21. Pembalasan

24 6 0
                                    

Santosa tidak pernah mengira jika ia akan bertemu dengan hantu Wening di dunia antar berantah. Barangkali makhkuk itu bukan Wening, hanya sesuatu yang menyerupainya. Namun, apa pun itu, kemunculan makhluk itu kini di hadapannya saat itu membuatnya ketakutan setengah mati.

Sekujur tubuh Santosa menggigil, sementara sepasang tungkainya seolah terpaku pada lantai batu di bawah kakinya. Santosa ingin lari meninggalkan tempat itu, tetapi telapak kakinya tak mampu bergeser barang seinci pun.

"Ka-kau?"

"Sebut namaku, Santosa." Sosok itu menyahut diiringi kikikan yang melengking tinggi.

Santosa tak pernah sedikit pun takut pada makhluk astral. Ia telah terbiasa dengan mata batin yang terbuka sejak kecil. Akan tetapi, sosok Wening kali ini lebih dari sekadar makhluk astral mengerikan. Wening mengingatkannya pada kesalahan fatalnya di masa lalu.

Tanpa menyahuti Wening, Santosa berlari menjauh, memasuki kegelapan asing yang belum ia ketahui. Suara tawa Wening yang melengking mengiringi pelarian itu. Namun, suara tawa itu segera lenyap begitu Santosa telah berlari melewati dapur dan ruang makan luas dengan kegelapan nyaris pekat. Tirai-tirai tebal yang menutupi jendela-jendela rumah itu menghalangi cahaya bulan, sehingga tubuh Santosa beberapa kali menabrak benda-benda yang menghalangi langkahnya.

Santosa berhenti pada satu titik di bawah sebuah lampu kristal besar yang dipenuhi sarang laba-laba. Satu jendela besar tanpa tirai menyorotkan cahaya samar-samar sepotong bulan perak yang bertakhta di langit malam, hingga menerangi kegelapan absolut rumah besar itu. Lelaki paruh baya itu mengatur napasnya susah payah setelah berlari ketakutan. Namun, seketika ia kembali menegang waspada seraya menatap awas ke sekitar.

Ruangan besar di sekitarnya kosong, hanya beberapa perabot dan lemari yang mengisi sisi-sisi dinding. Setidaknya terdapat tiga pintu yang tertutup di sepanjang ruangan, satu lampu gantung dan sebuah jalan masuk menuju ruangan lain beberapa langkah di hadapan Santosa.

Setelah menenangkan kegamangan dan mengatur napas, Santosa tiba-tiba merasakan hawa dingin yang berbeda menyapu tengkuknya. Ia refleks bergidik dan berbalik dalam gerakan cepat untuk memastikan sesuatu yang ada di belakangnya. Akan tetapi, begitu ia berbalik ternyata tak ada apa pun di sana selain lemari perabot usang yang terlihat tak pernah dibuka.

Ketakutan kembali menghampiri Santosa. Sekujur tubuhnya meremang untuk alasan yang sama sekali tak ia ketahui, meski bukan rasa dingin yang mengusap tengkuknya seperti tadi. Santosa tetap merasakan keberadaan makhluk lain di sekitarnya.

Perlahan, Santosa melangkah mundur, setelah mengedarkan pandangannya berkali-kali ke sekeliling. Bahkan, ia menyelisik langit-langit, barangkali dapat menemukan makhluk yang mengganggunya. Akan tetapi, nihil, tak ada siapa pun. Santosa mulai bertanya-tanya, apakah kemampuannya melihat makhluk astral telah menghilangkan di dunia antah berantah ini.

Beberapa detik dalam senyap, Santosa mendadak merasakan dingin kembali menyapu tengkuknya. Serta-merta ia berbalik hingga dengkulnya menabrak kaki kursi. Suara deritnya memecah hening ruangan dan bahkan mengagetkan dirinya sendiri. Napas Santosa kembali memburu oleh rasa takut dan ketegangan. Namun, lagi-lagi ia tak menemukan apa pun selain kegelapan.

"Tunjukkan wujudmu, makhluk sialan!" Santosa meradang. Tubuhnya berputar, sementara matanya menyisir remang yang melingkupi ruangan.

Sekelebat bayangan putih tertangkap pandangannya. Akan tetapi, bayangan putih itu segera menghilang di balik kegelapan dalam sekejap mata. Santosa yang semakin ketakutan, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu. Ia berbalik, tetapi baru saja menjauh beberapa langkah, sepasang lengan dingin nan tajam mencengkeram kedua pundaknya. Tubuh renta Santosa tertarik ke belakang hingga melayang beberapa meter dari permukaan lantai ubin tempatnya semula menjejak. Suara tawa Wening kembali menggema, melengking mengganggu pendengarannya.

Dalam sekali sentakan, tubuh Santosa menghantam dinding, kemudian jatuh merosot hingga menimbulkan bunyi berdebum pada lantai ubin. Santosa dapat merasakan ubin berderak retak di bawah bokongnya yang berdenyut nyeri. Tawa Wening kembali menghilang, beserta kelebat putih yang tak terlihat pandangan.

Santosa berusaha menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk. Meski Wening telah menghilang, tetapi kewaspadaannya tak sedikit pun berkurang. Lelaki paruh baya itu berdiri susah payah sembari mengedarkan tatapan nyalang ke sekeliling ruangan. Sejauh mata memandang sosok Wening rasanya benar-benar telah menghilang.

Santosa baru saja menapakkan kakinya beberapa langkah menjauhi retakan porselen, pintu-pintu tertutup di sekitar ruang makan besar itu tiba-tiba berderak. Bunyi-bunyi dari balik pintu itu semakin lama semakin nyaring terdengar, seolah ada yang berusaha mendobraknya dari dalam. Santosa yang semula hanya tercenung, beberapa detik kemudian tersadar akan bahaya yang mungkin mengincarnya dari balik pintu.

Dengan langkah gegas yang tertatih, Santosa berusaha mencapai jalan keluar dari ruangan itu. Perasaannya seketika tidak enak. Entah itu Wening Ayu atau mayat hidup yang bersemayam di dalam sana, keduanya sama buruknya bagi Santosa. Namun, baru mencapai pertengahan ruang makan, tiga pintu mendadak hancur nyaris bersamaan. Suara raungan langsung mengisi keheningan ruangan.

Santosa menoleh sekilas dan mendapati setidaknya hampir sepuluh mayat hidup. Cahaya bulan dari jendela yang terbuka memberi penerangan pada wajah-wajah mengerikan yang berjalan dalam kegelapan. Secara instingtif, makhluk-makhkuk itu berjalan dengan langkah-langkah ganjil ke arah Santosa.

"Sialan!" Santosa berbalik, kembali melanjutkan langkah terseoknya menuju ruang selanjutnya, berharap segera menemukan pintu utama. Meski gelap malam mengkhawatirkan, tetapi mati dan membusuk di rumah kosong oleh para mayat hidup sama sekali bukan pilihan yang bijak. Santosa harus bergerak untuk tetap bertahan hidup.

Akan tetapi, untung tak dapat diraih dan Malang tak dapat ditolak. Alih-alih menemukan pintu keluar yang diharapkan, Santosa malah menemukan ruangan yang jauh lebih besar dan lowong dengan begitu banyak pintu kamar. Sama sepeti sebelumnya, pintu-pintu kamar itu berdebum akibat dobrakan dari dalam. Mayat-mayat hidup keluar dari pintu-pintu itu dalam jumlah yang bahkan jauh lebih banyak dari sebelumnya.

Santosa bergidik, membayangkan kemungkinan mati dikeroyok makhluk-makhluk bringas itu. Apakah aku akan mati sekarang?

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang