur tempat mayat perempuan mati tergantung.

"Siapa dia?" tanya Santosa gelagapan. Dengan langkah gegas, ia mencapai tepat di sisi kiri Pak RT.

"Wening Ayu."

Nama itu sontak mendatangkan ingatan bertubi-tubi di kepala Santosa. Ia telah menemukan jawaban atas keberadaan makhluk hitam besar di samping pohon asam gelugur. Makhluk itu tak lain adalah makhluk yang dipanggilnya kala ritual bersama Yono. Mata Santosa sontak membelalak, tetapi sekuat tenaga ia mengendalikan ekspresi wajahnya.

Seorang perempuan paruh baya beserta lelaki tua berbelangkon datang tergopoh-gopoh. Kedatangan mereka menyebabkan pembicaraan Santosa dan Pak RT terhenti begitu saja. Perempuan itu meraung saat melihat mayat yang tergantung pada salah satu dahan pohon di hadapannya.

"Wening Ayu!" Perempuan itu jatuh terduduk di atas kedua lututnya. Tangis dan teriakan tak terkendali keluar dari bibir kecokelatannya. Lelaki yang mengiringi kedatangannya turut terduduk lemas dengan wajah kelewat sedih. Tahukah Santosa jika kedua orang itu adalah orang tua Wening Ayu.

Ketika melihat pemandangan itu, Santosa sontak membuang pandangan. Sebuah penyesalan menyelusup di hatinya samar-samar. Ia baru tersadar jika yang dilakukannya dengan Yono tempo hari merupakan sebuah kesalahan besar.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang